Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 04 September 2019

EPILOG: Migrasi Lidah (PUTU FAJAR ARCANA)

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Putu Fajar Arcana, wartawan "Kompas"

Mariana Sorabut memetik beberapa daun idingga. Ia melihat gelagat napas saya mulai tersengal-sengal. Padahal, kami baru setengah perjalanan. Cuaca gerimis tak banyak menolong. Tetap saja udara terasa panas dan itulah pangkal soalnya, mengapa saya mudah kelelahan. Secepat kilat ia tempelkan daun sirih hutan itu di jidat, leher, dada, dan perut saya. Lalu ia minta saya menarik napas dalam-dalam. Eh, ada kesejukan yang tiba-tiba mengisi rongga dada….

Kami sepakat melanjutkan perjalanan menuju Iluagimo, sebuah sumber mata air yang terdapat di puncak Gunung Mili (2.100 meter di atas permukaan laut). Perjalanan beberapa tahun lalu di Lembah Baliem itu ditemani beberapa pemuka suku Dani, antara lain Markus Mabel, Elesina Mabel, Okama Mabel, Yina Mabel, dan Mariana Sorabut.

Saya juga didampingi pemandu bernama Herriman Sihotang, orang Batak yang menguasai bahasa-bahasa lokal di pedalaman Papua. Kampung terdekat dari Gunung Mili bernama Desa Jiwika, Kecamatan Kurulu, Kabupaten Jayawijaya. Seminggu sekali, kata Mariana, ia harus mendaki Gunung Mili menuju Iluagimo dan mengambil air garam. Penduduk desa sejak lama menerima warisan dari leluhur mereka sebuah mata air suci dan sakral, yang mengandung garam.

"Ini kemurahan Tuhan. Di gunung pun kami menemukan garam," kata tetua suku Dani, Markus Mabel. Dulu, katanya, leluhur suku Dani harus berjalan berhari-hari melintasi lembah dan gunung menuju Kota Wamena hanya untuk membeli garam. Bahkan, tak jarang mereka harus menginap di rumah kerabat di kota, sebelum kemudian kembali lagi ke Jiwika. "Sekarang kami ada garam di gunung," tuturnya.

KOMPAS/ PUTU FAJAR ARCANA

Perjalanan melintasi padang sabana sebelum mendaki Gunung Mili.

Garam Gunung Mili sungguh istimewa. Air asin yang keluar dari mata air sejak dahulu tidak pernah kering. Warga Jiwika menggunakan serat pelepah pisang untuk menyerap air garam. Mereka tidak menggunakan wahana penampung seperti ember karena cara itu, menurut mereka, akan mempercepat pengurangan sumber garam.

Secara kodrati, lidah manusia memiliki indera pengecap yang mampu membedakan rasa manis, asin, masam, dan pahit. Sensor pengecap keempat rasa ini disebut papilla dan terbagi-bagi dalam area yang terdapat di depan untuk rasa manis, dua sisi depan untuk asin, dua sisi belakang untuk asam, dan bagian belakang untuk pahit. Sementara, untuk rasa seperti pedas dan gurih, hampir seluruh papilla di permukaan lidah bekerja dan mengirimkan panas atau enak kepada otak.

Jika rasa manis, masam, dan pahit bisa didapatkan manusia pada beberapa buah, kayu, akar, dan dedaunan, tidak demikian dengan rasa asin. Soal rasa asin yang diperoleh dari garam ini pernah disebutkan dalam kitab kuno Buddha, Vinaya Pitaka, yang diperkirakan ditulis pada abad ke-5 SM.

Reay Tannahill dalam buku Food in History menyebutkan, manusia mulai memproduksi garam pada zaman Neolitikum, zaman saat manusia mulai menggunakan alat-alat bercocok tanam dan tembikar. Saat awal milenium, diperkirakan garam mulai diproduksi secara massal di China, Mesir, dan Persia menggunakan bantuan panas matahari.

KOMPAS/ PUTU FAJAR ARCANA

Mata air garam di ketinggian 2.100 dari permukaan laut, di kawasan Gunung Mili, Lembah Baliem, Papua.

Fakta-fakta ini menunjukkan betapa rasa asin garam sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Dalam istilah Butet Kartaredjasa, lidah kita bisa pingsan jika tidak mencecap rasa asin. Rupanya keinginan untuk mencecap rasa asin telah mendorong banyak hal dalam hidup manusia. Bahkan, saking pentingnya, beberapa etnis memiliki legenda yang terus-menerus direproduksi dari generasi ke generasi.

Orang-orang Madura punya cerita tentang kehadiran prajurit bernama Anggasuta. Pada abad ke-15, para prajurit asal Mengwi, Bali, menyerang Madura untuk membantu kerajaan Blambangan. Serangan itu bisa dipatahkan dan para prajurit yang menjadi tawanan diberikan sebuah wilayah bernama Gir Papas. Anggasutalah yang dianggap pertama kali bisa mengubah air laut menjadi kristal-kristal garam dengan menggunakan sinar matahari. Sampai kini daerah Madura dikenal sebagai pemasok garam utama secara nasional.

Suku Dayak Lundayeh di Kalimantan Utara punya cerita soal burung punai yang jatuh di sebuah sumur. Ketika dagingnya dikonsumsi, warga mencecap rasa asin, sebuah rasa yang selama ini mereka cari sampai jauh ke pedalaman hutan. Kini di kawasan pegunungan Krayan, setidaknya terdapat 33 sumur yang mengandung air asin. Air inilah yang dipanaskan untuk memperoleh kristal-kristal garam.

Suku Afar di Etiopia dikenal sebagai suku yang amat tangguh. Mereka bisa berjalan selama berhari-hari di bawah terik matahari dengan suhu 50 derajat celsius untuk menambang garam di Gurun Danakil. Saking panasnya, daerah Gurun Danakil disebut sebagai pintu gerbang neraka.

KOMPAS/ BAHANA PATRIA GUPTA

Petani memanen garam di Desa Lembung, Kecamatan Galis, Pamekasan, Jawa Timur, Jumat (16/9/2011). Kebutuhan garam nasional tahun 2011 untuk garam konsumsi sebesar 1,6 juta ton sebagian besar dicukupi dari Pulau Madura.

Garam di Gurun Danakil terbentuk dari air danau asin yang mengering akibat pemanasan matahari, yang terkadang mencapai 63 derajat celsius. Sejak lama, garam menjadi pusat kehidupan masyarakat Etiopia bagian utara. Garam bahkan mendorong migrasi orang-orang Afar dari kota Hamed Ela menuju Gurun Danakil dengan menuntun karavan unta yang membawa ratusan kilogram balok garam.

Cerita-cerita ini mengirim pesan kepada kita bahwa lidah telah mendorong manusia melakukan pengembaraan untuk menemukan rasa asin. Di dalam pengembaraan itu tak jarang muncul kisah-kisah epik ketika manusia bertahan melawan kekerasan alam sebagaimana dilakoni oleh Suku Afar. Pekerjaan menambang garam di Gurun Danakil termasuk salah satu pekerjaan terberat di dunia.

Selain itu, rasa asin juga mendorong kolonisasi orang-orang Belanda terhadap para petani garam di Madura. Sejak diketahui sebagai penghasil garam terbesar di Hindia Belanda, para penjajah mulai menganggap penting keberadaan Pulau Madura. Seluruh ladang garam di pulau itu kemudian dikuasai Belanda dan merekalah yang mengekspor garam dapur dan industri ke Eropa.

Sampai kini, sesekali kita mendengar impor garam Indonesia masih mencapai 2,7 juta ton setiap tahun. Sementara produksi yang bisa direalisasikan secara nasional sekitar 2,3 juta ton. Artinya, kita lebih banyak mengimpor garam dari pada memproduksi garam sendiri.

KOMPAS/ PUTU FAJAR ARCANA

Suku Dani sedang mengerik batang pisang yang akan digunakan sebagai media menyerap air garam di Gunung Mili.

Angka ini juga menunjukkan kepada kita bahwa perkara lidah bukan persoalan sepele. Seluruh cerita dan legenda yang direproduksi secara turun-temurun dari generasi ke generasi menjadi cerita yang akan terus hidup dan dipelihara, sepanjang lidah manusia tidak pingsan.

Rasa asin yang kodrati akan terus pula mendorong petualangan-petualangan baru di tengah hiruk pikuk industri garam dalam negeri yang nyaris tak berkesudahan. Khusus soal rasa asin, manusia tidak mampu berpaling dari senyawa kristal yang disebut garam.

Sejauh ini belum ada senyawa baru yang bisa menyubstitusi peran garam yang vital terhadap tubuh manusia. Sungguh sangat mungkin manusia mempertaruhkan segalanya untuk merebut rasa asin! Rasa yang sering kali berasosiasi dengan kekecewaan, bukan?


Kompas, 4 September 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger