Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 18 September 2019

EPILOG: Perjamuan Semesta (PUTU FAJAR ARCANA)

SUPRIYANTO

Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas.

Sebelum benar-benar masuk ke balai adat, kami disambut tari Legusalai. Balai adat Desa Taboso sudah dipenuhi warga yang bersiap menggelar ritual Orom Sasadu.

Ritual ini hanya digelar dua kali dalam setahun, pada awal musim tanam dan sesudah masa panen. Ritus Orom Sasadu, berupa rangkaian jamuan makan yang sepenuhnya mengolah dan menyajikan bahan pangan lokal.

Ketua Adat Suku Sahu, Desa Taboso, Nochlottoh (64) memberi tahu kami, dalam Orom Sasadu harus ada e a jala, atau nasi kembar yang dimasak dalam sebumbung bambu. Siang hari sebelumnya, kami berkunjung ke Desa Ngaon, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, dan bertemu dengan pemilik ladang bernama Rudi Basai (56). Di ladang seluas 10 hektar, berjarak sekitar sejam dari Jailolo, Rudi menanam padi, kelapa, gaharu, pala, kakao, singkong, dan berjenis-jenis sayuran, yang dibudidayakan secara organik.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Memasak nasi untuk makan bersama di sasadu atau rumah adat ketika upacara Orom Sasadu di Desa Gamtala, Halmahera Barat. Orom Sasadu merupakan upacara adat khas Halmahera Barat yang dilakukan sebagai tanda syukur atas hasil panen.

Mama Fina (64) sedang khusyuk menata beras di atas setangkai daun pisang. Di kedua bilah daun yang dibatasi pelepah, pelan-pelan ia gulung beras dengan daun untuk kemudian membentuk bulatan panjang berongga di kedua sisi. Secara telaten kemudian ia masukkan ke dalam bumbung bambu. Agar beras matang menjadi nasi, bumbung bambu dibakar di atas bara api di halaman rumah. Nasi dalam bumbung bambu itulah yang kemudian disebut sebaga e a jala, nasi kembar simbol persaudaraan. Sejarah ratusan tahun membentuk komposisi demografi warga Halmahera Barat menjadi penganut Kristen dan Islam. Persaudaraan terus mereka rawat lewat nasi bernamae a jala.

"E a jala kami makan bersama, karena kami bersaudara," kata Nochlottoh. Di hadapan kami sudah tersedia nyao kapo (ikan masak kering), nyao sananga (ikan goreng), jijidu (kerang rica), dabudabu sidudu igon (sambal), papeda (bubur sagu), dabuolaola(sayur lilin), sayur bunga pepaya, dano'e ja'du (saguer). Piring tradisional masyarakat Jailolo berupa wadah dari pelepah pinang berbentuk perahu. Seluruh menu yang disajikan malam itu, benar-benar tumbuh dan hidup di bumi dan laut Halmahera Barat.‎

Ritual Orom Sasadu, kata Nochlottoh, selain pengungkapan ekspresi rasa syukur atas kemurahan semesta, juga menjadi wahana menjalin rasa persaudaraan antar-sesama warga. "Biasanya pesta ini sampai tujuh hari tujuh malam," katanya. Malam itu, kami dan seluruh rombongan perjalanan yang diinisiasi Ketua Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI) Santhi Serad, benar-benar menikmati keramahan dan berkah kemurahan alam Maluku Utara.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Ibu-ibu memasak nasi untuk makan bersama di sasadu atau rumah adat ketika upacara Orom Sasadu di Desa Gamtala, Halmahera Barat, Kamis (16/5/2013).

Ritus tradisi agraris serupa saya temukan pula di Kampung Anemaugi, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Kepala Suku Dani di kampung ini bernama Yali Mabel, lelaki kekar dan jago memanah. Sesaat setelah kami tiba, cuaca sedikit bergerimis. Tetapi serombongan prajurit berteriak-teriak di padang sabana tak jauh dari kampung. Mereka membawa tombak dan panah, lalu saling baku hantam. Jangan khawatir ini bukan unjuk rasa, apalagi pemberontakan. Teriakan-teriakan itu adalah bagian dari  tarian perang yang justru menunjukkan keramahan Suku Dani dalam menyambut para tetamunya.

Di tengah-tengah kampung, sekelompok perempuan berjongkok melingkar mengelilingi kepulan asap yang membubung di atas atap rumah-rumah honai. Inilah kejutan kedua yang dipersiapkan Yali Mabel: menggelar ritual bakar batu. Suku Dani menyebutnya sebagai barapen, sebuah ritual yang meneguhkan rasa persaudaraan, menempatkan kasih sebagai hal utama di antara sesama manusia.‎

Ritus bakar batu biasanya menggunakan media batu, daun pisang dan ilalang, untuk membakar daging, sayuran, dan hipere (ubi). Kesederhanaan tata cara dan sajian menunya, justru mengembalikan inti persaudaraan ke tingkat paling subtil sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Ia melintasi batas-batas ras, bahasa, dan warna kulit. Siang itu, di kampung yang jauh dari Jakarta, kami menyantap ketulusan dan mengunyah kebaikan hati masyarakat Suku Dani di pedalaman Lembah Baliem.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Suku Dani melakukan ritual bakar batu dalam Festival Lembah Baliem 2012 di Kampung Wosiala, Desa Wosilimo, Distrik Usilimo, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Rabu (8/8/2012).

Ritus jamuan makan sesungguhnya merupakan perayaan pengakuan manusia terhadap keajaiban semesta. Semesta yang telah memberi keberlimpahan makanan, yang telah dikonsumsi makhluk hidup selama berabad-abad, tetapi tidak pernah benar-benar habis. Jamuan makan dalam berbagai kebudayaan juga menjadi forum pengakuan kesejajaran martabat. Bahwa di hadapan berkah semesta berupa makanan, seluruh martabat makhluk hidup sesungguhnya sama dan sederajat.

Pohon-pohon, binatang, manusia, termasuk para dewa (dalam pengertian yang amat simbolik), memperoleh makanan dari kemurahan semesta. Oleh sebab itulah makanan sejak zaman berburu (Paleolitikum) sampai di masa kontemporer senantiasa dimuliakan. Kitab suci orang-orang Hindu, Taittiriya Upanisad menyebut istilah annam na nindyat. Jangan pernah mencela, menghina, dan mengabaikan keutamaan makanan. Makanan adalah annam, kemuliaan,  dan annam adalah amerta (kekal). Jika seseorang mencela, menghina, dan mengabaikan makanan, maka ia sesungguhnya mengabaikan hidup yang sesungguhnya penuh keberkatan.‎

Dalam prilaku sehari-hari secara kultural masyarakat Bali selalu melakukan saiban, mempersembahkan makanan di tempat-tempat yang dianggap suci. Saiban tak hanya hidup dalam dimensi ritualistik, tetapi lebih-lebih adalah pesan spesifik yang mengandung semangat berbagi, bahkan kepada makhluk-makhluk yang tidak kasat mata.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Jamuan makan malam dalam ritual Orom Sasadu di Desa Toboso, Jailolo. Seluruh jamuan menggunakan bahan lokal yang dimasak secara tradisional, 11 Mei 2018.

Oleh sebab itu, sungguh menjadi kebiasaan jika berkunjung sebagai tamu di keluarga-keluarga Bali, Anda akan ditawari makan. Pada masa lalu, penawaran makan kepada para tamu itu bahkan benar-benar dipersiapkan secara serius. Tak sungkan-sungkan tuan rumah akan menyembelih ayam peliharaan dan memetik sayuran di kebun untuk kemudian disuguhkan kepada para tamunya.

Perlakuan-perlakuan semacam inilah yang membuat makanan tak hanya berperan sebagai pembunuh rasa lapar, tetapi mengandung dimensi ritual dan sosial yang subtil. Makanan adalah persembahan paling istimewa kepada Sang Pencipta, makanan pula yang meneguhkan rasa saling berbagi pada manusia. Bahwa perbedaan-perbedaan yang kodrati pada diri manusia, bisa luluh karena makanan.

Oleh sebab itulah ritus seperti Orom Sasadu di Desa Taboso dan barapen di Kampung Anemaugi, telah menemukan konteks politik penting pada masa sekarang, di mana perbedaan dieksploitasi untuk memecah-belah. Mungkin kita harus menemukan ritus-ritus baru yang memuliakan makanan, untuk menjembatani keterpecahan yang semakin menganga di depan mata. Nasi goreng?

Kompas, 18 September 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger