KOMPAS/KRIS MADA

Duta Besar India untuk Indonesia Pradeep Kumar Rawat memaparkan hubungan dagang Indonesia-India dalam Promosi Produk Pertanian India yang diselenggarakan Kedutaan Besar India di Indonesia dan Otoritas Pengembangan Ekspor Produk Pertanian (Apeda) India, Senin (16/9/2019), di Jakarta. Indonesia-India menargetkan nilai perdagangan kedua negara mencapai 50 miliar dollar AS pada 2025.

Indonesia menargetkan transaksi dagang dengan India naik 500 juta dollar AS enam bulan ke depan, terutama dengan penurunan bea masuk produk sawit (Kompas, 17/9).

Dalam catatan kita, India mitra dagang kelima terbesar Indonesia, setelah China, Jepang, Singapura, dan AS, dengan volume perdagangan bilateral pada 2018 sebesar 18,75 miliar dollar AS dan surplus 8,7 miliar dollar AS di pihak Indonesia. Harapan lonjakan perdagangan diharapkan datang dari sawit mengingat CPO dan produk turunannya selama ini memainkan peran penting dalam perdagangan kedua negara.

India konsumen produk sawit terbesar dunia, mengimpor sekitar 20 persen dari 44 juta ton sawit yang diperdagangkan di 2018. Sekitar 70 persen dari 7,7 juta ton rata-rata impor per tahun India dipasok Indonesia dan 27,5 persen dari Malaysia. Namun, posisi ini terancam dengan kebijakan India menaikkan bea masuk (BM) produk sawit pada 1 Maret 2018.

Akibatnya, posisi Indonesia sebagai eksportir terbesar tergusur Malaysia. Adanya Perjanjian Kerja Sama Komprehensif Malaysia-India (MICECA) membuat Malaysia bisa menikmati BM 40 dan 45 persen untuk CPO dan produk turunan, sementara Indonesia dikenai tarif 40 dan 50 persen. Pangsa Malaysia naik dari 30 persen semester I-2018 ke 52 persen semester I-2019, dengan ekspor naik dari 1,39 juta ton ke 2,59 juta ton. Sementara Indonesia turun jadi hanya 2,1 juta ton.

Menyusul pertemuan Presiden Jokowi-PM Narendra Modi, Mei 2019, India sepakat menurunkan BM bagi Indonesia sehingga sama dengan Malaysia. Namun, ada kecenderungan sikap pemerintah kita terlalu royal dalam mengakomodasi tuntutan India membuka akses produknya di pasar Indonesia sebagai kompensasi diturunkannya BM sawit kita di India.

Ekonom dan kalangan asosiasi usaha melihat, selain membahayakan industri di dalam negeri, kebijakan membuka akses pasar secara serampangan bisa merusak kebijakan kontrol impor oleh pemerintah dalam rangka menekan defisit perdagangan dan neraca transaksi berjalan. Apalagi, produk yang dimintakan direlaksasi impornya umumnya produk konsumsi: otomotif, farmasi, buah-buahan, susu, daging kerbau, dan ban. Belum lagi, kemudahan akses terhadap produk suatu negara akan memicu tuntutan perlakuan sama dari negara lain.

Padahal, sebelumnya, pemerintah juga sudah menuruti kemauan India menurunkan BM gula mentah dari 10 menjadi 5 persen pada Juni 2019. Untuk daging kerbau, bukan hanya minta kuota dihapuskan, India juga minta jumlah pelabuhan yang bisa diakses ditambah. Tentu saja ini ditentang keras Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI). Selain mengancam peternak lokal, rawan masuknya kembali penyakit mulut dan kuku, tujuan impor daging kerbau untuk menekan harga daging sapi dalam negeri terbukti tak efektif.