Dua undang-undang yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat di akhir masa jabatannya kian mempertontonkan watak asli DPR.

Politik hanya komoditas yang ditransaksikan. Demokrasi hanya jual beli. Persetujuan pemerintah dan DPR merevisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menjadi contoh telanjang bagaimana watak kekuasaan bekerja hanya untuk membagi kekuasaan untuk dirinya sendiri. Revisi UU MD3 menambah jumlah pimpinan MPR dari lima menjadi 10 orang.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berpendapat penambahan pimpinan MPR adalah untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat yang lebih efektif. Argumen Mendagri terlalu lemah. Jika memang untuk memperkuat permusyawaratan, mengapa wakil Dewan Perwakilan Daerah yang punya 136 anggota hanya diwakili satu unsur pimpinan? Jumlah anggota DPD di MPR jauh lebih besar daripada kursi fraksi partai politik di MPR.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pesepeda berswafoto saat petugas membersihkan sisa sampah yang ditinggalkan para demonstran pendukung revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) di depan Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Minggu (15/9/2019).

Jelaslah, revisi UU MD3 hanyalah untuk berbagi kekuasaan yang membebani anggaran. Atau memang ada skenario politik lain. Misalnya, menjadikan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang bisa menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara dan menjadikan kembali presiden pilihan langsung oleh rakyat menjadi mandataris MPR. Pandangan seperti itu pernah disuarakan (Kompas, 5 Agustus 2019). Sikap politik mengubah konstitusi menjadi syarat calon pimpinan MPR.

Langkah DPR merevisi UU MD3 bisa bermasalah secara etik. Mengambil prinsip di dunia pengadilan, nemo judex idoneus in propria causa (tidak seorang pun dapat menjadi hakim untuk perkaranya sendiri). Jika dianalogikan, DPR memanfaatkan kewenangannya sendiri untuk menambah kursi pimpinan MPR yang notabene temannya sendiri.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas menyerahkan laporan hasil pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoli dalam rapat paripurna DPR ke-9 Masa Sidang Tahun 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Dalam rapat itu, DPR bersama Pemerintah setuju rancangan UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

Pada sisi lain, pemerintah dan DPR menyetujui revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi UU KPK "mengamputasi" kewenangan pimpinan KPK dan menjadikan Dewan Pengawas sebagai "penguasa" baru di KPK. Semua tindakan yang diambil KPK, seperti menyadap, menyita, menggeledah, harus mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas yang untuk pertama kalinya ditunjuk presiden.

Muncul analisis, yang masih harus ditunggu realitasnya, revisi sejumlah undang-undang, termasuk UU KPK, "dibarter" dengan undang-undang lain yang diajukan pemerintah. Indonesia memasuki era baru, yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai "dol tinuku". Demokrasi jual beli. Jika tren itu terus terjadi, rakyat termarjinalkan. Koruptor bahagia. Elite mendapat kemewahan. Terciptalah alienasi rakyat dan elite. Politik telah jauh bergerak dari apa yang disebut seni mencari kemungkinan. Kekuatan argumentasi digantikan intimidasi. Politik jual beli telah menjadikan prinsip politik now and never. Kesan itulah yang kita tangkap dari disahkannya UU MD3 dan revisi UU KPK. Lalu di mana musyawarah-mufakat? Bangsa ini membutuhkan kekuatan tengah yang bisa menjaga moralitas dan akal sehat republik. Semoga MK bisa.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA