Suatu saat, seorang rekan melihat para sopir pribadi atau sopir taksi yang mengantar penumpangnya ke Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, kesulitan mencari toilet. Mereka yang ingin buang hajat atau sekadar melepas air seni kerepotan mencari toilet atau WC.
Saat itu, kejadian sudah lama, mereka harus melakukannya di toilet di dalam bandara. Artinya, mereka harus memarkir kendaraannya dan berjalan cukup jauh menuju toilet. Selain membutuhkan waktu, uang yang harus dikeluarkan untuk parkir menjadi perhitungan tersendiri.
Banyak di antara mereka akhirnya memilih toilet di jalan keluar bandara di sebuah toilet warung. Rekan tadi melihat hal tersebut sebagai peluang bisnis. Akhirnya, dia pun menjadi "investor" untuk memperbaiki toilet alakadarnya itu, melengkapinya dengan pompa air untuk memenuhi kebutuhan air. Bisnis WC umum dia pun berjalan lumayan lancar.
"Pokoknya, tiap malam, anak dan istri saya nambah pekerjaan baru menghitung uang hasil WC umum itu," katanya.
Setiap malam, mereka membuka kotak-kotak yang penuh uang recehan lecek dari para pengguna WC umum. Biasanya tarif Rp 2.000 untuk kencing dan dua kali lipat atau lebih untuk buang air besar.
Namun, belakangan saya dengar, rekan itu tidak lagi meneruskan bisnisnya. Dia menyerahkan bisnis WC umum itu ke si pemilik warung. Alasannya berhenti bisnis pun sederhana. Dia tidak nyaman karena banyak orang memanggilnya dengan tambahan tak sedap terkait WC umum di belakang namanya.
Kebutuhan akan panggilan alam menjadi bisnis tersendiri di Ibu Kota. WC-WC umum di sejumlah pusat keramaian, seperti pasar atau terminal, biasanya gampang ditemui. Demikian pula sejumlah area istirahat di jalan tol menjadikan WC sebagai sumber pemasukan keuangan tersendiri. Sejumlah WC umum di tempat umum itu dikelola oleh "juragan-juragan" WC yang juga mempekerjakan sejumlah orang dengan sistem giliran alias sif-sifan.
Selain menjaga kebersihan, para penjaga WC umum yang umumnya bertipe kamar kecil atau kamar mandi basah itu menjadi penunggu kotak-kotak pembayaran bagi siapa saja yang menggunakan jasa fasilitas tersebut. Bisnis di bidang yang terbukti menguntungkan ini oleh sebagian orang disebut juga sebagai "bisnis kotor".
Selain menjaga kebersihan, para penjaga WC umum yang umumnya bertipe kamar kecil atau kamar mandi basah itu menjadi penunggu kotak-kotak pembayaran bagi siapa saja yang menggunakan jasa fasilitas tersebut. Bisnis di bidang yang terbukti menguntungkan ini oleh sebagian orang disebut juga sebagai 'bisnis kotor'.
Di level lainnya, ada juga sejumlah perusahaan persewaan toilet tumbuh pesat. Mereka biasanya menyewakan toilet-toilet portabel dengan tarif yang relatif mahal dan biasa digunakan sejumlah penyelenggara acara atauevent organizer. Tarif toilet-toilet yang bisa diangkut ke mana saja itu bervariasi antara Rp 2,5 juta–Rp 3 juta per toilet per hari. Selain toilet biasa, mereka juga biasa menawarkan toilet VIP dengan fasilitas yang lebih "mewah" dan harum. Mereka melengkapi dengan pekerja yang sigap memeriksa dan menjaga kebersihan toiletnya.
Bukan hal gampang mencari toilet di Jakarta saat kita berkegiatan di jalanan. Jika beruntung, saat kebelet, kita bisa masuk ke mal, pertokoan, perkantoran, atau pom bensin. Namun, perlu diingat, tidak semua toko swalayan yang banyak bertebaran ramah kepada para calon pengguna toilet di tokonya. Mereka biasanya memberi alasan, seperti rusak atau tidak air, sehingga toiletnya tidak bisa digunakan. Usahakan membeli sejumlah barang alakadarnya dulu sebelum meminta izin menggunakan toilet.
Jakarta belum seperti di sejumlah kota maju, dengan toilet umum banyak tersedia di pusat-pusat keramaian. Bahkan, biasanya bentuk atau arsitektur toilet itu menyatu dengan kota sehingga jauh dari kesan jorok. Mereka yang akan menggunakannya bisa memasukkan sejumlah koin sehingga pintu toilet secara otomatis terbuka dan bisa digunakan. Di sejumlah stasiun kereta api di Berlin, Jerman, pintu toilet umum mirip dengan pintu-pintu otomatis untuk memasuki stasiun kereta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar