Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 06 September 2019

KONFLIK PAPUA: Memadamkan Api Konflik Papua (AISAH PUTRI BUDIATRI)

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Sejumlah mahasiswa dan warga Papua menggelar aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta, yang mengecam tindakan persekusi terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang, Selasa (20/8/2019).

Selama 50 tahun, api konflik Papua tak pernah padam, dan hari ini sempat membara semakin besar. Dipicu oleh persekusi dan perlakuan rasis di Jawa Timur menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia pada 15 dan 16 Agustus, reaksi massa di Papua dan Papua Barat muncul dan berujung pada aksi anarkis yang berlangsung hingga akhir Agustus lalu.

Tuntutan yang mulanya hanya permintaan maaf atas perlakuan rasis disertai dengan penegakan hukum yang tegas terhadap pelakunya, kemudian berkembang hingga tuntutan yang lebih besar, bahkan referendum bagi Papua.

Patut disadari bahwa aksi yang begitu masif di Papua tidak hanya lahir sebagai reaksi atas perlakuan rasis dan diskriminatif di Jawa Timur, namun jauh lebih mendasar dari itu telah menjadi momentum bangkitnya solidaritas kemanusiaan atas konflik akut yang berlangsung di Papua sejak lama.

Diskriminasi yang menjadi pemantik reaksi kemarahan di Papua hanya lah satu dari persoalan kompleks yang menyebabkan konflik Papua. Selain problem diskriminasi, Tim Kajian Papua LIPI, melalui publikasi risetnya berjudul Papua Road Map di tahun 2009, menemukan ada tiga akar masalah lain dalam konflik Papua, termasuk status dan sejarah politik, kegagalan pembangunan, serta kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) (Widjojo, 2009).

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Sejumlah siswa kelas 1 SD YPPK Don Bosco Ewer, Kabupaten Asmat, Papua, melambaikan tangan mereka saat difoto disela-sela jam belajar mereka di sekolah, Senin (22/1). Sebanyak 10 guru mengajar sekitar 200 anak yang menjadi murid dii SD itu.

Diskriminasi yang menjadi pemantik reaksi kemarahan di Papua hanya lah satu dari persoalan kompleks yang menyebabkan konflik Papua.

Hingga saat ini, atau sepuluh tahun setelah Papua Road Map diterbitkan, keempat akar masalah itu masih bercokol dan menjadi sebab api konflik di Papua tetap hidup. Api konflik ini bisa meledak kapan saja seperti bom waktu, dan nampaknya ledakan itu muncul saat ini.

Kegagalan meredam konflik

Kita tentu berharap api konflik di Papua segera mereda dan padam. Patut diakui, pemerintah sesungguhnya tak tinggal diam dan telah berupaya memadamkannya.

Pemerintahan era Reformasi telah membawa pergeseran pendekatan penyelesaian konflik dari pengutamaan pendekatan keamanan di era Orde Baru menjadi pendekatan pembangunan yang mengedepankan peningkatan kesejahteraan orang Papua. Artinya, pemerintah telah meninggalkan upaya penggunaan peluru dan operasi militer sebagai satu-satunya cara mengakhiri konflik. Namun, api konflik sulit mati karena pendekatan penyelesaiannya yang masih bersifat koersif, parsial, dan inkonsisten.

Meskipun status Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua telah lama ditanggalkan, namun cara-cara koersif yang lekat dengan karakter pendekatan keamanan, seperti penggunaan tekanan, paksaan dan bahkan kekerasan, masih ditemukan terjadi dalam penanganan persoalan di Papua.

Dampaknya, muncul beberapa kasus yang diduga merupakan pelanggaran HAM terhadap orang Papua. Setidaknya tercatat ada 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua yang berlangsung selama era Reformasi, dengan tiga di antaranya direkomendasikan sebagai pelanggaran HAM berat, termasuk kasus Wasior (2001), Wamena (2003) dan kasus Paniai (2014).

DOK SATGAS TNI YONIF PR 328/DGH

Para siswa SD Inpres di Mosso, Papua sedang diobati kakinya oleh Satgas TNI Yonif PR 328/Dgh yang menjaga perbatasan RI dan Papua New Guinea.

Padahal, untuk mampu menyelesaikan konflik, negara harus hadir dengan wajahnya yang humanis, bukan berwajah kekerasan. Hal ini penting terutama bila negara ingin menghapuskan 'memoria passionis' orang Papua akibat operasi militer di masa lalu.

Pendekatan pembangunan, dengan menerapkan otonomi khusus pada tahun 2001, yang diharapkan dapat menjadi solusi konflik, ternyata tidak juga efektif karena bekerja secara parsial dan inkonsisten. UU Otonomi Khusus (Otsus) No 21 Tahun 2001 yang disusun oleh akademisi dan elite lokal di Papua sesungguhnya tidak hanya tentang pembangunan ekonomi, namun lebih komprehensif dari itu.

Di dalamnya terdapat pasal-pasal tentang perlindungan dan penghormatan HAM, upaya klarifikasi sejarah Papua, pengakuan terhadap lambang kultural, aksi afirmasi, dan berbagai upaya membangun Papua. Sayangnya, jauh panggang dari api, banyak kebijakan di dalam UU Otsus yang tak terimplementasikan.

Tumpang tindih hukum dan atau tidak adanya peraturan yang mengatur teknis implementasi menjadi sumber masalah banyaknya pasal UU Otsus yang gagal berjalan.

Contohnya, pemerintah menyatakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diharapkan akan menjalankan klarifikasi sejarah dan merumuskan langkah rekonsiliasi konflik tak dapat dibentuk akibat UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Desember 2006 (Kontras, 2010; Budiatri, 2017).

KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR

Para penulis buku "Papua dalam Arus Sejarah Bangsa". Dari kiri ke kanan: sejarawan Universitas Negeri Medan Rosmaida Sinaga, pakar genetik dari Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo, Sejarawan Lipi Taufik Abdullah, moderator Adriana Elizabeth, dan sejarawan Universitas Indonesia Susanto Zuhdi dalam bedah buku di Jakarta, Senin (25/2/2019).

Gagalnya pembentukan KKR menjadi satu isu dari sekian banyak hal terkait politik, sejarah dan HAM yang tidak dijalankan secara konsisten sesuai dengan amanah UU Otsus. Dari banyak aspek yang diatur oleh UU Otsus, sebagian besar pasalnya yang berjalan dan dapat diimplementasikan hanya yang berhubungan dengan aspek pembangunan. Padahal, problem pembangunan bukan satu-satunya alasan kemunculan konflik di Tanah Papua.

Penyelesaian konflik yang koersif, parsial dan inkonsisten yang di antaranya dibuktikan oleh masih adanya dugaan pelanggaran HAM dan tidak efektifnya kebijakan otonomi khusus ini kawin-mawin dengan berbagai problem pelik lainnya, misalnya kebijakan antar Kementerian/Lembaga dan atau antar pemerintah pusat dan daerah yang tidak terintegrasi, penyusunan kebijakan yang masih bersifat top-down, tidak adanya grand designOtsus Papua, serta peta aktor yang begitu kompleks baik di Jakarta maupun Papua.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Direktur Jenderal Gakkum KLHK Rasio Ridho Sani (kanan) memeriksa barang bukti kontener berisi kayu ilegal asal Papua saat rilis penggagalan penyelundupan kayu Ilegal Ditjen Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutananan di Terminal teluk Lamong, Surabaya, Rabu (16/1/2019). Dari 384 kontener barang bukti kayu ilegal yang disita diperkirakan sebanyak 5.812,77 meter kubuk dengan nilai minimal Rp 104,63 milyar.

Sebagai akibatnya, pendekatan penyelesaian konflik yang diadopsi pemerintah menjadi tak cukup efektif untuk mengakhiri konflik Papua. Alih-alih usai, konflik berpotensi memburuk akibat semakin melemahnya tingkat kepercayaan Orang Papua terhadap pemerintah yang kerap gagal menyelesaikan akar masalah konflik.

Alih-alih usai, konflik berpotensi memburuk akibat semakin melemahnya tingkat kepercayaan Orang Papua terhadap pemerintah yang kerap gagal menyelesaikan akar masalah konflik.

Urgensi dialog Papua

Munculnya aksi demonstrasi yang meluas di Papua dan Papua Barat menjadi pengingat bagi kita bahwa penanganan konflik Papua harus diubah. Penggunaan cara-cara koersif, parsial dan tidak konsisten harus diganti dengan pendekatan baru yang humanis dan komprehensif.

Berbasis riset sejak tahun 2004, Tim Kajian Papua LIPI mendorong pendekatan dialog sebagai pendekatan baru untuk mengakhiri konflik. Dialog dalam hal ini tidak sekadar pertemuan antara presiden atau pemerintah dengan para tokoh Papua, namun merupakan pendekatan strategis untuk membahas masalah, mencari solusi bersama, hingga membangun kesepakatan yang mengikat antar aktor-aktor konflik Papua (Elisabeth, 2017).

KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Christian Zebua bersama sejumlah tokoh Organisasi Papua Merdeka dii Kampung Susmorof, Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat, pada Sabtu (16/8/2014). Sebanyak 700 anggota OPM yang menyatakan diri kembali ke pangkuan NKRI. Deklarasi ini untuk memperingati Ulang Tahun Indonesia yang ke 69. KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

Sering kali dialog diragukan dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik di Papua akibat struktur aktor Papua yang tidak membentuk hierarki seperti halnya di Aceh, sehingga sangat sulit untuk menemukan representasi yang memiliki legitimasi kuat untuk berdialog. Kondisi ini seharusnya tidak dipandang sebagai hal yang menghambat digunakannya pendekatan dialog, sebaliknya menjadi tanda bahwa dialog Papua memiliki formatnya sendiri yang berbeda dengan dialog Aceh.

Munculnya aksi demonstrasi yang meluas di Papua dan Papua Barat menjadi pengingat bagi kita bahwa penanganan konflik Papua harus diubah.

Karena karakteristik aktor konflik di Papua yang demikian, maka dialog harus inklusif dengan melibatkan banyak pihak, termasuk di antaranya pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat adat Papua, paguyuban migran, kelompok agama, aktivis, kaum muda, akademisi, Tentara Pembela Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM), diaspora Papua dan berbagai aktor penting lainnya. Para pihak itulah yang kemudian membahas secara simultan semua akar masalah Papua.

Tak hanya masalah pembangunan, pendekatan dialog juga digunakan untuk membahas isu sosial-politik dan HAM. Dengan demikian, dialog dapat menjadi kunci menyelesaikan soal secara inklusif dan komprehensif.

Dialog yang dulu sempat menjadi hal tabu, saat ini justru diyakini oleh banyak pihak sebagai cara ampuh memadamkan api konflik di Tanah Papua. Indonesia juga telah mencatat sejarah sebagai salah satu negara yang berhasil menjalankan dialog, seperti yang berlangsung di Aceh dan Ambon; serta diakui memiliki komitmen yang kuat dalam mendorong perdamaian melalui dialog, seperti pada kasus konflik Rohingya di Myanmar dan kasus Filipina Selatan.

KOMPAS/ARYO WISANGGENI GENTHONG

Sejumlah 36 orang anggota Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) menyerahkan diri kepada Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua, Kamis (6/3/2008).

Hal ini seharusnya menjadi dasar keyakinan bagi pemerintah untuk tak lagi menunda implementasi dialog. Apalagi, Presiden Jokowi pada dua tahun silam sudah menyatakan mendukung pendekatan ini dan menunjuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Jend (Purn) Wiranto, Kepala Staf Kepresidenan saat itu, Teten Masduki, dan Koordinator Jaringan Damai Papua saat itu, (alm) Pater Neles Tebay, untuk mempersiapkan dialog sektoral.

Dialog yang dulu sempat menjadi hal tabu, saat ini justru diyakini oleh banyak pihak sebagai cara ampuh memadamkan api konflik di Tanah Papua.

Meski dialog sektoral yang digagas Presiden Jokowi belum berjalan, namun hal ini dapat dirintis kembali sebagai langkah untuk memadamkan api konflik di Papua. Sesuai pernyataan (alm) Muridan Widjojo, seorang peneliti konflik Papua, bahwa "dialog tidak membunuh siapa pun, apabila gagal, maka dialog dapat diulang kembali."

Kita tentu mengetahui berhasil tidaknya pendekatan dialog ini jika pemerintah dan berbagai aktor konflik Papua telah berkomitmen menjalankannya. Namun yang pasti, menunda implementasi pendekatan dialog berarti membiarkan juga api konflik terus membara, hingga berpeluang menciptakan ledakan yang lebih besar nantinya.

(Aisah Putri Budiatri,  peneliti Tim Kajian Papua LIPI)

Kompas, 6 September 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger