Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) sebagai representasi daerah atas kekayaan kebudayaan di panggung nasional. PKN merupakan salah satu resolusi yang dihasilkan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 dan diharapkan bisa memfasilitasi berlangsungnya interaksi kreatif di antara budaya dari seluruh penjuru Indonesia.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Yohanes Sapulette memproduksi sagu di Desa Masihulan, Kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah, Minggu (5/5/2019). Pembuat sagu semakin berkurang karena semakin menurunnya tingkat komsumsi sagu.

Asosiasi paling dekat dengan kebudayaan adalah seni budaya, yang wajar menjadi pemantik ketertarikan untuk menyambut PKN 2019. Akan ada pertunjukan seni daerah. Namun, kita juga dijanjikan untuk menyaksikan empat aktivitas lain, yaitu kompetisi permainan rakyat, konferensi, pameran kebudayaan, dan pawai "Parade Digdaya Nusantara".

Dalam elemen kebudayaan juga ada ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat, dan agama. Kita juga berharap elemen itu dapat ikut diangkat dalam PKN nanti. Beberapa isu disebut akan diangkat, seperti pengetahuan tradisional, asal-usul DNA, ekologi, etno-astronomi, etno-botani, dan ketahanan pangan.

Topik itu menarik dan kita yakini dapat menarik minat masyarakat untuk menyimaknya. Jika ada catatan yang dapat disampaikan, adalah pesan agar orientasi tidak lebih banyak ke buah kebudayaan masa lalu, tetapi potret kebudayaan masa kini, serta perannya bagi kemajuan dan pemuliaan bangsa. Hal itu kita garis-bawahi mengingat ada urgensi pada bangsa Indonesia dalam rangka perjalanan ke depannya.

Dalam seni budaya kita tak perlu risau karena ada banyak keunggulan yang bisa diperlihatkan pada dunia, mulai dari batik, sendratari, seni kriya, hingga kuliner. Namun, kita masih punya pekerjaan rumah besar dalam pembangunan karakter, yang salah satunya mewujud pada pencapaian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga pada moralitas bangsa.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Foto dokumentasi tahun 2013 menunjukkan petani beraktivitas di sawahnya yang berundak dengan sitem pengairan subak di Tegalalang, Ubud, Bali. Subak merupakan tradisi asli dari budaya masyarakat Austronesia.

Ada pengharapan yang wajar, PKN bisa ikut menginspirasi lahirnya insan unggul Indonesia yang punya cita-cita tinggi bagi bangsanya, bahkan bagi dunia. Hal ini kita angkat karena harus diakui, sejauh yang kita amati, banyak insan bangsa yang merasa cukup dengan mediokritas, hidup dan berpikir serta berkarya sekadarnya. Oleh keterbatasan visi, terlena oleh kenyamanan, dan puas diri. Kita tertinggal dari bangsa lain.

Di bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics, kajian PISA memperlihatkan hasil tak menggembirakan untuk orang muda Indonesia. Jangankan dibanding China, dengan Vietnam yang dulu masih dilanda perang saat kita mulai program Repelita, siswa kita sudah ketinggalan.

Tentang ekologi, PKN niscaya harus bisa mengeluarkan resolusi mendesak untuk mengantisipasi dampak pemanasan global, yang antara lain diramalkan akan membuat Jakarta tenggelam dalam dasawarsa mendatang.

Kebudayaan juga harus bisa digunakan untuk merombak jiwa yang kurang peduli, baik terhadap sesama maupun alam dan lingkungan, menjadi jiwa nan halus dan memuliakan. Sungguh itu menjadi harapan kita. Hal ini kita angkat untuk menghindari hasil PKN yang biasa saja dan lekas terlupakan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO