Tahun 2001, Pemerintah Amerika Serikat menginvasi Afghanistan. Tujuannya sangat jelas: menyingkirkan kelompok fundamentalis, Taliban, dari panggung kekuasaan.
Namun, ternyata, Taliban tidak tersingkir. Dari waktu ke waktu bahkan seperti makin kokoh. Perang saudara terus berkecamuk; bom berledakan di sembarang tempat, tak peduli tempat ibadah atau pasar.
Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) tahun 2018 mengungkapkan, lebih dari 100.000 orang Afghanistan tewas, sebagian besar dari mereka adalah penduduk sipil. AS kehilangan 2.372 tentaranya dan lebih dari 20.000 tentara lainnya luka-luka.
Dalam tempo yang singkat, dari 1 Juli-30 September 2019, tercatat 1.174 orang tewas dan 3.139 orang lainnya terluka. Ini berarti naik 42 persen dibandingkan dengan tahun lalu dalam periode yang sama. Dari jumlah korban itu, 41 persen di antaranya perempuan dan anak-anak.
UNAMA menyebut periode Juli-September sebagai periode paling berdarah di Afghanistan. Selama sembilan bulan pertama 2019, lebih dari 8.000 orang tewas; sebagian besar dari mereka menjadi korban bom bunuh diri.
Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika Uni Soviet masih menduduki Afghanistan. Selama Uni Soviet menduduki negeri itu (1919-1989), masyarakat Afghanistan terpecah-pecah secara sistematis, militeris, dan korban tewas berjumlah 800.000 hingga 1,5 juta jiwa.
Setelah Uni Soviet angkat kaki, Afghanistan malah terjerumus ke dalam perang saudara ketika para komandan Mujahidin, yang dibiayai dan dipersenjatai oleh aktor-aktor internasional—misalnya, AS dan sekutu-sekutunya, seperti Pakistan dan negara-negara Teluk—bersatu membentuk Kelompok Mujahidin, yang resminya bernama Islamic Unity of Afghanistan Mujahedeen. Kelompok ini didirikan pada 1985, yang merupakan wadah untuk menyatukan kelompok-kelompok pemberontak di zaman Afghanistan diduduki Uni Soviet.
Menurut Heather Selma Gregg dalamBuilding The Nation, Missed Opportunities in Iraq & Afghanistan,mereka adalah Faksi Hezb-e-Islami Khalis pimpinan Maulavi Yunis Khalis, Hezbi Islami pimpinan Hekmatyar, Jamiat-e-Islami pimpinan Burhanuddin Rabbani, Mahaz-i-Milli Islami ye Afghanistan (Uni Islam untuk Pembebasan Afghanistan) pimpinan Pir Sayyid Ahmed Gailani, Jabha-e Melli-ye Nijat-e Afghanistan (Fron Pembebasan Nasional Afghanistan pimpinan Sibghatullah Mojaddedi, Harakat-i-Inqilab-i-Islami (Gerakan Revolusi Nasional dan Islam yang dipimpin Muhammad Nabi Mohammadi, dan Ahmad Shah Massoud, yang dikenal dengan sebutan "Singa dari Panjshir", memimpin Shura-e-Nazar (2018:157).
Kelompok Mujahidin ini berusaha mendongkel pemerintah yang ada dan terus saling menjatuhkan. Pendek kata, terjadi lingkaran setan konflik; dan konflik tidak pernah pergi dari Afghanistan.
Tragedi terakhir terjadi pertengahan bulan ini pada Jumat, 17 Oktober. Pada saat itu terjadi serangan bom di sebuah masjid di Jawdara, Distrik Haska Mena, Provinsi Nangarhar. Sebanyak 69 orang tewas akibat serangan bom itu dan 36 orang lainnya terluka.
Memburu perdamaian
Kini, 18 tahun kemudian, AS duduk satu meja dengan Taliban. Mereka membahas tentang perdamaian Afghanistan. Sebelumnya, AS mendukung dan mempersenjatai Mujahidin menghadapi Taliban.
Invasi militer AS didukung Inggris (yang kemudian bergabung adalah Kanada, Australia, Jerman, dan Perancis) ke Afghanistan dimulai pada 7 Oktober 2001, yang diberi nama Operation Enduring Freedom. Pada 9 Desember 2001, rezim Taliban menyerah dengan jatuhnya Kandahar.
Namun, kalahnya Taliban tidak menghentikan sepenuhnya peperangan. Karena pemimpin Taliban, Mullah Omar, berhasil lolos; demikian pula para pemimpin Al Qaeda yang kemudian bersembunyi di gunung-gungung sambil terus melancarkan perlawanan dengan cara lain.
Setelah melalui banyak waktu dan demikian banyak korban jiwa dan setelah pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden, dibunuh, akhirnya para perunding AS dan Taliban bertemu di Doha pada akhir 2018.
Menurut Anthony H Cordesman dalamThe Civil Challengers to Peace in Afghanistan (CSIS, 2019), isu utama yang mereka rundingkan adalah terutama penarikan seluruh pasukan AS dari Afghanistan, mengakui Taliban sebagai partai politik sah di Afghanistan, membebaskan para tawanan Taliban termasuk yang ada di Guantanamo, penghapusan Taliban dari daftar organisasi teroris, dan perubahan konstitusi Afghanistan dengan tujuan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih berdasarkan Islam.
Pada awal Februari 2019, garis besar kesepakatan secara parsial telah tercapai. Perjanjian ini menyatakan bahwa Taliban akan menjamin bahwa Afghanistan tidak akan menampung atau sebaliknya mendukung kelompok-kelompok teroris internasional, khususnya Al Qaeda.
Imbalannya, AS menarik pasukannya dari Afghanistan (Presiden Donald Trump berjanji akan menarik 7.000 tentaranya), demikian pula NATO menarik pasukannya. Mereka juga menyepakati untuk terus dilakukan dialog intra-Afghanistan dan gencatan senjata permanen.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut memberikan harapan bagi terciptanya perdamaian di Afghanistan. Ini merupakan sebuah terobosan penting dalam upaya menciptakan perdamaian.
Meskipun kesepakatan itu belum dituangkan dalam naskah perjanjian damai yang ditandatangani semua pihak yang terlibat, bagaimanapun, capaian-capaian tersebut merupakan kemajuan besar. Bahwa mereka yang berkonflik bisa bertemu dan berunding di satu meja, itu sudah membuka jalan bagi terbangunnya jalan perdamaian.
Memang, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan, terutama menyangkut kondisi sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan di Afghanistan yang hancur karena perang. Ini tugas yang tidak mudah dan tidak ringan.
Berbagai persoalan
Perang, memang, telah menghancurkan Afghanistan dalam berbagai aspek. Kiranya bagian yang amat berat—selain masalah sosial, ekonomi, dan stabilitas—adalah bagaimana membangun dialog intra-Afghanistan. Dialog di antara pihak-pihak yang berkonflik di dalam negeri rasanya lebih berat dibandingkan dengan dialog antara AS dan Taliban.
Afghanistan adalah negeri yang sangat beragam secara etnis (seperti Indonesia). Lagu nasional Afghanistan, yang disahkan oleh Loya Jirga, pada Mei 2006 pun sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Konstitusi Afghanistan (yang disahkan tahun 2004), harus menggunakan bahasa Pashto (Pashtun) dan menyebut semua kelompok etnik yang ada di negeri itu. Ini dalam usaha untuk menjaga persatuan.
Padahal, lingua franca Afghanistan adalah bahasa Dari (Persia Afghanistan) yang digunakan oleh lebih dari 80 persen penduduk negeri itu. Etnik Pasthun adalah etnik terbesar (sekitar 42 persen) dari jumlah penduduk yang tahun ini diperkirakan 38 juta jiwa; lalu disusul Tajik 27 persen, Hazara 9 persen, Uzbek 9 persen, Aimak 4 persen, Turkmen 3 persen, Baloch 2 persen, dan 4 persen kelompok etnis lainnya.
Selain itu, Pashtun yang mendirikan Afghanistan pada 1747 secara politis mendominasi Afghanistan. Oleh karena itu, mereka yakin memiliki hak untuk memerintah Afghanistan berdasarkan sejarah lebih dari 300 tahun lalu ketika dinasti Pashtun memerintah Afghanistan. Meskipun orang-orang Tajiks yang berbicara dalam bahasa Persia lebih urban dan terpelajar dibandingkan dengan Pashtun.
Sebagian besar orang Pashtun beranggapan bahwa tatanan politik "alami" di Afghanistan (Pashtun yang berkuasa) diubah secara radikal: pertama dengan invasi Soviet pada 1979 dan, kedua, oleh serangan Amerika pada 2001 yang dibantu Aliansi Utara Tajik yang sebagian besar menjadi penguasa de facto negara tersebut pada periode awal setelah invasi.
Penyebab langsung munculnya Taliban adalah reaksi terhadap ketakutan akan dominasi Tajik dan kekacauan serta anarki yang dihasilkan faksi Mujahidin yang saling bertarung untuk menguasai Afghanistan setelah penarikan Soviet. Taliban memberlakukan tingkat ketertiban dan memerintah sekitar tiga perempat Afghanistan dari 1996 hingga 2001 (Mohammed Ayoob, The Taliban and the Changing Nature of Pashtun Nationalism, 2019).
Meskipun, menurut antropolog Thomas Barfield, secara historis keragaman grup etnik tidak menjadi sumber instabilitas Afghanistan (Heather Selma Gregg: 2018). Akan tetapi, yang terjadi di lapangan akhir-akhir ini adalah kompetisi politik menjadi penyebab terjadinya destabilitas dan memberikan sumbangan persoalan yang dihadapi pemerintah sekarang ini.
Apalagi, Pemerintah Afghanistan tercatat sebagai salah satu pemerintah yang paling korup dan tidak efektif. Berdasarkan laporan Bank Dunia, Pemerintah Afghanistan menjadi salah satu pemerintah yang paling tidak mampu di dunia. Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction (SIGAR) mencatat bahwa pemerintah provinsi dan daerah juga lemah dan korup, dan bahwa pemerintahan lokal yang sebenarnya didominasi Taliban.
Laporan CIA, IMF, dan Bank Dunia menunjukkan bahwa ekonomi Afghanistan gagal memenuhi kebutuhan rakyat, lapangan kerja sangat sedikit, dan tingkat kemiskinan serius yang luar biasa. Satu-satunya ekspor utama Afghanistan adalah narkotika.
Pada saat yang sama, baik pelaporan SIGAR maupun Bank Dunia menunjukkan bahwa upaya AS dan internasional sejauh ini hanya memiliki dampak dunia nyata terbatas pada kemiskinan, lapangan kerja, dan elemen-elemen kunci lainnya dari stabilitas sipil (Anthony H Cordesman: 2019).
Tentu, pertanyaannya adalah bagaimana nasib usaha perdamaian yang sudah dirintis selama ini? Apakah usaha untuk membangun perdamaian itu akan runtuh sebelum rumah perdamaian benar-benar tegak? Hal sangat memprihatinkan diungkapkan dari hasil polling yang dilakukan The Asian Fundation belum lama ini. Menurut jajak pendapat itu, hawa pesimisme membungkus Afghanistan.
Sebanyak, 61 persen responden merasa pesimistis akan masa depan; 70 persen pesimistis akan kondisi keamanan; 30-40 persen pesimistis akan kondisi ekonomi, dan 30-34 persen pesimistis terhadap tata kelola pemerintahan. Jumlah rakyat yang merasa kurang aman akan keselamatan mereka pun meningkat 31 persen sejak 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar