Irak dan Lebanon kini berada dalam keadaan dilematis. Gelombang unjuk rasa terbesar dalam sejarah modern di dua negara Arab tersebut, saat ini sudah mencapai titik tidak hanya menuntut reformasi ekonomi dan mundurnya pemerintah yang berkuasa, tetapi perubahan sistem politik secara menyeluruh.
Hal itu mengungkap bahwa model demokrasi dengan sistem pembagian kekuasan berdasarkan latar belakang sektarian yang diterapkan di Irak dan Lebanon, telah gagal mengantarkan dua negara itu menjadi negara modern yang menciptakan keadilan, kemakmuran, keamanan, dan kemajuan.
Sebaliknya, sistem politik yang berlaku di dua negara Arab itu, hanya membawa kesengsaraan rakyat akibat gagalnya pembangunan ekonomi yang transparan dan berkeadilan. Pada akhirnya, rakyat menolak sistem politik tersebut dan menuntut segera dilakukan perombakan total.
Ekonomi Lebanon mendekati krisis dengan utang nasional mencapai 150 persen dari produk domestik bruto (PDB), dan cadangan devisa anjlok 30 persen yang kini hanya tersisa 10 miliar dollar AS. Hal ini membuat pemerintah Lebanon sangat sulit melansir proyek untuk menciptakan lapangan kerja.
Di Irak tak kalah parahnya. Menurut lembaga Transparency International, sejak ambruknya rezim Saddam Hussein tahun 2003, telah lenyap sebanyak 450 miliar dollar AS dari kas negara Irak. Situasi di Irak dan Lebanon itu diperburuk lagi dengan adanya intervensi dan pengaruh sangat kuat negara asing, seperti Iran, Arab Saudi, dan AS.
Inilah dilema paling akut bagi elite politik di Irak dan Lebanon yang selama ini menikmati hak istimewa kekuasaan. Di mata elite politik kedua negara itu, tuntutan rakyat terlalu besar sehingga membuat para elite kini panik dan bingung harus berbuat apa.
Inilah yang menyebabkan terjadinya tarik menarik sangat akut antara rakyat dan elite kekuasaan di Irak dan Lebanon saat ini. Pasalnya, kedua pihak itu ingin kepentingan mereka tetap terjaga dalam perubahan mendatang.
Akibat tarik menarik tersebut, membuat arah Irak dan Lebanon ke depan masih belum jelas. Di Irak baru muncul wacana perlunya dipertimbangkan mengubah sistem politik dari parlementer saat ini ke sistem presidensial dalam upaya memenuhi tuntutan rakyat.
Di Lebanon, juga baru mengemuka wacana segera dibentuk pemerintahan teknokrat tanpa melibatkan sama sekali politisi, agar bebas dari kepentingan partai-partai politik.
Seperti diketahui, sistem politik di Irak yang lahir pasca-ambruknya rezim Saddam Hussein, adalah bersandar pada model pembagian kekuasaan menurut mazhab agama (Syiah dan Sunni) dan etnis (Arab dan Kurdi).
Baca juga: NIIS dan Negara Gagal di Dunia Arab
Dalam pucuk kekuasaan di Irak yang terbagi antara presiden, perdana menteri dan ketua parlemen, atau trio puncak kekuasaan, kaum Syiah mendapat jatah jabatan perdana menteri, kaum Kurdi memperoleh jabatan presiden, dan kaum Sunni mendapat jabatan ketua parlemen.
Adapun di Lebanon, sistem politik pembagian kekuasaan berdasarkan sektarian telah berusia lebih dari 90 tahun, yakni persisnya sejak era konstitusi pertama tahun 1926-1927. Sistem sektarian itu kemudian diperkokoh oleh Piagam 1943 hasil rancangan kolonial Perancis, Undang-undang 1960, dan terakhir konstitusi Taif tahun 1989-1990.
Ada amandemen dalam sistem sektarian pada konstitusi Taif itu, yakni kaukus Muslim dan Kristen mendapat porsi sama di parlemen, kabinet, dan pejabat tinggi, yaitu 50-50 persen atau 64-64 dari 128 kursi parlemen. Beberapa wewenang presiden yang dijabat Kristen Maronit dilimpahkan ke perdana menteri yang dijabat Muslim Sunni.
Amandemen pada konstitusi Taif itu adalah hasil perang sipil 15 tahun (1975-1990) di Lebanon. Sebelumnya, porsi kaukus Kristen lebih besar dari kaukus Muslim, yakni 55 persen kaukus Kristen dan 45 persen kaukus Muslim.
Padahal selama ini model demokrasi di Irak dan Lebanon, cukup dibanggakan di dunia Arab, disaat negara-negara Arab lain menganut sistem diktator atau monarki mutlak. Bahkan sistem demokrasi di Irak baru berusia 16 tahun atau masih cukup muda, yakni sejak ambruknya rezim diktator Saddam Hussein.
Amerika Serikat yang melakukan invasi militer ke Irak tahun 2003 itu untuk menumbangkan rezim Saddam Hussein dan merancang penerapan model demokrasi seperti sekarang ini, saat itu sangat menginginkan semangat demokrasi di Irak segera menular ke negara-negara Arab lain. Tetapi realita berbicara lain, yakni model demokrasi di Irak ternyata gagal.
Irak dan juga Lebanon pun, segera menyusul memperpanjang daftar negara Arab gagal seperti negara Arab lain yang menerapkan sistem diktator dan terlebih dahulu digoncang aksi unjuk rasa rakyatnya, seperti Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Yaman, Sudan, dan Aljazair.
Karena itu, media massa Arab maupun internasional kini menyebut apa yang terjadi di Irak dan Lebanon saat ini, adalah musim semi Arab gelombang kedua.
Musim semi Arab gelombang pertama melawan rezim diktator militer melanda Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, dan Yaman pada tahun 2010-2011, kemudian berlanjut di Sudan dan Aljazair tahun 2019.
Meski sistem politik di Irak dan Lebanon saat ini berbeda dari Tunisia, Mesir, Suriah, Libya, Yaman, Sudan, dan Aljazair, namun secara substansi adalah sama saja.
Substansi permasalahan pada semua negara Arab tersebut, adalah dililit kultur diktator. Model demokrasi di Irak dan Lebanon, hanya melahirkan penguasa itu-itu saja atau "empat L", alias "lu lagi lu lagi", akibat sangat kuatnya kultur oligarki politik di lingkungan partai-partai politik di dua negara tersebut.
Kultur oligarki politik itu pada gilirannya melahirkan praktek KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) yang sangat akut, dan membuat proses regenerasi praktis tidak jalan di lingkungan partai-partai politik tersebut.
Maka, demokrasi di Irak dan Lebanon, substansinya adalah diktator juga. Itu yang membuat sistem negara bangsa (nation state) hasil adopsi dari era kolonial barat di Timur Tengah, menjadi tidak bermakna.
Jika di Eropa, sistem negara bangsa melahirkan kesetaraan warga negara dalam hak dan kewajiban di depan negara, di Timur Tengah justru menciptakan ketimpangan luar biasa dalam hak dan kewajiban, baik di sektor ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
Inilah yang memaksa generasi muda di Irak dan Lebanon melancarkan protes terhadap sistem politik di dua negara Arab itu. Para pengunjuk rasa yang turun ke jalan itu sebagian besar berusia antara 17 tahun dan 29 tahun.
Mereka adalah generasi milenial yang masih berusia sangat belia ketika rezim Saddam Hussein jatuh dan kini mereka hanya melihat kehidupan sangat sulit.
Di Lebanon, generasi milenial itu bahkan belum lahir atau masih masih sangat belia ketika tercapai kesepakatan Taif tahun 1989. Mereka sekarang hanya melihat situasi sangat terpuruk yang tidak mampu lagi mereka pikul.
Kompas, 8 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar