Ki Hadjar Dewantara Juga
Tulisan utama Kompas (Senin, 11 November 2019) itu menarik. Mengingatkan kita tentang lima tokoh pers abad ke-20 yang memberikan inspirasi kemerdekaan dan imaji keindonesiaan. Namun, rupanya ada tokoh yang terlewat, yakni Ki Hadjar Dewantara (1889-1959). Dia bukan hanya tokoh pendidikan, tetapi juga mengawali perjuangannya lewat media.
Ketika kuliah di STOVIA, kemudian mundur, Ki Hadjar bersama yang lain ikut mendirikan Boedi Oetomo (BO). Akan tetapi, bersama EEF Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, ia kemudian keluar dari BO.
Mereka bertiga mendirikan Indische Partij (Partai Hindia)—partai politik pertama di Indonesia—pada 19 September 1912 di Bandung. Hal yang sama dilakukan Abdul Muis dan Muhamad Sutan Zain yang keluar dari BO dan mendirikan Sarekat Islam.
Awal perjuangan politik Ki Hadjar dimulai dari bidang jurnalistik. Semula bekerja di harian Sedio Tomo di Yogyakarta, kemudian di harian Midden Java di Semarang, terakhir di harian De Express yang didirikan Douwes Dekker di Bandung.
Saat di De Express, Ki Hadjar juga anggota redaksi harian Kaum Muda, Utusan Belanda, dan Tjahaja Timur. Juga mengasuh majalah Het Tijdschrift di Bandung. Tjahaja Timur dan Het Tjdschrift ini ikut melincinkan berdirinya jalan Indische Partij; sebuah partai yang terang-terangan sebagai partai revolusioner nasionalis.
Salah satu buktinya, partai ini menolak pemerintah kolonial Belanda mengharuskan rakyat jajahan merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis dan diminta ikut membiayai. Partai mengeluarkan brosur yang ditulis Ki Hadjar. Isinya mengkritik keras rencana pemerintah kolonial. Inilah pertama kali dalam sejarah rakyat jajahan mengkritik Belanda.
Akibatnya, Ki Hadjar, Tjipto, dan Douwes Dekker diasingkan ke Belanda, peristiwa pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, orang Indonesia diasingkan ke Belanda karena perjuangan politiknya.
Ki Hadjar diasingkan selama enam tahun di Belanda. Begitu kembali ke Hindia Belanda, ia mengalihkan perjuangan politiknya lewat bidang pendidikan.
St Sularto
Kramat Jati, Jakarta Timur
SD Inpres, BPJS, dan Hadiah Nobel
Pasangan ekonom suami istri warga Amerika Serikat, Abhijit Banerjee dan Esther Duflo, dosen Massachusetts Institut of Technology (MIT), AS, menjadi pemenang Hadiah Nobel, di samping Prof Michael Kremer, dosen Harvard University, AS.
Duflo meneliti keberhasilan sekolah dasar yang dikenal sebagai SD Inpres, hasil instruksi Presiden Soeharto (1967-1998).
Kehadiran SD Inpres meningkatkan jumlah siswa sekolah dasar di Indonesia. Saat ini, banyak lulusan SD Inpres dari pelbagai pelosok Indonesia menjadi dosen, polisi, hakim, dan lain-lain, jauh dari kemiskinan.
Penelitian Duflo memang dikaitkan dengan upaya mengentaskan orang miskin di Indonesia. Hal kedua yang jadi pertimbangan panitia Nobel adalah Banerjee dan Duflo mengamati tingkat keberhasilan program BPJS Kesehatan di Indonesia, sejauh mana bisa menjangkau rakyat kecil.
Sepanjang saya tahu, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang melaksanakan asuransi kesehatan
untuk seluruh rakyat. India baru akan melaksanakan
BPJS Kesehatan mulai tahun 2019.
Selain SD Inpres, keberhasilan lain Orde Baru adalah puskesmas yang banyak ditiru negara lain. Jadi, SD Inpres dan puskesmas adalah inovasi bangsa Indonesia untuk mengentaskan orang miskin.
Sayang, belum ada warga negara Indonesia yang menjadi peraih Hadiah Nobel.
Suyadi Prawirosentono, Selakopi, Pasir Mulya, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar