Kebudayaan, khususnya seni, masih dianggap belum cukup penting bagi negeri ini. Ibarat bicara kecantikan, wacana kita masih pada upaya merias wajah agar terlihat beda. Masih ingin cantik berarti belum tampil cantik. Apalagi berdaya guna bagi dunia.
Kenyataannya memang kita punya sejumlah masalah. Kaitannya lebih pada persoalan internal daripada eksternal. Masalah-masalah tersebut dapat dikaji dalam 3 kelompok besar.
Politik seni
Masalah pertama adalah "politik" seni. Di ranah ini kebinnekaan masih menjadi persoalan utama. Banyak penduduk Indonesia yang belum paham, atau tidak ingin paham, atau sekadar untuk mengerti saja tentang kebinekaan, susah.
Kini banyak kejadian intoleransi, hilangnya nilai kearifan lokal dan sensitif terhadap diskusi tentang perbedaan. Produk budaya seni yang mendidik ke arah kedewasaan bernegara, berbinneka, masih jauh dari titik menyenangkan. Apalagi menjadi modal sebagai negara besar.
Di ranah ini pula "cetak biru" atau visi kebudayaan Indonesia di masa depan belum disepakati. Kebudayaan masih dibiarkan jalan sendiri. Seniman bekerja sendiri, tanpa haluan. Jangankan itu, hasil kerja pemerintah berupa produk UU Pemajuan Kebudayaan belum sampai pada titik hilir di seluruh Nusantara. Perlu strategi dan kecepatan dalam sosialisasi. Berikut perlu juknis agar semua paham dalam mengentaskan berbagai kekurangan dan "kemiskinan" dalam bidang kebudayaan.
Kebudayaan masih dibiarkan jalan sendiri. Seniman bekerja sendiri, tanpa haluan. Jangankan itu, hasil kerja pemerintah berupa produk UU Pemajuan Kebudayaan belum sampai pada titik hilir di seluruh Nusantara.
Jika dirasa penting, maka kebudayaan harus dianggap sebagai panglima dan poros keindonesiaan. Untuk mencapai ini harus ada upaya nasionalisasi hingga internasionalisasi kebudayaan. Buat sistem kerjasama antar lembaga/kementerian, misalnya melalui kedutaan besar dan pendirian pusat-pusat studi budaya Indonesia di luar negeri, hingga antar-negara/lembaga terkemuka dunia. Sehingga persoalan gempuran budaya asing, misalnya, dapat dinetralisasi tanpa merusak budaya lokal. Bahkan budaya Indonesia akan mampu menjadi penopang budaya dunia.
Seni sebagai media
Jika Kemendikbud punya target untuk melakukan pembentukan karakter bangsa, tidak mungkin meninggalkan seni dan senimannya. Seni sebagai media pembentukan karakter menjadi keniscayaan. Melalui kurikulum pendidikan formal serta terobosan pendidikan nonformal yang cerdas, seni akan memberikan sumbangan berarti di banyak hal. Nilai kebangsaan dan kebanggaan, dan citra bangsa bisa ditingkatkan, serta SDM yang berkualitas tidak lari ke luar negeri.
Sayangnya, perguruan tinggi seni tidak lebih dari hitungan jari. Sekolah menengah seni jauh lebih sedikit lagi. Pelajaran seni dikalahkan secara telak. Padahal masa belia harus diisi dengan budaya seni sebagai pondasi karakter berbangsa dan bertanah air. Ki Hadjar Dewantara memberi contoh lewat Taman Siswa. Hasilnya adalah pemimpin yang taat pada agama dan masyarakat, jujur, bermartabat, nasionalis, dan berjiwa seni.
Belum lagi Indonesia sering mengalami persoalan, mulai dari persoalan agama, politik, sosial, alam, dalam skala lokal hingga internasional. Karena itu seni diharapkan berdaya setiap saat. Dalam konteks ini pemerintah belum mampu memanfaatkan seni sebagai media peredam persoalan maupun sebagai input kebangsaan. Untuk itu perlu disiapkan tim penanggulangan konflik maupun korban bencana, radikalisasi, melalui budaya-seni.
Jika Kemendikbud punya target untuk melakukan pembentukan karakter bangsa, tidak mungkin meninggalkan seni dan senimannya. Seni sebagai media pembentukan karakter menjadi keniscayaan.
Pada titik lain, perlu mengeksistensikan Indonesia dalam kancah internasional. Kesenian Indonesia nyaris tidak banyak dikenal, baik dalam ranah seni rupa maupun pertunjukan. Ribuan seniman di Indonesia belum dimaksimalkan oleh pemerintah. Perbandingan mereka yang eksis secara internasional sangat kurang. Dalam hitungan pasar seni internasional, hanya puluhan seniman yang dikenal.
Pergelaran budaya Indonesia di luar negeri terhitung masih minim dibanding dengan jenis kesenian itu sendiri. Galeri nasional kita kalah jauh dengan Singapura dari segi pengunjung. Museum Nasional Indonesia tak banyak melakukan kontestasi internasional. Apalagi keberadaan museum lokal.
Karena itu pemerintah perlu memiliki cara untuk membumikan budaya-seni lokal ke ranah internasional. Buku-buku, pameran dan pertunjukan seni, film, atau platform seni perlu segera dilaikkan secara masif. Tentu dengan selera estetika, standar, dan rasa internasional.
Seni sebagai aset
Jika kita percaya bahwa Indonesia memiliki banyak produk budaya seni, maka pemerintah tidak boleh hanya bekerja secara linier. Perlu mengidentifikasi semua masalah, lalu lakukan kerja simultan untuk meraih banyak tujuan. Pertama adalah pemenuhan SDM pengelola budaya. Selama ini pengelola budaya tidak sebanding dengan kekayaan budaya-seni dan seniman. Perguruan dan lembaga pendidikan pengelola seni sangat kurang.
Buku-buku, pameran dan pertunjukan seni, film, atau platform seni perlu segera dilaikkan secara masif. Tentu dengan selera estetika, standar, dan rasa internasional.
Sumber daya seni kita juga masih bergerak sendiri-sendiri. Para maestro, empu, atau ahli seni bergerak perlahan dengan berbagai keterbatasan, nyaris tanpa teman dalam menggelar seni dan pewarisan keahlian. Pemerintah perlu membiayai gelarnya para maestro. Biarkan mereka menginspirasi, tanpa direcoki dana dan birokrasi.
Pemberdayaan infrastruktur seni di seluruh Indonesia juga perlu dilakukan. Gelaran penting dalam misi pembentukan karakter berbinneka perlu dilakukan di setiap provinsi. Saling silang dan tukar menukar produk budaya. Sejumlah 400an museum di Indonesia secara kreatif perlu berkolaborasi dengan para budayawan-seni.
Galeri seni di setiap provinsi dapat dibentuk dengan sistem link&match antar lembaga non-seni. Perangkat promosi dan pemasaran budaya seperti media massa (sosial maupun konvensional) dicukupi. Dengan begini, devisa di bidang budaya-seni pun dapat didatangkan.
Komite warisan budaya
Tidak lupa perlu dibentuk badan/komite warisan budaya untuk menggulirkan orkestrasi budaya Indonesia. Komite yang mampu bekerja antar-kementerian. Kita punya jutaan aset seni yang penting bagi masyarakat dunia. Kemenlu memiliki koleksi lukisan yang disimpan di seluruh kedutaan. Istana presiden punya 16.000 item koleksi seni. Kemendikbud pun punya jutaan benda budaya. Sayang bila dibiarkan tanpa konektivitas.
Kita hanya pandai mengonsumsi, tetapi tidak cukup kreatif, bahkan tidak mampu melindungi. Dalam beberapa kasus, justru pegiat budaya asing lebih pandai memanfatkan aset kita. Sejumlah kurator negara lain malah mampu menyajikan koleksi negeri kita. Citra negara kita kalah dengan mereka.
Akhirnya diperlukan kurasi, penyatukan visi, agar kita mampu merasakan keindahan serta membentuk karakter bangsa. Yang diperlukan bukan lagi mengontrol sumber daya, namun membangun ekosistem besar yang memungkinkan pelaku seni bergerak. Nusantara yang luas ini perlu sentuhan revolusi 4.0 secara sistematis.
Perlunya memanfaatkan media populer sebagai sarana pemberdayaan budaya sebagai bagian dari kreativitas. Anak muda seluruh Indonesia perlu segera mengenal kekuatan budaya sehingga mereka tahu benar bahwa kita kaya raya.
Anak muda seluruh Indonesia perlu segera mengenal kekuatan budaya sehingga mereka tahu benar bahwa kita kaya raya.
Berita dan info tentang radikalisasi jauh lebih masif, daripada info seni dan kearifan lokal kita. Pemerintah nyaris lumpuh pula dalam memberi keyakinan pada anak-anak muda bahwa seni kita lebih menarik daripada milik negara lain. Untuk itulah Mendikbud perlu menjadi pemimpin orkestrasi budaya Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar