Heboh dan penolakan terhadap terbitnya PP (Peraturan Pemerintah) No 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) yang menggantikan PP 82/2012 diwarnai kekhawatiran akan berkurang atau hilangnya kedaulatan data. Muncul pendapat, PP 71/2019 merupakan penyangkalan terhadap kredibilitas Presiden Joko Widodo soal menjaga kedaulatan data nasional yang diucapkan pada pidato tanggal 16 Agustus dan 14 Oktober 2019.
Penolakan muncul dari berbagai asosiasi, antara lain dari Idpro (Indonesia Data Center Provider Organization), Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJJI), dan Masyarakat Telematika (Mastel). Mereka memperkirakan sekitar 90 persen data yang disimpan di Indonesia berpotensi dipindahkan ke luar negeri.
PP tadi dianggap bertolak belakang dengan komitmen Kepala Negara, karena lewat PP 71/2019, pemerintah justru mengizinkan penempatan pusat data di luar negeri. Bahkan, anggota DPR Sukamta khawatir Presiden Jokowi tidak mengetahui isi aturan yang ditandatanganinya itu.
Pasal 21 ayat 1 PP yang diprotes masyarakat itu memang menyebutkan, "Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia". Hanya data dengan klasifikasi tertentu yang wajib disimpan di dalam negeri yang bakal diatur dalam peraturan menteri.
Kata Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi, Presiden mungkin saja tahu isi PP PSTE tetapi ia menuduh para pembantu Presiden-lah yang berusaha menjerumuskan Presiden. "Penjelasan isi PP mungkin bisa belok," katanya, yang juga menduga penyusun PP mendapat titipan bahkan tekanan dari pihak asing (CNN-8/11/2019).
Sejatinya PP 71/2019 diterbitkan karena PP 82 tahun 2012 tidak punya gigi dalam pengawasan terhadap konten-konten pornografi dan konten negatif lain di dunia maya. Kominfo selama ini hanya bisa meminta PSTE menghapus konten-konten tadi.
Wajib daftar
Saat PP 71 berlaku pada Oktober 2021, PSTE tempat konten-konten tadi berada bakal terkena denda. "Antara Rp 100 juta sampai Rp 500 juta untuk setiap konten negatif yang beredar," ujar Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika (Dirjen Aptika) Semuel Abrijani Pangerapan seperti dikutip media.
Ancaman denda akan memaksa penyedia layanan seperti Facebook, Instagram, WhatsApp dan Twitter aktif mengontrol konten yang beredar di jejaring mereka, tidak bisa lagi menunggu permintaan pemerintah untuk memblokir.
Ada 29 pasal, mulai dari pasal 4 sampai pasal 98 di PP 71/2019 yang jika dilanggar ada ancaman sanksi administratif seperti diatur dalam pasal 100. Sanksi administratif itu mulai dari teguran tertulis, denda, penghentian layanan (blokir) sementara, pemutusan akses, dan paling berat dikeluarkan dari daftar, yang akan diatur oleh Peraturan Menteri (PM).
PP lama mengatur, PSE (penyelenggara sistem elektronik) untuk pelayanan publik wajib melakukan pendaftaran, sedangkan untuk nonpublik tidak menjadi keharusan untuk mendaftar. Masuk dalam PSE pelayanan publik adalah lembaga negara, BUMN, BUMD, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang, atau badan hukum lain yang menyelenggarakan layanan publik dalam rangka misi negara.
Baca juga: Siapa Diuntungkan Validasi IMEI?
Mereka ini PSE yang memiliki portal, situs, aplikasi online lewat internet untuk pembayaran atau perdagangan jasa, sistem elektronik yang digunakan untuk memproses informasi elektronik yang menggunakan dana. Juga yang berkait dengan data pelanggan dalam transaksi keuangan dan perdagangan, pengiriman materi digital berbayar lewat jaringan data dengan cara unduh lewat portal, situs, email, atau aplikasi lain.
Aturan ini masih bolong karena PSE yang berbasis di luar negeri tetapi memberi pelayanan dan target pelanggan di Indonesia mengklaim bukan masuk kriteria sebagai PSE untuk pelayanan publik. Misalnya Instagram, Facebook, Google dan WhatsApp, yang hingga kini merasa tidak perlu mendaftarkan diri.
Yang mereka lakukan hanyalah melaksanakan konsep mirroringdengan database ada di luar wilayah RI atau sebaliknya. Malah ada yang hanya berupa data center atau pusat pemulihan bencana yang tidak sesuai fungsinya karena tetap berada di luar wilayah Indonesia.
Sekarang, dengan PP 71/2019 meski mengklaim bukan pemberi pelayanan publik, para perusahaan OTT (over the top) itu wajib mendaftar, dengan berbagai kewajiban yang harus dipenuhi. Negara pun memiliki jangkauan dalam penerapan kedaulatan terhadap data, walau pusat data mereka tidak berada dalam wilayah RI.
Penegakan hukum
PSE lingkup privat kini diatur dan diawasi kementerian, yaitu yang memiliki portal, situs, aplikasi daring lewat internet di wilayah Indonesia yang digunakan untuk berbagai keperluan bisnis. Misalnya PSE yang menyediakan, mengelola, mengoperasikan perdagangan barang atau juga jasa, transaksi keuangan; pengiriman materi atau muatan digital berbayar lewat portal atau situs, surel atau aplikasi lain ke perangkat pengguna.
Juga, PSE yang mengoperasikan layanan komunikasi seperti SMS, panggilan suara atau video, surel, percakapan dalam platform digital, jejaring, dan medsos. Mesin pencari juga masuk, selain penyedia informasi elekronik berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, dan permainan atau kombinasi, juga pemrosesan data pribadi untuk kegiatan operasional melayani masyarakat dalam kaitan transaksi elektronik.
Mengutip PP 71/2019, Semuel Pangerapan mengatakan, secara tegas diatur kewajiban pengelolaan, pemrosesan, dan penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik, khususnya PSE lingkup publik di dalam negeri dengan pengecualian terbatas. PSE lingkup privat bebas melakukan kegiatannya dengan kewajiban memastikan efektivitas pengawasan dari lembaga pemerintah dan pemberian akses dalam rangka penegakan hukum, dan mengedepankan perlindungan data.
"PSE lingkup privat harus mengedepankan penyimpanan data onshore untuk perlindungan dan kedaulatan negara atas data," ujarnya.
PP 71/2019 sudah mulai berlaku pada 10 Oktober 2019 dengan masa transisi setahun bagi semua PSE untuk memenuhi kewajiban mendaftar. Khusus PP Lingkup Privat diberi waktu dua tahun untuk menempatkan sistem elektronik dan data elektroniknya di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar