Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 26 November 2019

TAJUK RENCANA: Dengarkan Suara Rakyat (Kompas)


AP PHOTO/NG HAN GUAN

Warga mengantre untuk memberikan suara di luar tempat pemungutan suara di Hong Kong, Minggu (24/11/2019). Antrean panjang terbentuk di luar tempat pemungutan suara Hong Kong, Minggu, dalam pemilihan yang telah menjadi barometer dukungan publik untuk unjuk rasa anti-pemerintah.

Dalam pemilihan anggota dewan distrik pada hari Minggu lalu itu, para kandidat prodemokrasi meraup hampir 90 persen dari 452 kursi yang diperebutkan. Pemilihan anggota distrik ini juga mencatat rekor. Ada 71 persen warga memberikan suara dari 4,13 juta pemilih yang terdaftar.

Pemilihan anggota distrik tak bisa mengubah pemerintahan Hong Kong. Mereka yang terpilih hanya bertugas mengurus masalah sehari-hari di distrik, antara lain problem rute bus dan penambahan taman.

Meski demikian, pemilihan anggota dewan distrik kali ini dinilai memberi pesan simbolis kepada Pemerintah Hong Kong dan China. Hasil pemilu yang memenangkan kelompok prodemokrasi menunjukkan masyarakat mengapresiasi gerakan yang memotori demonstrasi. Hal tersebut dianggap telah mematahkan pandangan yang diusung Beijing bahwa di tengah masyarakat terdapat mayoritas diam (silent majority) yang menolak demonstrasi.

Hasil pemilu yang menguntungkan para kandidat prodemokrasi besar kemungkinan menjadi amunisi baru, sumber energi anyar, bagi gerakan demonstrasi yang sudah berlangsung selama lebih dari lima bulan. Maka, krisis di Hong Kong tak akan berakhir dalam waktu dekat, kecuali pemerintah mengajukan solusi politik yang dapat diterima pengunjuk rasa.

RUU Ekstradisi telah dibatalkan pemerintah, tetapi demonstrasi terus berlangsung dan diwarnai kekerasan.

Diawali sebagai demonstrasi untuk menolak rancangan undang-undang ekstradisi, gerakan prodemokrasi di Hong Kong berkembang dan beralih menjadi simbol "perlawanan" terhadap Beijing. Dari semula menuntut pembatalan RUU Ekstradisi, gerakan tersebut kini menyuarakan kebebasan dan penerapan demokrasi lebih luas di Hong Kong. Pengunjuk rasa juga mendesak digelar penyelidikan atas kekerasan oleh polisi. RUU Ekstradisi telah dibatalkan pemerintah, tetapi demonstrasi terus berlangsung dan diwarnai kekerasan.

China menuding ada kekuatan asing yang mengompori gerakan prodemokrasi di Hong Kong. Pandangan ini diperkuat setelah Kongres Amerika Serikat meloloskan undang-undang yang memungkinkan Washington meninjau status khusus Hong Kong dalam bidang ekonomi jika Beijing dinilai melanggar batas kebebasan di wilayah itu.

Produk legislasi Kongres AS itu rasanya tak akan memengaruhi sikap Beijing terhadap gerakan prodemokrasi. Sebaliknya, hasil pemilihan anggota dewan distrik rasanya perlu menjadi perhatian utama pemerintah pusat China bersama otoritas Hong Kong. Hasil tersebut menunjukkan, mayoritas warga menilai sikap pemerintah selama ini tidak pas. Beijing dan otoritas Hong Kong pun perlu mencemati dengan lebih baik lagi aspirasi rakyat di wilayah tersebut.

Kompas, 26 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger