Kasus Sofyan adalah kasus besar dengan melibatkan sejumlah orang besar. Jaksa penuntut umum menuntut Sofyan dengan tuntutan lima tahun penjara. Namun, majelis hakim yang diketuai Hariono dalam sidang pada Senin, 4 November 2019, membebaskannya. Majelis hakim berpendapat, Sofyan tidak terbukti membantu terjadinya kejahatan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Majelis hakim membacakan putusan terhadap bekas Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir, terdakwa dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta, Senin (4/11/2019). Majelis hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap Sofyan Basir karena tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Majelis hakim berpendapat terdakwa tidak terbukti memberikan bantuan suap dari pengusaha Johanes Budistrisno Kotjo kepada mantan anggota DPR Eni Maulani Saragih untuk mempercepat proyek PLTU Riau-1.

Sah saja bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan upaya hukum, termasuk kasasi, seperti dikatakan Ketua KPK Agus Rahardjo. Vonis bebas untuk terdakwa korupsi bukan pertama kali. Sebelumnya, ada kasus mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad yang divonis bebas oleh Pengadilan Korupsi Bandung dan mantan Bupati Rokan Hulu Suparman yang divonis bebas oleh Pengadilan Korupsi Pekanbaru. Putusan keduanya dibatalkan Mahkamah Agung (MA) dan memutuskan keduanya bersalah.

Ada juga kasus mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung yang divonis bersalah di pengadilan pertama, tetapi dilepaskan oleh MA. KPK haruslah melakukan eksaminasi internal.

Vonis hakim harus dihormati. Kita berasumsi kekuasaan kehakiman adalah merdeka. Kekuasaan kehakiman terbebas dari pelbagai pengaruh apa pun. Berangkat dari asumsi itu, pertimbangan hakim harus dilawan dengan pembuktian yang meyakinkan oleh KPK. Kasasi merupakan langkah legal untuk semakin menguji putusan hakim pada peradilan pertama.

Kekuasaan kehakiman adalah bagian dari kekuasaan yudikatif. KPK dikonstruksikan sebagai bagian dari eksekutif. Haruslah dipahami ada gejala semangat pemberantasan korupsi kian redup. Upaya elite politik untuk mengendalikan pemberantasan korupsi kentara dengan revisi Undang-Undang (UU) KPK yang salah satunya dengan menghadirkan Dewan Pengawas. Perlawanan KPK dan kelompok masyarakat sipil, yang menentang revisi UU KPK, diabaikan. Kelompok antikorupsi harus mengakui kalah dalam perjuangan memberantas korupsi. Kewibawaan KPK memudar karena problem internal dan eksternal kelembagaan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Bekas Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir, terdakwa dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 meninggalkan ruang sidang setelah mengikuti sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta, Senin (4/11/2019). Majelis hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap Sofyan Basir karena tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Majelis hakim berpendapat terdakwa tidak terbukti memberikan bantuan suap dari pengusaha Johanes Budistrisno Kotjo kepada mantan anggota DPR Eni Maulani Saragih untuk mempercepat proyek PLTU Riau-1.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan dukungan mayoritas di DPR mengegolkan revisi UU KPK. Dengan UU KPK yang baru dengan kepemimpinan KPK yang baru per 20 Desember 2019, Dewan Pengawas akan menjadi penguasa baru di KPK. Semua langkah hukum yang akan diambil KPK, seperti menyadap, menyita, dan menggeledah, harus mendapat izin dari Dewan Pengawas. Untuk pertama kali, Dewan Pengawas dipilih langsung oleh Presiden Jokowi.