Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 18 November 2019

TAJUK RENCANA: Sanksi Tambahan supaya Jera (Kompas)


KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Tumpukaan uang tunai hasil eksekusi barang bukti atas perkara tindak pidana korupsi dengan terpidana Kokos Jiang alias Kokos Leo Lim yang merugikan keuangan negara dalam hal ini PT PLN Batubara sebesar Rp 477.359.539.000 saat konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (15/11/2019). Kokos Jiang yang sempat divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Jakarta kemudian harus menjalani pidana 4 tahun penjara setelah jaksa mengajukan kasasi. Uang pengganti sebesar Rp 477 miliar itu merupakan pidana tambahan yang mesti dibayar Kokos berdasarkan putusan Mahkamah Agung.

Kejaksaan Agung melaporkan pembayaran uang pengganti itu kepada masyarakat, juga menunjukkan bukti uang tunai, Rp 100 miliar, dalam jumpa pers yang dipimpin Jaksa Agung ST Burhanuddin di Jakarta, Jumat (15/11/2019). Seluruh uang itu sudah diserahkan ke kas negara (Kompas, 16/11/2019).

Keberhasilan mengeksekusi uang pengganti dalam perkara korupsi, yang diputuskan pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap, apalagi dalam jumlah yang besar, pasti menarik perhatian publik. Selama ini tidak mudah untuk menarik dana itu dari pelaku korupsi. Di sisi lain, sebagian warga menginginkan pelaku korupsi dimiskinkan, termasuk dengan menyita seluruh hartanya atau membayar kerugian negara lewat uang pengganti yang diputuskan pengadilan.

Uang pengganti merupakan pidana tambahan, seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Khusus untuk kasus korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencantumkan, pidana tambahan bagi pelaku korupsi tak hanya membayar uang pengganti. Pengadilan bisa juga memutuskan pidana tambahan berupa perampasan kekayaan milik pelaku, penutupan sebagian atau seluruh perusahaan terkait pelaku paling lama satu tahun, atau pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu atau keuntungan tertentu yang diterima pelaku dari pemerintah.

Jika tak mampu, harta terpidana bisa disita dan dilelang oleh negara.

Dalam praktiknya, pengadilan tindak pidana korupsi, hingga Mahkamah Agung (MA), beberapa kali menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik terpidana korupsi. Terpidana harus membayar uang pengganti pula. Jika tak mampu, harta terpidana bisa disita dan dilelang oleh negara.

Kalau tak memiliki harta untuk membayar uang pengganti, terpidana korupsi bisa diberi tambahan pidana penjara, yang lamanya tak melebihi ancaman dari pidana pokoknya. Beberapa terpidana lebih memilih menjalani tambahan hukuman penjara ini. Padahal, hukuman tambahan itu dimaksudkan untuk menjerakan terpidana atau orang lain yang mungkin akan melakukan kejahatan serupa.

Hingga Juni 2019, total uang pengganti yang bisa dieksekusi Kejaksaan Agung tak lebih dari Rp 82,34 miliar, lebih tinggi dibandingkan tahun 2018 sebesar Rp 56,35 miliar. Uang hasil korupsi yang bisa dikembalikan ke negara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara tahun 2014-2017, berkisar Rp 112,7 miliar-Rp 497,6 miliar per tahun.

Keberhasilan Kejaksaan Agung mengeksekusi uang peng- ganti dalam jumlah besar, Rp 477,359 miliar, pantas diapresiasi. Kini bagaimana mendorong kejaksaan, KPK, dan penegak hukum lainnya lebih konsisten bisa mengembalikan kerugian negara, seperti dengan "memaksa" terpidana korupsi membayar uang pengganti. Jika tak mau membayar, telusuri harta mereka, sita, dan lelang bagi negara. Jadikan pelaku korupsi susah di negeri ini, sebab mereka akan jadi melarat.

Kompas, 18 November 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger