Berita itu adalah reportase dari seminar "Teknologi untuk Pendidikan: Menjangkau Anak di Luar Sekolah, Meningkatkan Minat Belajar Bersama" di Jakarta, Sabtu lalu. Digitalisasi pendidikan dalam fase transisi. Pada sisi lain, pembelajaran seyogianya tidak berlangsung lama karena berbagai lembaga pendidikan, dari tingkat dasar, menengah, dan tinggi, di banyak negara giat memacu sistem pendidikan modern ini.
Dalam seminar itu, Ahli Utama Pengembang Teknologi Pembelajaran Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Purwanto Sujiatmojo menyampaikan, pemanfaatan teknologi digital dalam proses belajar di sekolah belum menyentuh hal substantif.
Mayoritas guru kini memiliki laptop dan telepon pintar. Namun, saat ditanya apakah mereka memakai untuk proses belajar, umumnya menjawab belum. Purwanto menuturkan, negara dan masyarakat memiliki pekerjaan besar mempelajari cara memakai teknologi bagi pendidikan yang mengembangkan nalar, kreativitas, dan kolaborasi, serta tidak hanya memindahkan teks dari buku ke internet.
Jika kita boleh mengurai satu per satu persoalan pendidikan digital, memang ada beberapa tingkatan dan proses di sana. Pertama, menyediakan materi pengajaran di internet yang bisa diakses siswa, tidak saja di sekolah bersangkutan, tetapi juga oleh siswa di tempat lain dalam konteks pendidikan jarak jauh. Ditopang tersedianya infrastruktur TIK (teknologi informasi komunikasi) memadai, seperti diwujudkan melalui program Palapa Ring yang memberikan akses internet cepat (4G) bagi penduduk Indonesia di bagian barat, tengah, dan timur, maka inklusi pendidikan bisa diwujudkan.
Mari kita bahas pendidikan digital ini agar kita tidak saja ketinggalan, tetapi bisa memanfaatkan untuk berdaya saing.
Tentu belum selesai di situ urusannya. Calon siswa di lokasi jauh dan terpencil harus memiliki laptop atau gawai untuk mengakses materi ajar itu. Ada tantangan tersendiri dalam penyediaan itu.
Dari situ kita bisa berangkat ke metode pengajaran lain yang diharapkan memacu kreativitas dan kolaborasi, seperti dengan menata satu sistem pembelajaran kolaboratif. Ruang kelas tak ditata secara konvensional dengan murid duduk berbaris rapi menghadap ke depan, ke arah guru. Kini murid dibagi-bagi dalam beberapa kelompok untuk membahas satu masalah tertentu yang difasilitasi oleh guru. Di sini siswa belajar memecahkan masalah bersama, dalam semangat kerja tim. Dari cara ini diharapkan tumbuh jiwa adaptif, toleran, berorientasi pada problem-solving, dan bertumbuhnya jiwa kreatif-inovatif.
Di Finlandia, perhatian pertama-tama diarahkan pada guru. Mereka harus diberi literasi mengenai pendidikan digital sehingga mendapat pemahaman dan pencerahan mengenai daya ampuh yang dimiliki gawai dan laptop dalam proses pembelajaran. Jika pencerahan semacam itu ada, mereka tidak akan melarang siswa atau mahasiswa memakai gawai di kelas, tetapi justru mendorong menggunakannya untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam mengerjakan tugas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar