Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 18 Desember 2019

EPILOG: Cintalah yang Membuat Diri Bertahan (PUTU FAJAR ARCANA)


SUPRIYANTO

Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas.

"Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan

karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan

baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana

sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja"

Puisi tadi adalah penggalan bait pertama dari sajak berjudul "Melodia" yang ditulis Umbu Landu Paranggi, berkisar 1962-1967, di Yogyakarta. Konon, kumpulan puisi pertama Umbu berjudul Melodia itu urung diterbitkan karena alasan yang sangat pribadi.

Puisi ini menjadi penting sebagai alasan pertama-tama yang membuat Umbu, dan kemudian banyak penyair, menggeluti puisi. Pada puisi lain Umbu mempertanyakan diri sendiri:

"//Sajak bilang apa saja pada aku/jadi buang diri kau/alhamdulilah begitu rupa kau/jadi pengembara…//" (Upacara XXXIII).

Jadi, sesungguhnya apa yang dijanjikan puisi? Sudah pasti secara teoretik Umbu tak pernah memberi jawaban berupa narasi panjang yang menjadi alasan mengapa ia begitu "mengabdi" kepada puisi.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Umbu Landung Paranggi, 2016.

Sejak berangkat dari tanah Sumba selepas sekolah pertama dan diantar puluhan penduduk Desa Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur, dengan berkuda, Umbu menyerahkan dirinya justru kepada puisi.

Di tengah-tengah belajar dalam kelas di SMA Bopkri Yogyakarta, Umbu menulis puisi-puisi yang membuatnya dihukum. "Tetapi, Ibu Lasiyah Sutanto bilang, 'nanti kita kritik puisi Umbu setelah dimuat di koran'," kata Umbu selalu mengenang masa-masa pertengahan tahun 1950-an di Yogyakarta.

Lasiyah Sutanto tak lain adalah guru bahasa Inggris  yang kemudian menjadi Menteri Peranan Wanita pertama dalam pemerintahan Presiden Soeharto. Perempuan inilah, kata Umbu, yang membuat semangatnya bergelora-gelora untuk terjun bebas ke dunia kepenyairan.

Umbu menjawab pertanyaan eksistensial, seperti apa yang dijanjikan puisi kepadamu, dengan laku bohemian, pengabdian yang "membabi-buta" kepada kesenian.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Arsitek Yori Antar (kanan) dan sastrawan Umbu Landu Paranggi yang diwakili putranya, Umbu Wulang (kedua dari kanan), menerima penghargaan Akademi Jakarta 2019 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (16/12/2019). Penghargaan disampaikan Ketua Akademi Jakarta Taufik Abdullah (tengah).

Ia benar-benar menjadi pengembara, meninggalkan kemelekatannya pada popularitas. Ketika namanya benar-benar dipuja oleh para muridnya, seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, dan Yudistira Adinugraha, Umbu justru menghilang.

Bahkan, ketika berbagai penghargaan kemudian mengganjarnya, Umbu tak sekali pun datang. Pada Senin (16/12/2019), ia diberi penghargaan bergengsi oleh Akademi Jakarta, ia mengutus putranya, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi.

Begitu pun ketika bulan Oktober 2019, ia menerima penghargaan serupa dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Umbu juga tetap memilih tidak pergi dari Bali. Jarang pula ada yang tahu di mana Umbu menetap sampai kini.

Ketika menyaksikan banyak anak muda berdatangan dari pelosok Indonesia untuk "sekadar" lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya (DKKT), 11-12 Desember 2019, pertanyaan serupa berseliweran di kepala saya.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya membangun instalasi puisi untuk menyambut puluhan peserta dari seluruh Indonesia. Para peserta berlomba dari 11-12 Desember 2019 untuk memperebutkan hadiah total puluhan juta rupiah.

Bagaimana mungkin anak-anak muda usia, seperti Akhmad Benyamin, Nurmutiara Lintang Sari, dan Edeng Syamsul Ma'arif, memenuhi panggilan puisi.

Nurmutiara datang dari Sidoarjo (Jawa Timur) dan Edeng dari Cirebon (Jawa Barat). Sementara Akhmad, yang kemudian menjadi juara I dalam lomba itu, datang khusus dari Pontianak, Kalimantan Barat, untuk menjadi salah satu peserta lomba baca puisi antarmaster dari 45 orang peserta lainnya.

"Ingin menjajal batas diri aja sih," kata Akhmad Benyamin.‎

Ia harus membiayai seluruh keberangkatannya ke Tasikmalaya dari Pontianak dan menyiapkan sejumlah uang saku untuk hidup selama di kota itu. Kalaupun ia tidak menjadi juara, ia akan tetap merasa bangga karena telah menunjukkan kecintaannya kepada puisi di hadapan maestro baca puisi seperti Jose Rizal Manua.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Aktor Jose Rizal Manua di antara instalasi puisi dengan wajah penyair Dorothea Rosa Herliany di halaman gedung Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (11/12/2019).

Publik sastra pasti paham benar siapa Jose Rizal Manua. Dialah yang menjadi raja baca puisi pada era tahun 1970-1980-an. Hampir di seluruh peristiwa besar lomba baca puisi di Tanah Air, Jose menjadi yang terbaik.

"Saya selalu jadi juara satu dari sekitar 1.500 peserta," kata aktor yang memiliki kios buku bekas di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta ini.

"Apa yang puisi janjikan kepada Anda?"

"Mungkin sedikit kebanggaan," kata Jose.

"Bangga bagaimana yang dimaksud?"

"Bangga diberi kesempatan menjadi manusia yang makin matang."

"Jadi puisi memberi kematangan kemanusiaan?"

"Tidak spesifik seperti itu, karena bercampur dengan kenikmatan."

"Maksudnya, Anda merasa nikmat?"

"Ya, puisi seperti hirupan pertama dari secangkir kopi."

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Jose Rizal Manua, pemain teater dan pendiri Teater Tanah Air, berpose di depan toko bukunya di kompleks di Taman Ismail Marzuki, Kamis (9/9/2015).

Barangkali kenikmatan itu pulalah yang direguk puluhan anak muda yang harus tidur dalam tenda di halaman samping gedung DKKT. Mereka yang tidak memiliki cukup uang untuk menyewa hotel, kata Ketua DKKT Bode Riswandi, ditampung di tenda denganvelbed bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Bukankah penggunaan tenda dari BNPB menjadi satire yang menyengat hati? Puisi yang dimuliakan sejak zaman kitab suci ditulis para nabi, harus memasuki tenda darurat kebencanaan.

Apakah kita sedang menghadapi saat-saat darurat puisi nasional? Bode seolah menjawabnya lewat puisi "Buat Anna Politkovkaya", yang menjadi salah satu puisi favorit para peserta.

//…Aku bernyanyi untukmu, Anna/Ketika jari/lentikmu berdarah mencium aroma bangsa/Yang punah. Di jalan-jalan, di tenda-tenda/Salju turun lebih kerap dari hari sebelumnya/Tapi nama-nama yang terkuras air matanya/Lebih kerap dari sekadar salju itu, Anna…//.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Puluhan peserta Lomba Baca Puisi Antarmaster, 11-12 Desember 2019, di Tasikmalaya menginap di tenda darurat di sebelah gedung Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.

Walau puisi ini ditujukan sebagai rasa empati kepada bangsa Chechnya yang kehilangan lebih dari 50.000 warganya akibat perang dengan Rusia, tetapi perlombaan di Tasikmalaya telah mempersatukan para "kompetitor". Mereka hidup bersama di satu tenda, tetapi menyalakan api "peperangan" di atas panggung perlombaan.

Tentu bukan cuma perlombaan yang menjadi penting benar, melainkan kecintaan kepada puisilah yang memungkinkan segalanya bisa terjadi. Umbu membuang-buang dirinya, tersuruk di segala sudut kota, bersungut-sungut menenteng tas lusuh sembari melintasi malam-malam yang menggelisahkan.

Dalam pikiran "normal" banyak orang, termasuk dalam pikiran para penyair muridnya di Bali, perjalanan itu ibarat pekerjaan yang membuang-buang waktu. Pikiran pragmatis seperti inilah yang kemudian menjebak banyak penyair untuk menyepelekan puisi.

Banyak yang berpikir, pencarian puncak seorang penyair diperoleh ketika ia berhasil membukukan sejumlah puisi yang ditulisnya dengan berdarah-darah. Sesudahnya, menulis lagi dan kemudian membukukannya.

KOMPAS/AYU SULISTYOWATI

Umbu Landu Paranggi dalam sebuah acara di Bali, 2017.

Umbu tak pernah punya buku kumpulan sajak tunggal satu pun sampai kini. Ketika ia mengajak kami berkeliling Pasar Badung di Denpasar menjelang dinihari, kami pikir tujuannya cuma menikmati soto babad yang mulai empuk pada jam-jam menjelang subuh.

Belakangan kami mengerti, itulah salah satu bab dari sebuah buku yang kami tulis bersama-sama. Ia menjadi cerita yang hidup di antara kami, lalu menyebar kepada para pengembara lainnya.

Begitulah selalu cara Umbu memberi makna pada hidupnya. Puisi ibarat jalan sunyi, tetapi harus ditempuh oleh semua penyair agar ia mengerti cara bertahan dan menikmati sari-sari dari kehidupan. Pada bagian lain dari "Melodia" Umbu menulis begini:

takkan jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi

dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai

begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan

selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Umbu Landu Paranggi, 2012.

"Kalau begitu apalagi yang ingin Anda kerjakan sekarang?"

"Tetap jadi bagian dari pencarian," kata Umbu suatu hari.

Kami bercakap malam-malam di Pantai Sindhu, Sanur, sambil meneguk berbotol-botol bir.

"Pencarian tentang apalagi?"

"Hakikat hidup itu mencari saja.Nandurin karang awak…" katanya.

Umbu mengutip frasa yang sangat populer dalam gaguritan "Selampah Laku" yang ditulis Ida Pedanda Made Sidemen. Frasa berbahasa Bali ini berarti "menanam di ladang diri".

Umbu ingin menyemai dan mengolah diri, sejauh-sejauh jalan yang bisa ia tempuh. Andai kata ada usia, maka puisilah yang  senantiasa memberinya kekuatan untuk berjalan dan terus berjalan…. Karena cintalah yang pada akhirnya membuat diri betah bertahan.

Kompas, 18 Desember 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger