Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 20 Desember 2019

LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG HUMANIORA: Mempercepat Pembangunan Manusia Menuju Indonesia Emas (Kompas)


KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA

Para pelajar di SMP Kristen Harapan Soe dari Yayasan Anugerah Soe sedang membaca buku sebagai bagian dari aktivitas Sehari Belajar di Luar Kelas (SBLK) di Soe, Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/11/2019).

Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya pembangunan sumber daya manusia unggul yang berdaya saing global. Dengan mengembangkan kualitas SDM menggunakan cara-cara baru, bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada  2021-2022 diyakini menjadi bonus lompatan kemajuan Indonesia.

Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) memang telah memasukkan kualitas manusia Indonesia pada 2018 dalam kelompok tinggi, dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia 0,707. Namun, meski naik lima peringkat dibanding pada 2017,  peringkat manusia Indonesia masih berada di ranking 111 dari 189 negara yang diukur, lebih rendah dibanding Filipina yang di ranking 106.

Tanpa ada percepatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, Indonesia berpeluang disalip dan ditinggal negara-negara lain. Peningkatkan kualitas manusia juga perlu terarah agar hasilnya bukan hanya membuat manusia Indonesia lebih memiliki peluang untuk menentukan hidupnya, tetapi juga bisa menggerakkan ekonomi dan meningkatkan daya saingnya.

Pada  2020, Indonesia akan memiliki 269,6 juta penduduk dan pada periode emas 2045 diperkirakan  mencapai 309 juta. Saat ini,  68,7 persen jumlah penduduk  adalah penduduk usia produktif (15-64 tahun). Menyiapkan pendidikan berkualitas dan menyediakan lapangan kerja yang menyejahterakan adalah tantangan besar pemerintah. Kegagalan menyiapkan dua hal ini bisa mengancam bonus demografi, pun Indonesia tak akan  naik kelas dari negara berpendapatan menengah ke negara berpendapatan tinggi alias negara maju pada 2045.

Pendidikan yang berkarakter sekaligus membekali  siswa dengan kompetensi yang dibutuhkan industri menjadi tantangan besar yang harus segera diselesaikan. Tanpa membekali siswa dengan kompetensi keras (hard skill) dan kompetensi lunak (soft skill), mereka rentan digilas otomatisasi dan digitalisasi yang menuntut keterampilan tinggi sekaligus efisien.

Pendidikan yang berkarakter sekaligus membekali  siswa dengan kompetensi yang dibutuhkan industri menjadi tantangan besar yang harus segera diselesaikan.

Riset global oleh McKinsey & Company menyebutkan, sekitar 23 juta (16 persen) lapangan kerja di Indonesia bakal tergantikan proses otomasi pada 2030. Namun dengan SDM yang kompeten dan bisa beradaptasi di era 4.0, Indonesia akan dapat mengoptimalkan peluang 27 juta-46 juta lapangan kerja baru yang akan tercipta di era otomasi 2030.


Pelatihan kerja berbasis kompetensi akan membantu meningkatkan kemampuan adaptasi tenaga kerja  yang saat ini didominasi lulusan menengah ke bawah, bahkan 40,51 persen berpendidikan SD. Menyiapkan mereka yang masih di bangku sekolah agar menjadi tenaga kerja yang berkualitas menjadi tantangan besar pemerintah mengingat rata-rata kemampuan siswa Indonesia masih di bawah rata-rata global (survei PISA, 2018).

Akselerasi

Tenaga kerja berkualitas lahir dari pendidikan berkualitas. Terobosan "Merdeka Belajar" diharapkan menjadi langkah awal untuk mengakselerasi mutu pemelajaran yang masih stagnan. Langkah ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kecerdasan  intelektual peserta didik, tetapi juga  kecerdasan emosional dan spiritual secara optimal. Sumber daya manusia yang cerdas dan berkarakter menjadi modal penting di era 4.0.

Kebijakan ini  terutama harus diikuti dengan peningkatan kualitas guru yang menjadi kunci pemelajaran bermutu. Regulasi pola kerja di dunia pendidikan juga  harus disederhanakan.

Keterkaitan dan kesesuaian (link and match) antara kompetensi yang diajarkan ke siswa, khususnya  dari pendidikan vokasi, dengan kebutuhan industri juga harus disesuaikan. Ketidaksesuaian yang terjadi selama ini menyebabkan tingkat pengangguran dan lama menunggu waktu kerja lulusan SMK lebih tinggi dibanding siswa SMA.

KOMPAS/DEONISIA ARLINTA

Kurikulum pendidikan SMK dan pengangguran terbuka lulusan SMK

Nasib serupa juga dialami lulusan perguruan tinggi. Pada 2015, 48 persen lulusan perguruan tinggi bekerja dengan kualifikasi pekerjaan lebih rendah dibanding tingkat pendidikan yang ditempuh. Sebanyak 22 persen lulusan perguruan tinggi tak bekerja di bidang yang sesuai jurusannya, dan 40 persen lulusan perguruan tinggi bekerja di bidang yang terbuka bagi lulusan jurusan apa pun.

Menjembatani kesenjangan antara proses pendidikan di perguruan tinggi dengan  dunia kerja dan   kebutuhan inovasi menjadi tantangan di era 4.0 ini. Kapasitas adopsi iptek dan penciptaan inovasi yang masih rendah, skor 29,8   (Global Innovation Index, 2019), perlu ditingkatkan. Skor tersebut menempatkan Indonesia di  peringkat 85 dari 129 negara atau posisi kedua terendah di ASEAN.

Kelompok penduduk lain yang perlu jadi perhatian serius negara adalah anak-anak. Tengkes masih jadi persoalan serius yang menghambat mereka untuk jadi penduduk cerdas, produktif, dan terhindar dari cepatnya penyakit degeneratif menyerang mereka. Namun persoalan genting yang berdampak jangka panjang bagi kualitas manusia Indonesia itu kurang mendapat perhatian serius semua pihak.

Tengkes masih jadi persoalan serius yang menghambat mereka untuk jadi penduduk cerdas, produktif, dan terhindar dari cepatnya penyakit degeneratif menyerang mereka.

Prevalensi tengkes secara nasional masih tinggi, 30,8 persen atau di atas prevalensi tengkes global yang 21 persen  (Riset Kesehatan Dasar, 2018). Sepertiga anak-anak Indonesia (anak balita dan remaja) mengalami tengkes. Perlu upaya lebih untuk menurunkan menjadi 19 persen hingga 2024 sesuai target pemerintah.

Tengkes bukan hanya persoalan kesehatan, namun juga infrastruktur penunjang kehidupan, pola pengasuhan orangtua, hingga paradigma layanan kesehatan yang masih fokus pada persoalan kuratif. Beberapa tahun terakhir, upaya serius pemerintah untuk mengatasi masalah ini sudah terlihat. Intervensi gizi spesifik atau langsung menyasar anak yakni untuk anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) sudah berjalan.  Namun, butuh upaya percepatan yang konsisten, dengan sinergi dari lembaga dan instansi terkait.

(M ZAID WAHYUDI / ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN)

Kompas, 20 Desember 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger