Pagi belum sempurna ketika kami meloncat ke atas perahu klotok. Satu-dua orang terlihat menyelesaikan shalat subuh di mesjid dekat dermaga Soto Bang Amat.
Kota Banjarmasin masih tidur ketika kehidupan di sungai mulai menggeliat. Beberapa jukung penuh hasil bumi melaju seturut arus Sungai Martapura.
Saya membayangkan akan bertemu para perempuan tangguh di atas perahu kecil di pasar terapung Lok Baintan. Sejatinya maksud hati menuju pasar terapung di muara Sungai Kuin, yang dikenal sebagai pasar terapung tertua.
Menurut catatan sejarah, pasar terapung muara Sungai Kuin telah ada sejak berdirinya Kerajaan Banjar yang dipimpin Sultan Suriansyah sekitar tahun 1595. Tetapi kini pasar ini berangsur ditinggalkan para pedagang dengan berdirinya Pasar Ferry, pasar daratan yang tak jauh dari muara Sungai Kuin.
Penulis Miranda Seftiana, orang asli Banjar yang menemani perjalanan kami memberi kabar bahwa Pasar Kuin sudah sepi bertahun-tahun lalu. "Jadi kalau mau ketemu pasar terapung lebih baik ke Lok Baintan," katanya akhir November 2019 lalu.
Perahu klotok yang kami sewa melaju membelah Sungai Martapura. Sekitar pukul 05.30 langit di timur perlahan memerah. Bulatan matahari terhalang daun-daun rumbia yang tumbuh sepanjang sisi sungai.
Sesekali tampak enceng gondok hanyut dibawa arus sungai. Perlahan-lahan sejarah melintas di rumah-rumah papan Suku Banjar. Beberapa warga di antaranya mulai menimba air, mencuci, bahkan mengguyur badan di pagi yang dingin dengan air yang kecoklatan.
Dulu sekali hampir semua kerajaan besar di Nusantara berkiblat pada sungai. Kerajaan Kutai berdiri di hulu Sungai Mahakam pada abad ke-4 Masehi, disusul Kerajaan Tarumanegara (4-7 M) yang menjadikan Sungai Citarum sebagai urat nadi peradaban.
Sesudahnya kita bisa mencatat kerajaan besar Sriwijaya (7-11 M) sebagai kerajaan maritim dengan armada yang kuat. Sriwijaya mengandalkan Sungai Musi sebagai jalur utama kekuatan transportasi dan perdagangan.
Di Jawa, sejarah mencatat dua kerajaan besar, yakni Singasari ( abad ke-13) yang berada di hulu Sungai Brantas dan Majapahit (13-15 M) di Trowulan. Meski letaknya di pedalaman, peradaban Majapahit berkembang di sepanjang bantaran Sungai Brantas.
Fakta ini bisa dilengkapi dengan negara-negara besar di dunia yang mengendalikan pemerintahan dan membentuk peradaban di sepanjang jalur sungai. Sebut saja keberadaan Sungai Nil di Afrika.
Nil membangun peradaban Mesir Kuno yang amat termasyhur, lalu Kerajaan Inggris berdiri di sepanjang Sungai Thames dan Turki di atas Sungai Eufrat. Hampir semua peradaban penting India tumbuh di antara Sungai Indus dan Gangga.
Lintasan sejarah itu bertumpuk-tumpuk dalam pikiran saya menjadi pertanyaan yang berjelujur sepanjang perjalanan. Mengapa dalam sejarah modern, sungai tiba-tiba berubah menjadi identik dengan sumber musibah?
Selain banjir, sungai juga dituding sumber limbah beracun? Sejak kapan pula sungai yang dulu dimuliakan dalam peradaban tradisional, berubah menjadi halaman belakang?
Tiba-tiba orientasi sebagian besar rumah di sepanjang Sungai Barito dan Martapura, dan sekitar 96 sungai di Kalimantan Selatan, menghadap ke jalan raya.
Saya bertemu Barniah, perempuan yang menghabiskan sebagian besar usianya untuk berlayar dan berjualan di pasar terapung. Wajahnya dilabur pupur tradisional yang terbuat dari beras dan rempah.
"Sudah lebih dari 50 tahun," katanya, ketika saya coba menanyakan usianya.
Pupur itu pula yang ia jual bersama buah-buah lokal yang ia beli dari sekitar Lok Baintan. Katanya, beberapa tahun terakhir pasar terapung mulai ditinggalkan orang-orang. Banyak yang berjualan di darat. "Pasar Kuin sudah sepi. Tak mungkin jualan di sana," katanya.
Orientasi peradaban modern yang berkiblat pada jalan raya di Nusantara dimulai ketika Herman Willem Daendels menginjakkan kaki di Anyer, Serang, pada 5 Januari 1808. Ia membutuhkan waktu empat hari menuju Batavia dengan kondisi jalan berbatu dan berlubang-lubang.
Gara-gara itulah Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-1811) ini memerintahkan sebuah proyek besar bernama De Grote Postweg, pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan (Jawa Timur) yang berjarak 1.000 kilometer.
Proyek ini sesungguhnya agenda besar yang menghindarkan Belanda dari hadangan tentara Inggris yang menguasai jalur laut di Nusantara. Daendels ingin memperlancar mobilisasi tentara, yang sebagian besar direkrut dari orang-orang pribumi.
Ia belajar dari para tentara Perancis yang menguasai jalur darat ketika menaklukkan Inggris. Celakanya, selama setahun proyek itu berjalan, tak kurang dari 12.000 orang pribumi tewas, entah dibunuh atau mati kelaparan.
Tubuh-tubuh mereka kemudian digantung di dahan-dahan pohon sepanjang jalan sebagai contoh pribumi "pemalas". Tentu saja itu salah satu kekejaman kolonialisme yang tak pernah termaafkan.
Satu sisi harus diakui bahwa jalur Anyer – Panarukan, telah menghubungkan lebih dari 90 wilayah di kisaran pantai utara Jawa. Tetapi yang membuat bergidik, sejarah kekejaman dan kelam itu sampai kini dijadikan kiblat pembangunan kota-kota di Indonesia.
Pembangunan jalan raya diandaikan sebagai satu-satunya solusi untuk mengembangkan peradaban sebuah kota. Lalu sungai-sungai yang dulu menjadi urat nadi kehidupan ditinggalkan, bahkan dianggap situs pembuangan sampah dan limbah.
Pemerintah Kota Banjarmasin mencoba menghibur diri dengan membuka pasar terapung Siring tepat di bawah jembatan Piere Tendean. Setiap hari Minggu, warga kota yang bergabung dengan para wisatawan bisa melihat "replika" pasar terapung dengan segala "keunikan" dan kemeriahannya. Tetapi perahu sebagai artefak utama di pasar terapung digantikan oleh dermaga yang mengapung di atas Sungai Martapura.
Sudah pasti "replika" ini punya tujuan mempermudah para wisatawan jika ingin berwisata di pasar terapung. Sayangnya, kita kehilangan sebagian besar moralitas dan etika penting yang menyertai keberadaan pasar terapung.
Perjalanan berabad-abad silam seolah ditenggelamkan begitu saja bersama jukung-jukung para perempuan yang setia mengayuh hidup di atas arus deras sungai. Ada penyangkalan besar-besaran terhadap sejarah.
Perempuan tangguh seperti Barniah cuma diperlakukan sebagai sisa-sisa zaman, yang tak terangkut perubahan. Perahu-perahu yang dikayuh puluhan perempuan lainnya, saban pagi seakan menempuh jalur kesedihan. Mereka meratapi nasib masing-masing di tembok-tembok rumah beton yang memunggunginya, seperti seseorang yang enggan menoleh.
Kalau Anda pergi berwisata ke Bangkok, Thailand, salah satu tawaran menggiurkan adalah pergi ke floating market. Di dekat kota Bangkok, setidaknya terdapat lima floating market, yang terus-menerus dirawat oleh pemerintah lokal.
Floating market terjauh dan tertua bernama Damnoen Saduak di Provinsi Racthaburi berjarak 100 kilometer dari Bangkok. Pasar ini diperkirakan berdiri tahun 1886 di sebuah sungai kecil yang membelah Distrik Damnoen Saduak.
Rakyat dan pemerintah setempat berhasil melakukan sebuah transformasi kultural untuk tetap menghidupkan pasar terapung Damnoen Saduak.
Pasar terapung bagi mereka tak cuma sebentuk kegairahan transaksional, tetapi lebih-lebih adalah artefak kultural yang menandai sebuah peradaban penting dalam lintasan sejarah.
Mereka melihat industri pariwisata adalah pintu masuk penting untuk menyisipkan peninggalan zaman menjadi sebentuk forum yang bisa menarik perhatian.
Maka jadilah Damnoek Saduak tujuan wisatawan terpenting di Thailand. Seluruh pernak-pernik mata dagangan para perempuan Thailand diarahkan untuk para wisatawan. Anda bisa menemukan cendera mata atau oleh-oleh unik di sini.
Begitulah semestinya cara meniti sebuah peradaban. Perubahan tidak serta-merta mengubur jejak sejarah, tetapi merawatnya sebagai pijakan untuk melompat pada era baru, di mana industri menjadi tulang punggung kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar