Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 14 Januari 2020

“Mission Sacre” Kekuasaan (TRIAS KUNCAHYONO)


INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Namanya begitu panjang, Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Ath Thusiasy-Syafi'i Abu Hamid al-Ghazali. Namun, orang lebih mengenalnya sebagai Al-Ghazali, Imam Al-Ghazali (1058-1111).

Orang Barat mengenal teolog Muslim, ahli hukum, filsuf, dan mistikus, ahli tasawuf dari Persia ini, sebagai Algazel. Al-Ghazali lahir pada 450 Hijriah atau 1058 di Tus, Khorasan, Persia, yang kini masuk wilayah Iran.

Salah satu hasil pemikiran Al-Ghazali adalah menyangkut soal ambisi orang akan kekuasaan. Menurut Al-Ghazali, ambisi terhadap kekuasaan itu lebih unggul daripada ambisi terhadap harta karena meraih harta melalui kekuasaan itu lebih mudah dibandingkan dengan meraih kekuasaan lantaran harta. Itulah sebabnya orang berebut dan bertarung untuk mendapatkan kekuasaan.

Delapan abad kemudian, John Emerich Edward Dalberg-Acton yang lebih populer dengan nama Lord Acton (1834-1902) menulis, "Power tends to corrupts, and absolute power corrupts absolutely…", orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi.

Dalam rumusan yang pendek, Lord Acton ingin mengatakan, "Kekuasaan cenderung korup". Walaupun "kekuasaan cenderung korup", kekuasaan selalu diperebutkan. Kekuasaan akan selalu diperebutkan dengan segala macam cara dan jalan, atau bahkan menghalalkan segala cara, menurut istilah Niccolo Machiavelli.

Apakah diperebutkan agar pemilik kekuasaan bisa korup? Yang pasti, kekuasaan memang memesona sekaligus manakutkan. Karena memesona, maka membuat orang bertarung untuk memperebutkan. Setelah kekuasaan ada dalam genggaman tangan, maka pemegang kekuasaan akan berusaha sekuat tenaga dan daya untuk mempertahankan dan kalau perlu serta mampu memperluas kekuasaannya itu.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural yang menggambarkan tentang orang yang berebut kekuasaan di pagar tembok di Penjaringan, Jakarta, Selasa (21/2/2017).

Ilmuwan politik dan sejarawan Amerika kelahiran Jerman, Hans Morgenthau (1904-1980), dalamPolitics Among Nations: The Struggle for Power and Peace menulis, motif tindakan politik adalah tiga hal dasar: mempertahankan kekuasaan, menambah kekuasaan, atau memperlihatkan kekuasaan.

Apa yang dikatakan oleh Al-Ghazali sekarang ini terbukti. Banyak pejabat yang sebelumnya miskin atau sekurang-kurangnya biasa-biasa saja, mendadak kaya raya setelah menjabat.Honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, berubah pula tingkah lakunya. Begitu kata pepatah. Maka itu, lantas muncul "tahapan-tahapan baru": power, money, lalu more powermore money, kemudian more more powermore more money, begitu seterusnya sampai kena perkara.

Hal itu terjadi karena pemegang kekuasaan dikuasai oleh pemikiran bahwa kekuasaan demi kekuasaan. Kekuasaan demi kekuasaan hanya melahirkan paradigma kekuasaan atas manusia lain (dan rakyat). Bahkan, termasuk menghalalkan kekerasan, pemaksaan, pelecehan, dan penyalahgunaan.

Secara umum, kekuasaan dipelajari oleh para ilmuwan Barat sebagai suatu hasil dari interaksi sosial. Misalnya, seperti yang dirumuskan oleh Robert Alan Dahl (1915-2014), pendidik dan ilmuwan politik Amerika. Ilmuwan politik ini mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sebuah institusi untuk memengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar melakukan sesuatu secara sukarela sesuai dengan yang dikehendaki; termasuk kepentingan diri.

Sebelumnya, sosiolog dan ahli ekonomi politik Prussia (Jerman) Max Weber (1864-1920), yang dikenal dengan tesisnya, "Etika Protestan", yang menghubungkan Protestanisme dan Kapitalisme, menyatakan bahwa kekuasaan merupakan kemungkinan pemaksaan seseorang atas perilaku orang lain, termasuk para oposan yang berlawanan haluan. Itulah hakikat kekuasaan, yang merupakan hasil interaksi sosial. Dalam pengertian ini, kekuasaan cenderung represif.

Dengan kata lain, kekuasaan menentukan orang lain untuk menurut. Pemikiran tersebut mengisyaratkan bahwa kekuasaan mengandung unsur pemaksaan di mana orang lain harus menuruti. Menjadi penguasa, itu berarti—jika mengikuti pemikiran tersebut—menjadi orang yang bisa memaksakan kehendaknya.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Seorang warga melintas di mural terkait pemilihan umum di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (18/1/2014). Pemilu menjadi salah satu jalan bagi seseorang untuk berkuasa.

Tentu hal tersebut sangat berbeda dengan paham kekuasaan Jawa tradisional yang mengonsepsikan kekuasaan dengan sifat-sifat adikodrati dan tidak membutuhkan legitimasi formal rasional. Jelaslah kiranya bahwa paham kekuasaan Jawa berbeda dengan paham kekuasaan Barat modern yang sumber kekuasaannya adalah hasil dari interaksi manusia dalam masyarakatnya.

Paham kekuasaan Jawa bersifat adikodrati dan transendental yang sumber kekuasaannya bukan merupakan hasil dari hubungan antarmanusia, melainkan berasal dari Tuhan, sehingga segala sumber yang mendukung kekuasaan tersebut juga bersifat adiduniawi atau gaib dan spiritual (Isbodroini Suyanto-Gunawan, 2005).

Dalam paham kekuasaan Jawa, wahyu merupakan sesuatu yang sangat penting bagi seorang penguasa. Karena melalui wahyu itulah seorang penguasa mendapatkan legitimasinya. Tanpa wahyu, kekuasaan dianggap tidak berarti sama sekali.

Penguasa Jawa percaya bahwa tugas yang ada di pundaknya, yaitu menciptakan keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan antara dunia mikrokosmos dan makrokosmos akan sempurna hanya jika penguasa memperoleh wahyu. Raja dianggap sebagai pusat kekuatan spiritual bagi seluruh kerajaannya karena hanya rajalah yang dipercayai mampu menyedot kekuatan-kekuatan kosmis dari alam sekelilingnya.

Satu hal yang perlu dicatat adalah menciptakan keselarasan, baik dengan alam maupun manusia, merupakan tindakan yang amat penting dari seorang penguasa. Menciptakan keadaan yang harmonis dan selaras, selaras dengan dirinya sendiri, selaras dengan masyarakat, dan selaras dengan Tuhan (Niels Mulder, 1973), merupakan keberhasilan dan menciptakan kekuatan spiritual yang dapat mengendalikan hal-hal duniawi yang tidak tampak, tetapi mempunyai kekuatan yang dinamis. Apabila hal ini tercapai, orang menganggap bahwa seseorang mempunyai kekuasaan ataukasekten untuk mengendalikan sekelilingnya dengan mantap.

KOMPAS

Warga melintas di mural yang menggambarkan perebutan kekuasaan di salah satu tembok di Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (15/4/2014).

Menciptakan "keadaan yang harmonis dan selaras, selaras dengan dirinya sendiri, selaras dengan masyarakat dan selaras dengan Tuhan" sebenarnya adalah mission sacre, tugas suci dari kekuasaan. Itulah sesungguhnya mandat sejati dari kekuasaan. Secara ringkas dapat dikatakan, mandat sejati dari kekuasaan adalah menciptakan kemaslahatan rakyat, kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat, bonum commune, kesejahteraan umum. Semua itu baru bisa terwujud kalau ada harmoni dan keselarasan.

Tentu, untuk bisa mewujudkan mandat sejati dari kekuasaan itu diperlukan kecerdikan memahami arti kekuasaan, bahkan perjuangan menegosiasikan arah kinerja kekuasaan. Dalam konteks politik, maka bisa dikatakan bahwa politik adalah perjuangan untuk membuat kinerja kekuasaan mengarah pada kesejahteraan bersama (Ignatius Suharyo, 2009).

Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, kesejahteraan umum secara inklusif, bukan kepentingan sempit, kepentingan sektarian, golongan sendiri, kelompoknya sendiri, partainya sendiri, dan kepentingan kesejahteraan eksklusif adalah mission sacre kekuasaan.

Akan tetapi, sayangnya, banyak yang lupa misi suci kekuasaan itu; lupa bahwa kekuasaan sebenarnya bukanlah tujuan, melainkan sekadar sarana atau alat untuk memanusiakan manusia. Sebab, nilai kekuasaan sejatinya adalah untuk mencapai nilai kemanusiaan.

Kompas, 13 Januari 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger