Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 04 Februari 2020

KEDAULATAN PANGAN: Mengurangi Sampah Makanan (POSMAN SIBUEA)


KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

Anak-anak asal Nduga di Distrik Walesi, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, tampak kelaparan pada Senin (22/7/2019).

Catatan kelabu tentang kedaulatan pangan 2019 ialah tragedi membusuknya 20.000 ton stok beras Perum Bulog yang bisa untuk memberi makan puluhan ribu orang.

Pola konsumsi masyarakat Indonesia yang relatif  buruk mendorong produksi sampah makanan meningkat setiap tahun. Laporan Economist Intelligence Unit (EIU), 2017, menyebut Indonesia berada di peringkat kedua penghasil sampah makanan terbanyak di dunia setelah Arab Saudi.

Setiap orang diperkirakan membuang makanan tidak kurang 300 kg per tahun. Jika rajin memeriksa sampah makanan di rumah, restoran, dan hotel, dengan mudah kita menemukan sisa makanan berupa sayur, buah, daging, ikan, bumbu-bumbu, dan minuman. Fakta ini menyedihkan karena sebagian warga miskin masih sulit memperoleh makanan.

Bahkan, satu dari tiga anak balita di Indonesia mengalami stunting(tengkes) alias gagal tumbuh akibat defisit gizi dan kelaparan. Di sisi lain, kita membuang makanan terlalu banyak.

Setiap orang diperkirakan membuang makanan tidak kurang 300 kg per tahun.

Ketidakadilan

Tantangan besar abad ini ialah bagaimana memberi makan penduduk dunia dengan cara yang lebih baik dengan tetap menjaga keseimbangan lingkungan untuk pembangunan pertanian berkelanjutan.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Mesirante (50) berjalan di antara petak sawahnya yang memutih dan terancam puso akibat kekeringan yang melanda ratusan hektar sawah di wilayah Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Rabu (11/9/2019). Petani berharap hujan segera turun karena akses pasokan air tidak mampu mengairi sawah di daerah penghasil padi terbesar kedua di Bumi Anoa ini.

Menaikkan produksi pertanian adalah salah satu langkah solusi praktis. Namun, cara ini mendorong persaingan untuk pemanfaatan lahan, air, dan energi. Masalah lain ialah perubahan iklim global yang  yang sewaktu-waktu dapat menurunkan produksi pertanian.

Metode lain yang menjanjikan ialah mengurangi jumlah makanan yang terbuang. Sampah makanan, baik yang bersumber dari buah dan sayur maupun produk pangan olahan lainnya, berimplikasi pada sumber daya pertanian yang disia-siakan.

Lahan yang ditujukan untuk menanam, air bersih, pupuk, bibit dan benih, bahan bakar, dan pestisida terbuang secara percuma. Secara global, dengan ekspektasi pertambahan penduduk dunia menjadi sembilan miliar pada 2050, produksi makanan yang tidak dikonsumsi ini, menurut Stuart (2009) dalam bukunya, Waste: Uncovering the Global Food Scandal, sungguh sebuah ketidakadilan dan kita menanggung dosa atas kesalahan pemanfaatan sumber daya alam ini.

Sejak 2011, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengingatkan tentang dampak lingkungan yang diakibatkan sampah  makanan yang jumlahnya diperkirakan 1,3 miliar ton per tahun. Konon, sampah makanan sangat berkontribusi meningkatkan jumlah gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang di Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (14/6/2019). Data kajian Dinas Kebersihan DKI tahun 2011 menunjukkan, 60,5 persen sampah DKI bersumber dari permukiman. Sampah dari kawasan komersial dan dunia usaha menyumbang 28,7 persen total volume sampah DKI, tertinggi kedua setelah sampah dari permukiman. 

Di tempat pembuangan sampah, limbah ini memproduksi GRK hampir setara dengan total emisi di Kuba yang berjumlah 3,3 miliar ton karbon dioksida per  tahun. Sisa makanan juga menyumbang hilangnya air tahunan global sekitar 250 kilometer kubik yang setara dengan tiga kali volume Danau Geneva di Swiss (FAO, 2013).

Bagaimana proses hilangnya hampir sepertiga dari seluruh produksi makanan dunia? Sekadar menyebut contoh di negara berkembang, sebagian besar lenyap saat pascapanen akibat minim fasilitas penyimpanan, pelayanan pengangkatan, gudang, dan alat pembeku.

Sebagai perbandingan, negara maju membuang lebih banyak makanan di rantai suplai saat pelaku usaha memesan produk pertanian. Selain itu, mereka menyajikan atau memajang lebih banyak dan relatif  lebih lama, membiarkan makanan terlalu banyak di lemari pendingin, dan membuang sebelum masa kedaluwarsa.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Petani mengemas kubis yang akan disetorkan kepada pengepul saat cuaca berkabut di Desa Banyuroto, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (4/12/2019).

Dalam artikelnya bertajuk "Food Waste Matters, A Systematic Review of Household Food Waste Practices and Their Policy Implications", Schanes dkk  (2018) menyebut mengurangi sampah makanan, selain bermanfaat mengawal keseimbangan lingkungan dengan mereduksi limpahan GRK di atmosfer, juga dapat membantu mengatasi masalah ketersediaan dan menjaga swasembada pangan khususnya di negara-negara berkembang.

Pengurangan kerugian secara kuantitatif pada buah, sayuran, dan biji-bijian akibat proses pembusukan pada pascapanen menjadi prioritas penanganan dibandingkan kerugian secara kualitatif seperti preferensi konsumen.

Sisa makanan juga menyumbang hilangnya air tahunan global sekitar 250 kilometer kubik yang setara dengan tiga kali volume Danau Geneva di Swiss (FAO, 2013).

Sementara di negara-negara maju, ketidakpuasaan konsumen karena produk kurang  bermutu menghasilkan jumlah sampah makanan yang lebih besar dibandingkan karena kehilangan pascapanen. Sekadar menyebut contoh, warga Amerika Serikat membuang 30-40 persen makanan karena tidak sesuai dengan mutu yang diinginkan (Stuart, 2009).

Seiring dengan kekhawatiran bagaimana memberi makan dunia yang penduduknya lebih dari sembilan miliar pada 2050, produksi pangan  harus ditingkatkan secara signifikan.

Namun, di sisi lain, disadari bahwa sektor pertanian dianggap sebagai salah satu ancaman terbesar bagi kerusakan lingkungan. Pertanian bertanggung jawab atas penggunaan 70 persen air bersih, 80 persen deforestasi tropis dan subtropis dunia, dan 30 persen penghasil GRK.

Mengubah lebih banyak hutan untuk menjadi lahan pertanian bukan lagi solusi cerdas di tengah kian masifnya perubahan iklim global. Maka, langkah  yang ditawarkan ialah  mengurangi sampah makanan.

Masyarakat harus mengubah pola makan dengan mengonsumsi makanan secukupnya untuk menuju gaya hidup sehat. Mengurangi penggunaan bahan makanan menjadi bahan bakar nabati (biofuel dan biosolar) dan memanfaatkan lahan tidur yang kurang produktif di perkotaan.

Perubahan paradigma dari perluasan lahan pertanian ke arah perbaikan pola konsumsi untuk  mereduksi sampah makanan akan memberi keniscayaan ketersediaan makanan yang lebih baik di tengah masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan perubahan pola pikir yang diikuti  konsistensi kebijakan  untuk mengurangi sampah makanan. Semoga!

Mengubah lebih banyak hutan untuk menjadi lahan pertanian bukan lagi solusi cerdas di tengah kian masifnya perubahan iklim global.

(Posman Sibuea, Guru Besar Tetap Ilmu Pangan di Prodi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan)

Kompas, 4 Februari 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger