Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 Februari 2020

MEDIA SOSIAL: Paradoks Media Sosial (REDI PANUJU)


KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural kampanye antihoaks di bawah jembatan layang Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (11/3/2019).

Kehadiran media sosial (medsos) ibarat keranjang sampah. Keberadaannya dibutuhkan untuk menampung benda-benda apkir yang bikin sumpek. Di sana semua benda bekas itu menumpuk tanpa sekat dan berinteraksi, melipatgandakan limbah kehidupan.

Laki-perempuan, tua-muda, strata tinggi-rendah, rasional-emosional, semua berinteraksi tanpa sekat. Medsos menjadi media yang sangat bebas bagi setiap pengguna untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan peran artifisialnya.

Sebagaimana ditulis oleh Rulli Nasrullah (2014) dan dijelaskan pengkaji sosial Baudrillard, dunia virtual merupakan seolah-olah representasi dari alam imajinasi sebagaimana jika kita masuk dalam area bermain Disneyland.

Di dunia virtual, pengguna bisa menjadi siapa saja yang diinginkan. Karena itu, sebetulnya berselancar di medsos tidak membutuhkan klarifikasi kecuali sudah mengarah pada kekerasan verbal, kebohongan publik (hoaks), pornografi, dan ujaran kebencian. Hanya sebatas itu negara bisa mengintervensi medsos untuk melindungi rakyatnya.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Co-Founder Ruangguru.com Iman Usman menyampaikan materinya dalam acara Creator Muda Summit 2020 di Art: 1 New Museum, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020). Acara ini merupakan puncak kegiatan pelatihan bagi pelajar dalam rangka peningkatan kapasitas literasi media.

Di dunia virtual, pengguna bisa menjadi siapa saja yang diinginkan.

Kata imajinasi inilah yang dipandang Baudrillard sebagai pembeda dengan media arus utama, seperti televisi, radio, dan media cetak. Pada media arus utama, fakta merupakan sumber dari produksi informasi. Apabila tidak faktual, dalam tradisi jurnalistik akan dihukum sebagai tindakan yang tidak beretika.

Bahkan, dalam rumusan Kode Etik Jurnalistik (semua versi), fakta tersebut dilarang dicampur dengan opini si jurnalis. Perbedaan itu tampaknya tidak diindahkan oleh sebagian besar pengguna media sosial di Indonesia. Medsos dimaknai sebagai representasi realitas atau fakta.

Berduyun-duyun organisasi pemerintahan, pendidikan, sosial, agama, dan semua jaringan sosial memutuskan menggunakan medsos sebagai sarana komunikasi formal. Undangan rapat, info, instruksi, larangan, peringatan, semua dialihkan melalui medsos.

Pengguna medsos menuntut melebihi takdir medsos itu sendiri sehingga dalam praktiknya banyak menimbulkan masalah. Medsos memiliki kelebihan dalam kecepatan, distribusi, dan konvergensi makna, tetapi sekaligus mengandung kelemahan dalam hal ketelitian dan ketepatan mamaknai isi medsos.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Kutipan mengenai toleransi dari para pelajar yang mengikuti pelatihan dipajang dalam acara Creator Muda Summit 2020 di Art: 1 New Museum, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020).

Tuntutan untuk cepat merespons dan mengomentari pesan menyebabkan pengguna dikejar waktu sehingga mengesampingkan ketelitian atau kecermatan. Kemudian juga berpotensi salah tafsir terhadap "bahasa maksud". Pada konteks inilah medsos mengandung potensi pemecah belah, konflik, dan ketegangan dalam interaksi sosial.

Setiap pengguna bebas memproduksi dan mendistribusikan representasi imajinasinya. Tidak ada kontrol yang efektif untuk membatasi percakapan dan filter tematik. Kontrol hanya efektif dilakukan oleh pengguna sendiri.

Berbeda dengan media arus utama, yang produksinya dikawal melalui penjaga gawang (gatekeeper). Surat kabar, misalnya, memiliki struktur kelembagaan untuk memastikan produksi informasi sesuai dengan kode etik jurnalistik.

Kecermatan, validitas, sampai presisi menjadi fokus perhatian agar ketika sampai kepada khalayak sudah terbebas dari persoalan-persoalan etis. Bagi pers, pelanggaran kode etik merupakan pertaruhan reputasi, kredibilitas, dan kepercayaan.

KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memimpin pembacaan ikrar komitmen lawan ujaran kebencian dan hoaks dalam apel "Persiapan Pemilu 2019", di Jakarta, Jumat (15/2/2019).

Sebagai produk industri, ketidakpercayaan khalayak bisa memengaruhi oplah dan iklan. Begitu juga di media penyiaran, produksi pesan dikawal oleh Standar Program Siaran (SPS) dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), amanah undang-undang penyiaran (UU No 32 Tahun 2002).

Bagi pers, pelanggaran kode etik merupakan pertaruhan reputasi, kredibilitas, dan kepercayaan.

Dengan kata lain, pada media arus utama ada kontrol dari dalam (self control) dan ada kontrol dari luar (Dewan Pers, KPI/KPID, dan pasar). Tidak ada tawar-menawar bagi media arus utama, kecuali memperhatikan dimensi etis.

Tipe pengunjung

Sementara pada media sosial, kontrol dari luar tidak terlalu signifikan, yang ada justru kebebasan subyektif pengguna. Medsos bagaikan hutan belantara, yang gelap dan liar. Suara-suara hanya bisa menarik perhatian ketika keras dan menggema.

Setiap individu bebas menggunakan hutan itu untuk membangun jejaring sosialnya untuk tujuan berbeda-beda. Dalam konteks komunikasi siber, ada yang disebut penetap (resident) dan ada pengunjung (visitor).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga melakukan aksi simbolik penolakan penyebar luasan hoax, ujaran kebencian, dan praktik politik uang, dalam acara yang digelar oleh Bawaslu Kota Yogyakarta di Alun-alun Selatan, Yogyakarta, Minggu (24/2/2019).

Penetap dan pengunjung sering bertemu dalam jejaring untuk kepentingan tertentu sehingga mereka terkoneksi sebagai in-group dalam waktu yang relatif lama. Mereka membangun jaringan berhubungan dengan pengakuan atas keberadaan (eksistensi) tertentu dalam kelompok dan itu sah saja.‎

Problem kohesivitas in-group muncul ketika ada pengunjung yang memosisikan diri sebagai pengintai (lurkers). Menurut Hine (2000) dan Nasrullah (2014), posisi pengintai hanya sekadar melihat dan tidak meninggalkan jejak.

Medsos bagaikan hutan belantara, yang gelap dan liar. Suara-suara hanya bisa menarik perhatian ketika keras dan menggema.

Tidak semua kelompok pengintai meninggalkan pesan negatif dalam interaksi in-group. Mereka tahu keberadaannya sulit dilacak sehingga bebas menyodorkan pendapat. Persoalan muncul ketika pengintai ini hanya menjumput satu atau beberapa informasi yang sifatnya parsial, kemudian dijual kepada pihak tertentu untuk mendapatkan benefit.

Keberadaan pengintai ini bisa bermetamorfosis menjadi miripbuzzer, seperti orang atau akun yang mempromosikan produk atau tokoh agar populer dan legitimate. Keberadaan lurkers yang buzzer ini dalam hutan medsos seperti pendulum yang memproduksi potongan-potongan informasi sebagai komoditas.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Ujaran kebencian dan berita bohong yang menyebar melalui media sosial menjadi salahs atu materi yang belakangan ini banyak dibicarakan. Banyak perlawanan terhadap berita tidak benar dan cenderung menyuburkan sikap intoleransi antarwarga bangsa.

Salah paham dan konflik kerap disulut oleh para pendulum dalam in-group. Karena itu, para resident harus menyadari bahwa ada informasi dari jejaring yang bernuansa buzzer. Tidak harus langsung ditelan mentah-mentah untuk kemudian reaktif merespons.

Konteks "kebenaran" dari informasi dalam medsos harus di-check and recheck berulang-ulang karena bahasa di medsos cenderung tidak formal, sepotong-sepotong, diselingi dengan guyonan (joke) atau komentar anggota jejering.

Karena itu, para residentharus menyadari bahwa ada informasi dari jejaring yang bernuansa buzzer.

Memang respons yang reaktif bisa mengesankan sosok yang pemberani, independen, dan kuat, tetapi juga bisa mengesankan tidak beretika dan membuat takut anggota yang lain. Harus dikalkulasi mudarat dan manfaatnya.

Pesan yang disampaikan bisa jadi merupakan fakta, tetapi karena dibungkus dengan emosi, maknanya jadi berbeda. Bukan faktanya yang menjadi perhatian, melainkan yang ditangkap kemasannya. Khalayak menjadi gagal fokus.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Wakil Kepala Polda Kalteng Brigadir Jenderal Rikwanto (tengah) menunjukkan beberapa barang bukti atas penangkapan pelaku penyebar ujaran kebencian di Palangkaraya, Selasa (28/8/2018).

Tipe pengguna medsos dalam konteks jaringan yang belum dibahas Hine dan Nasrullah adalah apa yang disebut Everett M Rogers sebagai pemencil (isolated). Dalam konteks jejaring, mereka memang pasif, diam, tidak memberi reaksi.

Mungkin karena alasan tidak manfaat, tidak tertarik, takut pada risiko, dan bukan urusannya, jadi mereka memilih mengambil sikap tidak mau tahu-menahu. Mereka merekam dengan baik, tapi hati-hati mengambil keputusan.

Diam adalah emas. Berbeda dengan tipe jejaring yang disebut jembatan (bridge), mereka aktif mencari potongan-potongan informasi untuk meyakinkan resident pada kesimpulan tertentu. Maksud saya, keberadaan pemencil dalam jejaring mungkin lebih dibutuhkan karena fungsinya cenderung menjaga stabilitas, sementara bridge cenderung menciptakan imajinasi negatif yang provokatif.

Bukan faktanya yang menjadi perhatian, tetapi yang ditangkap kemasannya. Khalayak menjadi gagal fokus.

Jangan "gede rumangsa"

Jika kita sepakat dengan Baudrillard bahwa medsos itu cenderung sebagai representasi realitas yang imajinatif, tidak seyogianya memaknai isi medsos secara serius. Meskipun awalnya berangkat dari realitas, dalam transformasinya menjadi pesan tidak dijamin presisi, sebab individu yang sangat bebas memproduksi dan mendistribusikan pesan memiliki kekuasaan untuk mengurangi, melebihkan, mendramatisasi, dan sejenisnya.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Graphic recorder Agah Nugraha mevisualisasikan bahasan narasumber dalam acara Creator Muda Summit 2020 di Art: 1 New Museum, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020). Acara ini merupakan puncak kegiatan pelatihan bagi pelajar dalam rangka peningkatan kapasitas literasi media guna melawan informasi negatif, ujaran kebencian, dan provokasi dengan tajuk jurnalisme kebhinekaan untuk pelajar SMA dan sederajat. Kegiatan ini sebelumnya telah dilakukan di 10 kota dari bulan Maret hingga Oktober 2019.

Di tangan pengguna medsos, pendapat dan perasaan (suka atau tidak suka) dengan mudah menggeser realitas menjadi apa yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality.

Fenomena yang sering kita temukan, khalayak kerap kali justru mengasosiasikan dirinya dengan isi pesan, seolah-olah isi pesan di medsos merupakan representasi keberadaannya. Misalnya, ada individu mengunggah keluh kesah berupa kalimat "Orang mulia yang diperoleh melalui cara yang tidak jujur, ibarat mayat-mayat hidup".

Meskipun mungkin kita tersinggung dengan narasi tersebut, tidak perlu mengasosiasikan bahwa mayat-mayat hidup itu adalah kita. Hasilnya membuat kita merasa disindir, marah, geram, dan tidak enak hati lainnya. Pesan itu bersifat umum, ditujukan untuk siapa saja yang memiliki sifat senada.

Contoh lain, ada seseorang menampilkan foto boneka di IG tanpa kepala dengan narasi "Tidak bisa dibayangkan bila kita hanya tubuh tanpa kepala… Namun, sebenarnya juga banyak orang hidup tanpa kepala. Dia punya kepala, tetapi tidak pernah digunakan… Jangan adigang, adigung, adiguna, hanya karena Anda punya kepala besar. Hati-hati karena tinggal tunggu waktu saja Anda kehilangan kepala".

Jika kita sepakat dengan Baudrillard bahwa medsos itu cenderung sebagai representasi realitas yang imajinatif, tidak seyogianya memaknai isi medsos secara serius.

Postingan seperti itu bersifat umum. Jangan mengasosiasikan "Anda" dalam teks dengan diri sendiri. Kalau kita tipe pengguna medsos yang sensitif, sebaiknya tidak perlu berselancar di sana, sebab hutan belantara medsos penuh dengan senjata yang pelurunya melesak ke mana-mana. Istilahnya, "Jangan gede rumangsa alias ge-er".

Medsos adalah tempat kita berkaca diri, introspeksi, dan mengais hikmah.

(Redi Panuju, Pengajar Fikom Unitomo Surabaya)

Kompas, 11 Februari 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger