Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 09 Mei 2020

CATATAN TIMUR TENGAH: Covid-19 dan Pembaruan Pemikiran Islam (MUSTHAFA ABD RAHMAN)


Musthafa Abd Rahman, Wartawan SeniorKompas

Pandemi Covid-19 kini tak dimungkiri telah mengubah banyak aspek kehidupan keseharian umat Islam di seluruh dunia.

Paradigma pemikiran Islam yang sudah terbangun baku selama berabad-abad kini dipaksa atau terpaksa beradaptasi dengan fakta kehidupan baru sesuai dengan protokol kesehatan yang sangat ketat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akibat pandemi Covid-19 itu. Dengan kata lain, perubahan kehidupan itu mendorong bergulirnya kembali wacana pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kelas peristiwa sebesar pandemi Covid-19.

Dalam beberapa dekade terakhir ini, wacana pembaruan pemikiran Islam selalu muncul beririsan dengan peristiwa besar, seperti kekalahan bangsa Arab dalam perang Arab-Israel tahun 1967, serangan teroris 11 September 2001 atas kota New York dan Washington DC oleh Tanzim Al Qaeda, serta terakhir Musim Semi Arab tahun 2011 yang masih berlanjut sampai saat ini di beberapa negara Arab.

Para ahli kini sepakat, tatanan dunia, baik di sektor ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun keamanan, telah berubah pada musim wabah Covid-19 saat ini dan akan terus berubah setelah pandemi Covid-19 reda nanti.

Kehidupan keagamaan juga tak luput dari terpaan perubahan pada era dan pascapandemi Covid-19 itu.

STR/AFP

Pekerja melakukan disinfeksi area sekitar Kabah di Masjidil Haram pada hari pertama bulan suci Ramadhan, 24 April 2020. Arab Saudi melarang pertemuan keluarga dan doa massal, yang belum pernah terjadi sebelumnya, karena pandemi Covid-19.

Merebaknya wabah Covid-19 yang bermula dari kota Wuhan, China, pada Desember 2019 dan kemudian merambah sangat cepat ke seluruh dunia pada Januari dan Februari, sudah mengantarkan terjadinya perubahan signifikan dalam pemahaman dan perilaku keagamaan umat Islam di seluruh dunia.

Umat Islam, misalnya, segera menerima keputusan besar Pemerintah Arab Saudi yang menghentikan sementara kegiatan ibadah umrah mulai 27 Februari, yang berlanjut sampai saat ini, dengan dalih mencegah penyebaran Covid-19.

Keputusan tersebut lalu disusul keputusan penutupan Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah, kecuali untuk kegiatan ibadah dalam jumlah yang sangat terbatas.

Umat Islam kemudian menerima pula berita keputusan Yayasan Waqaf Islam Otoritas Palestina yang menutup kompleks Masjid Al Aqsa pada 15 Maret lalu dengan alasan mencegah penyebaran Covid-19. Masjid Al Aqsa adalah tempat suci ketiga bagi umat Islam setelah Mekkah dan Madinah.

AFP/EMMANUEL DUNAND

Seorang pria melintasi Dome of the Rock atau Kubah Batu di kompleks Masjid Al Aqsa di kota tua Jerusalem, Senin (16/3/2020). Israel menerapkan karantina dua pekan bagi semua turis mancanegara yang datang, hampir menghentikan kegiatan pariwisata, dan membatasi pengumpulan massa untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Pada 15 Maret itu pula, umat Islam menerima fatwa dari para ulama besar Al-Azhar di Mesir yang memperbolehkan meninggalkan shalat Jumat dan diganti dengan salat Dzuhur serta menyerukan umat Islam tidak menjalankan shalat berjemaah di masjid dalam shalat lima waktu.

Para ulama besar Al-Azhar mengeluarkan fatwa tersebut juga dengan dalih mencegah penyebaran Covid-19. Sebab, menurut protokol kesehatan versi WHO, kerumunan massa menjadi potensi utama penularan penyakit tersebut.

Menjelang bulan Ramadhan, para ulama kembali mengeluarkan fatwa agar umat Islam tidak melaksanakan shalat Tarawih dan iktikaf  di Masjid serta diganti dengan shalat Tarawih dan iktikaf di rumah.

Beruntunnya kebijakan pemerintah dan fatwa ulama sejak akhir Februari hingga pertengahan April itu mengantarkan terjadinya perubahan besar pada pola kehidupan beragama umat Islam yang pertama kali terjadi sejak sekian abad terakhir ini.

Agama Islam yang sangat kaya dengan khazanah intelektual dan sejarah memudahkan para ulama dan pemerintah mencari legitimasi historis dan intelektual yang bersumber dari Al Quran dan hadis atas semua kebijakan dan fatwa tersebut.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Calon jemaah umrah dari sejumlah daerah yang telah berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta batal terbang ke Arab Saudi, Kamis (27/2/2020). Pemerintah Arab Saudi menghentikan sementara layanan umrah terkait penyebaran virus korona.

Hal itu sangat membantu kebijakan dan fatwa bisa dengan mudah diterima publik Muslim di seluruh dunia serta kemudian bisa menciptakan stabilitas sosial dan emosional keagamaan.

Pada gilirannya, perubahan pemahaman dan perilaku kehidupan beragama umat Islam akibat pandemi Covid-19 itu bisa dijadikan momentum membangun gerakan moderasi Islam dan sekaligus upaya memutus rantai pemikiran radikal yang terbangun pascarevolusi Iran tahun 1979 dan gerakan jihad melawan pendudukan komunis Uni Soviet di Afghanistan pada tahun 1980-an. Gerakan jihad di Afghanistan itu dikenal menjadi embrio lahirnya Tanzim Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Sisa mata rantai pemikiran radikal tersebut masih terlihat dengan munculnya beberapa ulama dan ustaz yang menolak keras fatwa diizinkannya meninggalkan shalat Jumat dan diganti shalat Dzuhur, dengan dalil Al Quran dan hadis pula, sehingga sempat terjadi polemik tentang isu shalat Jumat itu.

Namun, ulama arus utama tetap bersikukuh dengan fatwa bisa meninggalkan shalat Jumat dan diganti dengan shalat Dzuhur untuk menghindari kerumunan massa sesuai dengan protokol kesehatan WHO.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Salah satu sudut di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada hari Jumat (24/2/2020). Masjid Istiqlal tak menggelar shalat Jumat seiring dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar di Jakarta.

Pada bulan Ramadhan ini, bergulir pula berita bahwa Pemerintah Arab Saudi sedang menggodok rancangan keputusan tentang penyelenggaraan ibadah haji tahun ini yang akan jatuh pada akhir Juli nanti dengan melakukan musyawarah dengan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OIC).

Bergulir berita tentang tiga opsi yang akan diambil Pemerintah Arab Saudi terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Pertama, ibadah haji tidak dilaksanakan tahun ini. Kedua, Pemerintah Arab Saudi akan menyelenggarakan ibadah haji tahun ini hanya untuk warga Arab Saudi dan warga asing yang  bermukim di Arab Saudi, tanpa mengikutsertakan umat Islam dari mancanegara.

Ketiga, Pemerintah Arab Saudi akan menyelenggarakan ibadah haji tahun ini dengan mengikutsertakan umat Islam dari mancanegara, tetapi dengan persyaratan ketat, seperti calon jemaah haji harus berusia di bawah 50 tahun, ada pengurangan jumlah kuota jemaah haji dari mancanegara, dan mengikuti protokol kesehatan yang ketat sesuai standar WHO.

Apa pun keputusan yang akan diambil Pemerintah Arab Saudi, suatu hal yang pasti adalah penyelenggaraan ibadah haji tahun ini berbeda dari ibadah haji tahun-tahun sebelum ini, yang mencapai jumlah sekitar 2 juta anggota jemaah haji setiap tahunnya.

REUTERS/GANOO ESSA

Pemandangan Kabah di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi, Jumat (6/3/2020). Pemerintah Arab Saudi menangguhkan layanan umrah di tengah meluasnya wabah Covid-19 di seluruh dunia.

Tidak mungkin lagi di Padang Arafah, kota Mina, dan kota Mekkah yang sempit berjubel sekitar 2 juta anggota jemaah haji dari mancanegara pada musim wabah Covid-19 saat ini. Pemerintah Arab Saudi diberitakan akan mengambil keputusan salah satu dari tiga opsi tersebut terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun ini pada bulan Ramadhan ini.

Maka, keputusan apa pun yang akan diambil Pemerintah Arab Saudi nanti akan membuka horizon bagi para ulama untuk melakukan penafsiran keagamaan baru terhadap penyelenggaraan ibadah haji tahun ini yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelum ini akibat pandemi Covid-19 itu.

Sikap atau fatwa dari ulama Al-Azhar tentu sangat ditunggu menghadapi keputusan Pemerintah Arab Saudi terkait ibadah haji tahun ini mengingat pengaruh besar Al-Azhar di dunia Islam Sunni.

Selama ini, ulama Al-Azhar cukup akomodatif  menghadapi tantangan pandemi Covid-19 dengan memperbolehkan meninggalkan shalat Jumat di masjid dan diganti dengan shalat Dzuhur di rumah serta mendukung penghentian sementara ibadah umrah oleh Pemerintah Arab Saudi.

OFFICE OF GRAND AYATOLLAH ALI AL-SISTANI, VIA AP

Ayatollah Ali Sistani, ulama besar Syiah di Irak.

Ulama besar Syiah di Irak, Ayatollah Ali Sistani, juga akomodatif menghadapi tantangan Covid-19 dengan mengizinkan umat Islam Syiah membatalkan puasa jika berpuasa dianggap menurunkan daya tahan atau imunitas tubuhnya, yang kemudian rawan menyebabkan terserang Covid-19.

Itulah bentuk perubahan paradigma pemahaman dan perilaku kehidupan beragama di dunia Islam yang cukup dahsyat akibat pandemi Covid-19.

Kompas, 8 Mei 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger