Ketika kita masih cemas menunggu vaksin Covid-19, ilmu sosial dan perilaku seharusnya bisa membantu mengendalikan pandemi, selain epidemiologi tentunya.
Sebagai langkah awal, kita perlu memahami bagaimana masyarakat merespons ancaman, mempersepsikan risiko, dan pengambilan keputusan dalam skala individu hingga kelompok. Kegagalan memahami hal ini bisa menyebabkan kekeliruan intervensi, bahkan dapat memperdalam dampak pandemi.
Salah satu respons emosional selama pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona (corona virus) tipe baru adalah ketakutan. Manusia, seperti hewan, memiliki seperangkat sistem pertahanan untuk memerangi ancaman dari sekitar.
Ketakutan ini dapat berguna dalam beberapa situasi, tetapi bisa sebaliknya: ketakutan membuat orang berhati-hati selama seseorang merasa mampu menghadapi ancaman, tetapi akan memicu sikap abai ketika mereka merasa tidak berdaya dan hilang harapan, seperti mulai terlihat di masyarakat kita saat ini. Dalam situasi yang kian tak terkendali, hal ini bisa memicu amuk massa.
Ketakutan membuat orang berhati-hati selama seseorang merasa mampu menghadapi ancaman, tetapi akan memicu sikap abai ketika mereka merasa tidak berdaya dan hilang harapan.
Respons sebaliknya adalah bias optimisme. Sekalipun bias optimisme bisa berguna menghindari emosi negatif, itu membuat orang berisiko terpapar pendemi. Strategi komunikasi yang baik harus mencapai keseimbangan antara menerobos bias optimisme tanpa menimbulkan perasaan cemas dan ketakutan yang berlebihan.
Selain memahami respons warga, kita perlu memahami persepsi risiko. Persepsi ini bisa dipengaruhi informasi dan pengetahuan tentang ancaman dan risikonya bagi keselamatan dan kehidupan individu dan kelompok. Persepsi terhadap risiko juga bisa dipengaruhi emosi hingga kepercayaan seseorang. Namun, persepsi ini juga bisa dipengaruhi faktor lain, di antaranya tekanan ekonomi.
Survei yang dilakukan oleh Nanyang Technological University bersama Laporcovid19.org baru-baru ini, misalnya, menemukan, sekalipun warga Jakarta sudah memiliki pengetahuan relatif baik terhadap ancaman Covid-19, tetapi mereka mengabaikan risiko karena tekanan ekonomi.
Jelas bahwa virus korona baru pemicu penyakit Covid-19 telah menguji daya tahan fisik dan ekonomi setiap orang. Namun, lebih dari itu, pandemi ini terutama bakal menguji sistem sosial kita.
Sebagai individu kita bisa menjaga diri dengan menerapkan pola hidup sehat dan menjaga jarak fisik saat di luar rumah. Akan tetapi, hanya jika semua orang menekan kepentingan pribadinya dan mau bertindak bersama, wabah ini bisa diatasi.
Sebagai contoh, kita mungkin merasa punya cukup tabungan dan bisa bertahan di dalam rumah dengan memesan seluruh kebutuhan melalui layanan daring. Namun, bagaimana dengan orang yang terpaksa masih harus tinggal atau bekerja di tempat-tempat yang berisiko?
Keluarga yang tinggal di kampung tanpa air mengalir tidak dapat mencuci tangan sesering orang lain. Mereka yang tinggal di lingkungan sangat padat atau kamp pengungsian akan sangat sulit untuk menerapkan jarak fisik.
Demikian halnya orang-orang yang bergantung pada transportasi umum tidak selalu dapat menghindari kerumunan besar. Buruh pabrik hingga pelayan toko tidak bisa bekerja dari rumah dibandingkan dengan pemiliknya.
Dengan banyaknya orang yang berisiko di luar rumah, transmisi virus akan terus terjadi. Jika mereka yang masih beraktivitas di luar tertular dan sakit, mereka yang berlindung di dalam rumah juga tidak akan bertahan karena sistem sosial kita merupakan jejaring ketergantungan.
Kecuali jika kita bisa hidup sendiri di bumi ini, dan itu mustahil, maka kita harus bertindak bersama menghadapi virus ini dengan tidak hanya memikirkan keselamatan diri, tetapi juga orang-orang lain di sekitar kita. Maka, prinsip no one left behind, atau tak seorang pun boleh dibiarkan berada dalam risiko, harusnya benar-benar diterapkan dalam melawan pandemi ini.
Di sinilah seharusnya pemerintahan berperan. Dengan otoritasnya, mereka memiliki kuasa memaksa orang tetap di rumah selama masa pembatasan sosial. Namun, pemaksaan saja tidak akan cukup. Agar orang tetap tenang selama masa karantina, kebutuhan hidupnya harus dipenuhi negara.
Australia dan Selandia Baru, misalnya, selain memberikan tunjangan kepada mereka yang kehilangan pendapatan selama pandemi, juga memberi insentif kepada perusahaan agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja kepada karyawannya.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, warga semestinya mendapatkan jaminan sosial dan ekonomi dari pemerintah selama pandemi. Jika hal ini dijalankan, seharusnya tidak ada lagi tekanan ekonomi yang memaksa masyarakat abai dengan risiko, serta bisa mendorong pada perilaku abai dan nekat.
Pandemi ini membuka kegagalan pemerintahan populis yang lebih mengandalkan pendengung bayaran dibandingkan dengan melakukan tugasnya, seperti diingatkan Ross Douthat (New York Times, 7 April 2020). Namun, pandemi ini juga melahirkan banyak inisiatif baik, di antaranya menguatnya solidaritas sosial: warga bantu warga, yang menunjukkan salah satu indikator modal sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar