Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 18 Juni 2020

EPILOG: Melati dari Ruang Isolasi (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, Wartawan Senior Kompas

Dalam setiap unggahan video di akun Instagram @puspasari.kadek, selalu ada penanda "Video27. Day 20. Self-Quarantine-Lockdown 9-4-2020". Kalimat ini sebenarnya semacam titimangsa untuk menandai hari-hari di apartemennya di kota Paris yang sedang menjalani status lockdown.

Kadek setiap hari menari selama beberapa menit, terkadang diiringi alunan musik dari murid-muridnya di tempat terpisah. Kebijakan pemerintah untuk mengunci kota Paris membuat tubuhnya teraniaya dan jiwanya menderita.

Pelonggaran lockdown akhirnya tiba pada hari ke-60. Artinya lebih dari dua bulan penuh Kadek tidak bisa ke mana-mana. Apa yang terjadi selama di rumah saja? Karena ia koreografer dan penari, maka ia membebaskan tubuhnya dengan bergerak. Kadek kini memiliki sekitar 60 komposisi koreografi pendek hasil dari deraan tubuh dan jiwanya selama masa karantina. "Mungkin nanti akan jadi karya yang bisa dipentaskan sekaligus," kata Kadek Puspasari, pekan lalu dari Paris.

Di kota lain penari dan koreografer Rianto menghasilkan komposisi tari lengger bertajuk "Sekar Melati" setelah menjalani karantina mandiri di kota Tokyo, di mana ia kini menetap. Koreografi itu kemudian ia unggah di kanal Youtube miliknya. Di kota Jakarta, penari Maria Darmaningsih "dipaksa" harus menjalani isolasi di RS Sulianti Saroso setelah diduga terkena Covid-19. Bahkan, inisialnya bersama kedua anaknya, Ratri Anindyajati dan Nursita Tyasutami, diumumkan sebagai kluster pertama kasus Covid-19 di Indonesia oleh Presiden Joko Widodo.

Dalam waktu sekejap terjadi kehebohan luar biasa. Maria diburu para wartawan, bahkan rumahnya disatroni banyak warga. Sementara kondisinya secara mental di ruang isolasi kian memburuk. Seorang teman punya inisiatif mengiriminya kertas dan cat poster. Jadilah hari-hari Maria selama di ruang isolasi diisi dengan menari sambil melukis dan mendengarkan musik. Soal seperti apa bentuk lukisannya tidak menjadi penting karena melukis sesungguhnya dibutuhkan sebagai terapi mental. Maria saat itu tidak hanya membutuhkan pengobatan medis, tetapi lebih-lebih adalah pemulihan mentalnya yang ambruk. Di situlah seni memberi jalan keluar.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Tangkapan layar wawancara daring Kompasdengan Maria Darmaningsih.

Andai Aleksandr Solzhenitsyn tidak menulis novel The Gulag Archipelago(1958) mungkin salah satu kamp kerja paksa paling kejam di dunia tidak dibubarkan. Gulag sendiri merupakan akronim dari Glavnoye Upravleniye Lagere atau Pusat Administrasi Kamp Kerja Korektif. Solzhenitsyn dijatuhi hukuman kerja paksa setelah mengkritik pemerintahan Joseph Stalin yang kejam dan brutal. Padahal, ia sendiri tergabung dalam barisan tentara merah dalam melawan invasi Jerman saat Perang Dunia II.

Dalam novel The Gulag Archipelago, penulis Rusia kelahiran 1918 itu mewawancarai ratusan tahanan dari berbagai kelas sosial di Uni Soviet saat berada di Gulag. Mereka umumnya mengalami siksaan fisik dan deraan psikologis tiada henti. Para interogatornya benar-benar memiliki darah dingin untuk melakukan penyiksaan terhadap tahanan.‎

Medium penyiksaan seperti mesin pencabut kuku itu hal yang lumrah karena ada banyak siksaan yang dialami para tahanan untuk menjatuhkan mentalnya. Salah satunya, para tahanan perempuan ditelanjangi kemudian dimasukkan ke ruangan sempit yang kemudian dari celah-celah lubang para lelaki interogator mengintipnya setiap saat sambil mengucapkan kata-kata melecehkan.

Ada pula jenis penyekapan lain yang dialami para tahanan. Dalam ceruk yang sangat sempit, seorang tahanan dipaksa berdiri tanpa bisa bergerak, kemudian di atas kepalanya perlahan menetes air yang sangat dingin. Penyiksaan jenis ini hanya membuat seseorang bertahan dalam sehari untuk seterusnya jatuh pingsan. Solzhenitsyn menyebut para biarawati mengalami penyiksaan paling kejam karena kesalehannya dihancurkan dengan kata-kata kasar setiap saat.

Tak jarang mereka ditelanjangi untuk kemudian direndahkan derajatnya.

Novel The Gulag Archipelagokemudian mengantarkan Aleksandr Solzhenitsyn menerima hadiah Nobel tahun 1970, tetapi ia tidak bisa meninggalkan Soviet lantaran takut tidak bisa kembali. Tetapi, tahun 1974 ia justru diusir Pemerintah Uni Soviet dari negaranya dan kemudian menetap di Swiss.

VATPOOL/REUTERS

Paus John Paul II (kanan) menyambut penulis Rusia, Aleksandr Solzhenitsyn, di Vatikan, 16 Oktober 1993.

Terapi kreativitas

Kita masih ingat tentu saja bagaimana sastrawan Pramoedya Ananta Toer berjuang keras untuk bertahan dari masa-masa pembuangan yang pahit di Pulau Buru. Ia bercerita setiap hari kepada para tahanan lain untuk membunuh rasa marah dan kehancuran mental akibat siksaan kerja paksa yang tiada henti.

Cerita-cerita lisan itulah yang kemudian menghasilkan novel tetralogi Pulau Buru, yakni Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa(1981), Jejak Langkah (1985), danRumah Kaca (1988). Novel Bumi Manusia berkali-kali mengantarkan Pramoedya ke jenjang nomine hadiah Nobel walau sampai akhir hayatnya tak jua menjadi pemenangnya. Tetapi, tetralogi Pulau Buru telah lahir menjadi simbol perlawanan di Tanah Air.‎

Sesungguhnya kreativitas seni dalam tubuh Kadek Puspasari, Rianto, dan Maria Darmaningsih telah menjadi apa yang disebut oleh Aristoteles sebagai katarsis. Tubuh yang bergerak pertama-tama terbebaskan dari keterbelengguan. Bersama imajinasi ia mengembara melampaui ruang dan waktu. Maka ketika hasilnya dipresentasikan ke jagat maya melalui kanal-kanal media sosial, maka secara serentak pelaku gerak tubuh memperoleh katarsis. Jiwanya terbersihkan oleh sensasi estetik yang membuatnya menjadi lebih sehat secara fisik dan mental.

Aleksandr Solzhenitsyn dan Pramoedya Ananta Toer bisa selamat keluar dari kamp penyiksaan terkejam di dunia karena selalu memelihara harapan. Cerita-cerita yang mereka kisahkan dan kemudian dituliskan adalah terapi paling jitu untuk melawan kemarahan dan kehancuran mental. Meski tidak berada dalam ruang isolasi dalam pengertian "kamar tahanan", keduanya menjadi penghuni sebuah kamp dengan para "algojo" terlatih. Sebagai para intelektual yang bergelimang pada wilayah pemikiran, martabatnya tidak hanya dihancurkan dengan hantaman fisik, tetapi lebih-lebih adalah deraan teror mental yang meniadakan eksistensinya sebagai seorang manusia.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Novelis yang pernah dibuang di Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer (kedua dari kiri), diwawancarai tiga wartawan Kompas, 30 Maret 1999.

Sebagaimana kita tahu Solzhenitsyn kemudian meninggal dalam usia 89 tahun dan Pramoedya 81 tahun, usia yang panjang untuk perjalanan hidup seorang anak manusia. Usia panjang itu setidaknya membuktikan satu hal bahwa keduanya adalah orang-orang yang "berhasil" membebaskan tubuhnya dari rasa sakit dan menyunggi imajinasi pada tingkat tertinggi yang bisa digapai fantasi manusia. Pramoedya selalu bilang, "Saya ingin lihat di mana ini akan berakhir…."

Ketika sains untuk sementara "cuma" bisa memberi harapan akan menemukan vaksin korona tahun 2021, maka seni mula-mula bekerja dengan membebaskan tubuh dari belenggu isolasi. Sampai sekarang Maria masih terus melukis karena ia memiliki kesadaran baru tentang peran penting aktivitas diri yang merawat imajinasi. "Tanpa itu mungkin aku sudah ambruk dan menyerah," kata Maria.

Ratri dan Nursita, anak-anak dari Maria, juga melakukan hal-hal yang "aneh" selama menjalani isolasi di rumah sakit. Mereka melakukan aktivitas-aktivitas seperti menari, menyanyi, dan yoga sampai bergulingan di atas pembaringan. Tidak jarang para perawat mengingatkan keduanya agar jarum infusnya tidak lepas. Ratri dan Nursita tahu persis bahwa sampai ketika mereka menjadi kluster pertama kasus Covid-19 di Indonesia, tidak ada obat pasti untuk menyembuhkan keganasan virus korona.

KOMPAS/INSAN ALFAJRI

Tiga pasien Covid-19 yang telah sembuh, yaitu kasus 1, 2, dan 3, dipulangkan dari RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, Senin (16/3/2020).

Tidak ada cara lain untuk berjuang mempertahankan hidup selain melakukan kreativitas seni untuk merawat harapan. Maria mengatakan, seni itu seperti air yang menetes perlahan untuk kemudian menyirami pohon melati di tanah tandus. Perlahan-lahan pula dedaunan akan kembali segar dan bahkan memunculkan bunga-bunga putih yang menebar harum dan keindahan pada alam sekitarnya.

Jika Solzhenitsyn dan Pramoedya mengajarkan daya tahan, bukan tidak mungkin Maria, Kadek Puspasari, dan Rianto telah memasang fondasi dari arsitektur berkesenian di masa depan. Ketika normal baru benar-benar harus dijalani, (mungkin) seni akan mengarah kepada sesuatu yang lebih personal dan subtil. Seni tidak lagi bersandar pada kemegahan dan kemeriahan, tetapi kembali pada watak dasarnya yang kontemplatif, penuh permenungan untuk menjembatani hidup yang kian berjarak.

Bahkan, sangat mungkin seni tidak selalu harus menghasilkan sensasi keindahan bagi para penikmatnya, ia akan tumbuh seperti melati di tanah tandus; memberi aroma harum pada kemanusiaan yang sedang gersang. Ia akan melompat dari tubuh satu ke tubuh lain, untuk menyelamatkan spesies manusia dari ancaman kepunahan.

Kompas, 17 Juni 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger