Kawasan Arab Teluk (Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Oman, dan Uni Emirat Arab), yang kaya dan memiliki sistem kesehatan yang maju, justru dikenal menjadi episentrum Covid-19 di dunia Arab saat ini.
Sementara negara-negara Arab di Afrika Utara plus Jordania, Palestina, dan Sudan, yang lebih miskin dan sistem kesehatannya lebih buruk, malah memiliki kurva Covid-19 jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara Arab Teluk itu.
Menurut data Worldometer, hingga Rabu (17/6/2020), penderita Covid-19 di Arab Saudi 136.315 orang, sebanyak 1.052 orang di antaranya meninggal dan 89.540 orang sembuh.
Di Qatar, jumlah kasus positif 82.077 orang; sejumlah 80 orang meninggal dan 60.461 orang sembuh. Di Uni Emirat Arab (UEA) terdapat 42.982 kasus; sejumlah 293 orang meninggal dan 28.861 orang sembuh. Di Kuwait terdapat 36.958 kasus; dengan 303 orang meninggal dan 28.206 orang sembuh. Adapun di Oman ada 25.269 kasus; 114 orang di antaranya meninggal dan 11.089 orang sembuh. Sementara di Bahrain terjadi 19.553 kasus; dengan 47 orang meninggal dan 13.866 orang sembuh.
Bandingkan dengan negara Arab di luar kawasan Arab Teluk, seperti di Tunisia, kasus Covid-19 hanya 1.125 orang dengan 49 orang meninggal dan 1.002 orang sembuh. Di Jordania hanya terdapat 981 kasus; 9 orang meninggal dan 693 orang sembuh. Di Palestina hanya 514 kasus; dengan 3 orang meninggal dan 415 orang sembuh. Di Suriah terjadi 177 kasus positif Covid-19; sejumlah 6 orang meninggal dan 78 orang sembuh.
Menurut para analis, faktor kawasan Arab Teluk menjadi episentrum Covid-19 di dunia Arab karena kawasan itu sudah menjelma menjadi pusat kapitalisme di dunia Arab dan lebih terkoneksi dengan kawasan di belahan bumi lain, seperti China, Eropa, dan Amerika.
Keberadaan bandar udara internasional yang modern dengan maskapai pesawat terbang terbesar di dunia, seperti Dubai, Abu Dhabi, Doha, Muskat, dan Jeddah, mengantarkan kawasan tersebut menjadi seperti tak berjarak lagi dengan Benua Asia, Eropa, dan Amerika.
Maskapai penerbangan Emirat Airlines di Dubai, Etihad Airways di Abu Dhabi, Qatar Airways di Doha, Oman Airways di Muskat, dan Saudi Airlines di Jeddah sudah dikenal sebagai maskapai penerbangan terbesar dan modern di dunia saat ini.
Kapitalisme di kawasan Arab Teluk juga mendorong banyak pekerja asing berbondong-bondong ke kawasan Arab Teluk. Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan, kini sedikitnya terdapat 23.000.000 pekerja asing di kawasan Arab Teluk. Pusat-pusat konsentrasi pekerja asing itu ditengarai sebagai salah satu episentrum Covid-19 di kawasan Arab Teluk.
Pakar Amerikat Serikat (AS) keturunan Iran, Laleh Khalili, dalam buku terbarunya, Sinews of War and Trade: Shipping and Capitalism in the Arabian Peninsula, menjelaskan tentang budaya kapitalisme di kawasan Arab Teluk yang terbentuk sejak ditemukannya minyak pada awal abad ke-20 di kawasan itu.
Dalam buku tersebut dijelaskan, China terlihat menjadi pusaran perdagangan dunia pada era modern saat ini. Adapun kawasan Teluk Arab menjadi alur utama transportasi perdagangan internasional dan pusat transit komoditas yang diperdagangkan di tingkat internasional.
Hal itu terjadi lantaran letak geografis kawasan Arab Teluk yang berada di persimpangan antara Benua Asia, Afrika, dan Eropa.
Selain itu, kawasan Arab Teluk juga didukung oleh banyak pelabuhan dan bandar udara internasional yang besar dan modern, serta armada kapal laut, pesawat komersial, dan kargo raksasa yang dimiliki negara-negara di kawasan Arab Teluk.
Pelabuhan Dubai, Muskat, Oman, Abu Dhabi, Dhahran, Doha, dan Kuwait merupakan pelabuhan modern dan terbaik di dunia saat ini. Bandar udara internasional di Dubai, Abu Dhabi, dan Doha juga merupakan bandara internasional terbesar dan terbaik di dunia saat ini.
Sebagian besar minyak dan gas yang menggerakkan industri di China saat ini berasal dari kawasan Arab Teluk.
Sebaliknya, sebagian besar produk China yang diekspor ke Timur Tengah, Afrika, dan Eropa kini melalui pelabuhan dan bandar udara internasional di kawasan Arab Teluk, semisal Dubai, Abu Dhabi, Muskat, dan Doha.
Kawasan Arab Teluk pun kini serta-merta menjadi jalur utama jalan sutra yang digagas China saat ini. Jalan sutra adalah jalur perdagangan yang menghubungkan China dan Eropa yang dibangun pada tahun 130 SM saat era Dinasti Han. China kini ingin menghidupkan kembali jalur sutra tersebut.
Kawasan Arab Teluk juga menjadi pusat gerakan arus lalu lintas komoditas dunia yang melahirkan dan menggerakkan kapitalisme modern. Maka, kawasan Arab Teluk menjadi sangat strategis dalam konteks geoekonomi, politik, dan militer.
Laleh Khalili menyebut, betapa pembangunan pelabuhan dan bandar udara modern di kawasan Arab Teluk telah mengubah peta perdagangan di kawasan Timur Tengah dan dunia.
Transportasi laut secara khusus tidak hanya jalur perdagangan, tetapi juga tulang punggung kehidupan kapitalisme dunia karena sebagian besar arus perdagangan melalui jalur laut. Sebanyak 90 persen komoditas dunia diangkut lewat kapal laut. Sebanyak 30 persen dari komoditas yang diangkut kapal laut tersebut berupa minyak mentah.
Terus meningkatnya kemampuan manajemen dan kapasitas pelabuhan dan kapal laut di kawasan Arab Teluk tidak terlepas dari terjadinya pergeseran sosial-budaya ke arah yang lebih modern yang pada gilirannya melahirkan kota-kota pantai modern, seperti Dubai, Abu Dhabi, Dhahran, Doha, dan Muskat.
Menurut buku Sinews of War and Trade, proses pembangunan kota-kota pantai beserta pelabuhannya di kawasan Arab Teluk dilakukan secara bertahap bersamaan dengan ditemukannya sumur-sumur minyak pada awal abad ke-20.
Pembangunan kota-kota pantai beserta pelabuhannya seiring dengan penemuan sumur-sumur minyak itu serta-merta mematikan budaya memburu mutiara dan nelayan pencari ikan yang kuat di kawasan Arab Teluk sebelum ditemukannya sumur-sumur minyak.
Lahirnya kota-kota baru modern beserta pelabuhannya berkat rezeki minyak itu, kemudian diiringi kisah berbondong-bondongnya pekerja asing dari mancanegara ke negara kawasan Arab Teluk untuk turut mengail rezeki dari minyak itu.
Bahkan, armada militer asing ikut hadir secara masif di kawasan Arab Teluk untuk menjaga keamanan jalur pasokan minyak dari kawasan tersebut ke Eropa, Amerika Serikat, dan Asia.
Maka, bertemulah kepentingan antara mobilisasi militer, pekerja asing, dan pemilik modal di kawasan Arab Teluk itu demi keamanan budaya kapitalis yang lahir berkat minyak.
Laleh Khalili mengatakan, buku karyanya itu untuk menjelaskan betapa kawasan Arab Teluk dengan kekayaannya tersebut sangat erat atau tidak terpisahkan dari kawasan Timur Tengah lain, Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika.
Novelis Arab Saudi, Abdelrahman al-Munif, menyebut betapa gerakan kapal-kapal kargo yang mengangkut alat-alat pengeboran berat dan peralatan eksplorasi minyak ke Arab Saudi telah melahirkan budaya baru sangat kapitalis yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk setempat.
Budaya baru itu berupa lahirnya kota-kota satelit yang dipagar kawat berduri dan sangat eksklusif di pantai-pantai timur Arab Saudi.
Di kota-kota satelit itu berlabuh kapal-kapal asing tanpa henti untuk mengangkut minyak dan gas dari berbagai sumur di Arab Saudi. Terdapat pula ribuan pekerja asing bekerja di kota-kota satelit tersebut dengan budayanya yang eksklusif pula yang berbeda dengan penduduk setempat.
Novelis Abdelrahman al-Munif menyebut kota-kota satelit itu dengan sebutan kota garam.
Menurut Al-Munif, ia menyebut dengan kota garam karena kota-kota satelit tersebut lahir dan berkembang bukan karena akumulasi dari sejarah panjang, tetapi akibat lahir dan tumbuh dengan sangat cepat di masa tertentu berkat rezeki minyak yang melimpah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar