Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 18 Juli 2020

CATATAN URBAN: Optimisme Megakota Dunia ”Kepontal-pontal” Dihantam Wabah Global (NELI TRIANA)


KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Awak bus listrik Transjakarta mengenakan masker dan pelindung wajah saat uji coba bus listrik, Senin (6/7/2020).

Hampir dua dekade silam, sebelum disadari virus korona jenis baru akan mengubah dunia, beberapa wali kota resah dengan bermacam isu yang membelit mereka dan banyak kota lain.

Para wali kota dari kawasan urban maju itu kemudian berembuk dan mengambil inisiatif. Pada Oktober 2005, Wali Kota London, Inggris, Ken Livingstone bertemu dengan perwakilan dari 18 kota besar untuk menginisiasi tindakan dan kerja sama dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Tahun 2006, Livingstone mengundang Clinton Climate Initiative (CCI) untuk menjadi mitra gerakan kota-kota besar. Dalam satu tahun, jaringan berkembang menjadi 40 kota dan nama C40 pun lahir. CCI adalah yayasan yang bergerak dalam bidang penelitian dan penerapan teknologi-teknologi baru untuk melawan perubahan iklim. Seperti namanya, CCI dimotori mantan Presiden Amerika Serikat William Jefferson Clinton atau Bill Clinton.

C40 kini telah menjalin jaringan dan hubungan erat layaknya sahabat dengan anggota sedikitnya 96 kota. Jakarta merupakan salah satu kota yang merespons gerakan C40 dan menjadi anggotanya. Fauzi Bowo, yang akrab dipanggil Foke, saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, hadir dalam C40 Large Cities Climate Summit di Seoul, Korea Selatan, 18-21 Mei 2009.

KOMPAS/NELI TRIANA

Tangkapan layar foto Bill Clinton dan Fauzi Bowo di harian Kompas, 22 Mei 2009.‎

Lima agenda utama yang diusung dalam C40 adalah inisiatif di bidang implementasi adaptasi terhadap kondisi lingkungan; meningkatkan kualitas udara; penggunaan energi dan bangunan ramah lingkungan; pengelolaan air, bahan pangan, dan sampah/limbah; serta sistem transportasi dan perencanaan kota.

Untuk Jakarta, Foke menekankan prioritas implementasi pembangunan layanan jaringan transportasi publik, pengendalian banjir, dan menerapkan penggunaan energi bersih. Kala itu, Foke juga mengatakan bahwa inisiatif tersebut dirintis sejak bertahun-tahun sebelumnya. Karena sesuatu dan lain hal, banyak rencana tertunda. Namun, pembangunan koridor pertama bus Transjakarta pada 2004 dan banjir besar yang berkali-kali melanda Jakarta, seperti pada 2007, menjadi momentum untuk memastikan tidak ada lagi penundaan penataan Ibu Kota.

Satu dekade lewat, ketika pembenahan Jakarta sedang giat-giatnya, mendadak semua terguncang.

"Kota 15 Menit"

Hampir tujuh bulan pandemi menyerbu dan belum juga terlihat kapan berakhir. Di Indonesia saja, sesuai dengan laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, hingga Jumat (17/7/2020), total ada 83.130 kasus positif Covid-19. Dari jumlah itu, 41.834 orang dinyatakan sembuh dan 3.957 orang meninggal.

Data grafis dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Jumat (17/7/2020).

Upaya menekan penyebaran wabah global ini turut memperlambat, bahkan menghentikan berbagai kegiatan masyarakat. Proyek-proyek pembangunan nasional dan daerah sebagian besar ditangguhkan. Dampak ekonominya sungguh parah.

Seperti diuraikan di halaman 1Kompas, 16 Juli 2020, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, terdapat 26,42 juta orang miskin di Indonesia pada Maret 2020. Jumlah ini naik 1,63 juta orang dari September 2019 yang saat itu ada 24,79 juta orang atau naik 1,28 juta orang dari Maret 2019 yang tercatat ada 25,14 juta orang. Di Jakarta, selain 1,1 juta penduduk miskin yang telah terdata, ada lebih dari 2 juta warga rentan jatuh miskin akibat pandemi dan sejak tiga bulan lalu mulai menerima bantuan sosial dari pemerintah.

Kota-kota di negara lain juga mengalami hal serupa. Singapura, negara kota kaya yang kebetulan tetangga dekat Indonesia, pun tak luput dari resesi.

C40 merespons kondisi ini dengan inisiatif membuat Satuan Tugas Pemulihan Covid-19 Wali Kota Global  untuk membangun kembali kota dan ekonomi dengan cara meningkatkan kesehatan masyarakat, mengurangi ketidaksetaraan, dan tetap mengatasi krisis iklim. Kota yang responsif terhadap ancaman wabah, baik Covid-19 maupun virus penyebab penyakit berbahaya lain, kini masuk dalam agenda resmi C40.

KOMPAS/NELI TRIANA

Kota-kota anggota C40, seperti dipetakan di situs C40.org

Baca juga: Kota Sehat Bukan Mimpi, asal...

Berangkat dari sana, kota Paris di Perancis menelurkan program "Kota 15 Menit". Wali Kota Paris Anne Hidalgo memastikan ia melanjutkan program mengurangi penggunaan kendaraan pribadi hingga dua kali lipatnya yang mulai dirintis di sisa tahun ini.

Anggaran kota, selain untuk penanganan Covid-19, dialihkan, antara lain, untuk program prioritas pembangunan jaringan angkutan umum dan jalur pejalan kaki. Transportasi publik ditambah karena kapasitas per unit bus, kereta, dan moda lain harus dikurangi setidaknya hingga 30-50 persen. Sepeda resmi digandeng sebagai pelengkap moda transportasi dalam kota.

"Kota 15 Menit" ada untuk memastikan pergerakan warga lancar mendekati masa sebelum pandemi.

Kota Paris berpenduduk 2,15 juta jiwa dan kawasan Region Paris atau Île-de-France berpenduduk 12,21 juta jiwa."Kota 15 Menit" ada untuk memastikan pergerakan warga lancar mendekati masa sebelum pandemi. Dengan demikian, semua perusahaan dan kegiatan yang membutuhkan kehadiran fisik setiap orang dapat difasilitasi. Ekonomi ditargetkan kembali bergulir dan dampak ikutannya adalah kegiatan ekonomi di semua daerah yang berelasi dengan Paris turut tergerak.

Krisis inisiatif

Seperti diunggah di situs Pejabat dan Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) DKI Jakarta, Gubernur Anies Baswedan berbincang secara daring dengan anggota dan pengurus C40 pada 27 Maret 2020. Salah satu kesepakatan dari pertemuan tersebut adalah dorongan untuk pertukaran informasi dan pembelajaran secara lebih cepat, terutama terkait berbagai upaya penanganan serta bagaimana bertahan di tengah krisis ini.

Namun, di Jakarta, sejauh ini, belum tergambar jelas bagaimana strategi pemerintah untuk tetap menjaga agar nadi kehidupan kota dan warganya berdenyut stabil kembali. Padahal, saat ini, pemerintah pusat dan daerah sedang menjalankan program Adaptasi Kebiasan Baru atau AKB.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Antrean penumpang KRL sebelum naik bus bantuan pengangkut dari Stasiun Bogor, Kota Bogor, Senin (13/7/2020).

Program AKB ini ditargetkan menjadi semacam jembatan menuju era normal baru, situasi saat warga terbiasa menerapkan protokol kesehatan penangkal pandemi ketika berkegiatan sehari-hari.

Selama AKB, pemerintah meminta semua warga mematuhi protokol memakai masker dengan benar, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sesering mungkin, hidup sehat dan bersih di mana pun, serta mengutamakan untuk tetap berkegiatan di rumah. Hanya keluar rumah jika sangat dibutuhkan atau tidak ada pilihan lain, itu pun kembali harus menerapkan protokol kesehatan ketat.

Seiring dengan itu, tempat wisata sebagian mulai dibuka, pusat perbelanjaan modern kembali beroperasi, dan kebijakan pelonggaran-pelonggaran lain. Hasilnya, sementara ini, kasus positif Covid-19 di Jakarta dan Indonesia secara umum terus meningkat, bahkan bisa dikatakan memburuk.

Ekonom Chatib Basri dalam OpiniKompas pada 8 Juli lalu, menyerukan desakan agar ekonomi dibuka kembali, terutama berasal dari kelompok menengah ke bawah yang harus segera kembali bekerja agar bisa bertahan hidup. Alternatif lain, mereka bisa tidak kembali berkegiatan dulu, asalkan bantuan sosial diberikan memadai secara terus-menerus.

Kelompok ekonomi menengah ke atas yang berpenghasilan cukup dan memiliki tabungan, kata Chatib Basri, relatif memilih pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilanjutkan yang berarti semua kegiatan masih dihentikan atau dilakukan total dari rumah.

Namun, jumlah warga di kelompok yang terjepit dipastikan lebih banyak dan dana pemerintah juga terbatas untuk bisa terus menyalurkan bantuan sosial kepada warga miskin dan rentan miskin.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Lebih dari 1.000 pengemudi ojek daring berunjuk rasa di depan Balai Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (13/7/2020). Mereka menuntut agar diperbolehkan mengangkut penumpang pada masa adaptasi kebiasaan baru pandemi Covid-19.

Pertanyaannya kemudian, mengapa kebijakan seperti "Kota 15 Menit" tidak bisa atau belum bisa diadaptasi di sini guna menjembatani antara desakan warga yang butuh bekerja segera dan upaya pelonggaran yang diterapkan pemerintah? Bisa dirasakan ada mata rantai yang hilang sehingga kebijakan pelonggaran justru berbalik menjadi bumerang.

Jika jawabannya adalah karena ketiadaan anggaran, tentunya tidaklah tepat karena Jakarta, misalnya, tidak dituntut untuk membangun persis seperti di Paris. Akan tetapi, konsep dasarnya yang diterapkan dengan penyesuaian di sana-sini.

Di Jakarta kini, mengacu pada World Population Review, dihuni 10,78 juta jiwa. Situs yang sama menyebut Jakarta bersama daerah tetangga, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), menampung sekitar 30 juta jiwa. Jika sepertiganya saja harus bekerja dengan hadir secara fisik di tempat kerja, tidak heran jika arus lalu lintas ramai, bahkan kepadatan kendaraan bermotor sudah biasa terjadi dalam satu bulan terakhir. Tidak heran pula jika peminat bus ataupun kereta api komuter nyaris sama seperti sebelum pagebluk.

Tren penggunaan sepeda pun bisa turut dikelola dan mungkin ini saatnya sepeda mulai menjadi bagian dari moda transportasi aktif di Jakarta.

Upaya menyediakan bus-bus gratis di stasiun pemberangkatan awal dan tujuan akhir untuk memecah antrean penumpang kereta komuter di Jabodetabek adalah langkah maju. Akan tetapi, tidak bisa berhenti sampai di sana saja. Armada angkutan mikro yang tergabung dalam konsep layanan publik JakLingko yang dikelola DKI bisa turut dilibatkan. Angkutan seperti bemo masih bisa dirangkul dan ditata ulang dalam jaringan layanan transportasi publik pada masa krisis. Tren penggunaan sepeda pun bisa turut dikelola dan mungkin ini saatnya sepeda mulai menjadi bagian dari moda transportasi aktif di Jakarta.


Semua ini perlu dilakukan agar warga tidak kebablasan kembali bergantung pada kendaraan bermotor pribadi. Jika itu terjadi, tak perlu menunggu lama lagi, masalah-masalah kemacetan, polusi udara, dan dampak ikutan berupa gangguan kesehatan serta kerugian ekonomi akan makin membebani Jakarta dan sekitarnya.

Keledai pun tidak jatuh ke lubang yang sama dua kali. Di tengah pusaran wabah global dapatlah dipahami jika semua pihak "kepontal-pontal"—terengah-engah mengikuti iramasaat mencoba menanganinya. Di seluruh dunia.

Di sinilah para pemimpin kota dan pemimpin negeri diuji. Sepatutnya mereka  mampu dan segera berpikir jernih mencari solusi yang tidak hanya berguna untuk hari ini, tetapi juga baik di kelak kemudian hari. Semoga.

Kompas, 18 Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger