Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 07 Juli 2020

JENDELA: Menghadang Pandemi Virus Baru (NINUK M PAMBUDY)


Pekan lalu berita mengenai flu babi di China berpotensi menjadi pandemi baru menuntut kewaspadaan di tengah masih meruyaknya pandemi Covid-19. Manusia dapat menghindari pandemi berikut dengan hidup selaras alam, menggunakan ilmu pengetahuan, dan disiplin.

REUTERS/TINGSHU WANG

Pekerja menggali saluran air di tempat pembangunan peternakan babi di Distrik Pinggu, Beijing timur, China, Sabtu (30/5/2020). Di tengah pandemi Covid-19 yang belum teratasi, flu babi di China berpotensi menjadi pandemi baru.

Laporan tim peneliti dari China yang diketuai Honglei Sun dalam Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America pada 29 Juni 2020 mengingatkan potensi virus influenza yang dinamai G4 pada babi berpotensi menjadi virus pandemi.

Variasi virus Eurasia mirip virus flu burung (EA) H1N1 yang memiliki campuran gen-gen virus pandemi 2009 dan variasi berganda tiga gen-gen internal, disebut sebagai genotipe 4 (G4), muncul dominan pada populasi babi sejak 2006. Mirip seperti virus yang menyebabkan pandemi pada 2009 dengan 285.000 kematian, virus G4 juga berikatan dengan reseptor penerima sel-sel terluar saluran napas manusia.

G4 terbukti efisien menginfeksi dan dapat menular melalui udara padaferret (Mustela putorius furo). Ferretdiketahui sebagai salah satu inang perantara melompatnya virus yang berasal dari hewan (virus zoonotik) ke manusia. Sun dan kawan-kawan bekerja di 10 provinsi China dengan populasi babi yang padat.‎

Dalam tiga tahun terakhir mereka mengumpulkan 338 contoh darah pekerja di 15 peternakan dan sampel 230 orang dari populasi sekitar peternakan. Pengamatan terhadap pekerja peternakan dan populasi umum memperlihatkan G4 EA H1N1 telah meningkat kemampuannya dalam menginfeksi manusia.

Ringkasnya, para peneliti mengingatkan, virus G4 EA H1N1 punya tanda-tanda esensial tinggi untuk beradaptasi menginfeksi manusia. Virus itu menjadi ancaman serius pada kesehatan manusia. Karena itu, mengontrol keberadaan G4 EA H1N1 pada babi dan memantau para peternak babi dan populasi di sekitarnya harus segera dilakukan.

Penelitian Sun dkk menemukan, sebanyak 10,4 persen pekerja peternakan dan 4,4 persen populasi sekitar positif memiliki antibodi G4 EA H1N1. Pekerja berusia muda, 18-35 tahun, memiliki tingkat positif tertinggi, yaitu 20,5 persen.

FOTO: C. GOLDSMITH - PUBLIC HEALTH IMAGE LIBRARY #11098

Gambar berwarna dari virus 1918 yang diambil oleh mikroskop elektron transmisi (TEM). Virus 1918 menyebabkan pandemi flu paling mematikan dalam sejarah manusia, yang merenggut nyawa sekitar 50 juta orang di seluruh dunia.

Harus waspada

Para pengulas hasil penelitian Sun dkk mengatakan, penemuan tersebut harus menjadikan waspada. Drh Tri Satya Putri Naipospos, PhD, MPhil, Ketua Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS), dalam percakapan dengan Kompas, menyatakan setuju dengan pendapat Ian H Brown, salah satu pengulas penelitian Sun dkk. Brown adalah kepala departemen virologi Animal and Plant Health Agency, Inggris.

Prediksi kapan virus G4 menular ke manusia bukan seperti hitungan dalam ilmu pasti. Virus G4 bukan suatu ancaman langsung pada saat ini, tetapi tetap harus diwaspadai. Virus H1N1 berbeda dari virus korona SARS CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19. Akan tetapi, keduanya sama-sama virus zoonotik yang menular dari hewan dan bersifat patogen (menyebabkan sakit pada manusia).

Namun, tidak selalu hewan yang memiliki virus zoonotik dapat menulari langsung manusia. Biasanya ada hewan perantara. Film dokumenter Coronavirus Explained di platform daring Netflix mengingatkan, kemungkinan pasar hewan menjadi awal penularan Covid-19 di Wuhan, China.‎

Begitu juga muasal penularan H1N1, berasal dari pasar hewan di China. Pasar yang populer di China dan beberapa tempat di dunia—juga di beberapa tempat di Indonesia—berisi bermacam hewan. Kondisi itu memberi peluang bermacam virus pada hewan bertemu, bermutasi, dan melompat ke manusia. Kelelawar yang terus diteliti di China memiliki kesamaan susunan gen 96,3 persen dengan SARS CoV-2, tetapi kelelawar tidak menulari langsung manusia.

Tri Satya Putri menyebut, sebagian besar virus pada kelelawar dan mamalia mengerat (rodensia) tidak bersifat patogen pada manusia. Virus korona selama ribuan tahun sudah menyeberang pembatas spesies secara konstan. Hanya sebagian kecil menyebabkan sakit pada manusia.

Hewan perantara (inang) untuk infeksi SARS CoV-2 kemungkinan adalah trenggiling. Pengetahuan ilmiah mengenai SARS CoV-2 masih terus dibangun mengingat penyakit ini baru diketahui menyerang sistem pernapasan dan menimbulkan kematian pada Desember 2019.

Hidup selaras

Meskipun tidak semua virus zoonotik bersifat patogen pada manusia, perjumpaan manusia dengan hewan dan alam liar seperti mengusik ribuan jenis virus yang belum diketahui oleh pengetahuan manusia.

Beratus tahun manusia sudah mengeksploitasi alam liar dengan, antara lain, menggunduli hutan untuk mengambil kayu atau membuka tambang. Manusia di batas-batas hutan tropis tersebut bertemu dengan hewan liar, sebagian untuk dikonsumsi, mengingat pasokan makanan tidak selalu datang tepat waktu di tempat terpencil.

Walakin, perjumpaan dengan hewan liar bisa terjadi di mana saja. Termasuk di peternakan yang dikembangkan intensif mendekati kawasan populasi kelelawar yang secara alamiah ada di alam.

Perilaku manusia di mana pun membuat manusia berhubungan semakin erat dengan hewan. Peternakan yang semakin intensif menjadi seperti industri di mana ternak dijejalkan rapat demi meningkatkan efisiensi dan keuntungan serta pembukaan hutan tropis memberi peluang virus bertemu dan membentuk variasi baru yang dapat menginfeksi manusia. Seperti halnya virus G4 EA H1N1.

OUR WORLD ON DATA

Perbandingan jumlah kasus Covid-19 di beberapa negara di Asia Tenggara berdasarkan data Our World on Data yang berbasis di University of Oxford, Inggris, Jumat (29/5/2020).

Mutasi dan adaptasi virus pun berjalan bersamaan. Mutasi bisa terjadi pada urutan genomik virus. Dapat terjadi ada gen yang hilang, terselip, atau menggandakan diri. Virus SARS, misalnya, menurut Tri Satya Putri memiliki kesamaan 98 persen dengan virus penyebab Covid-19.

Namun, virus juga punya reseptor. Dalam hal Covid-19, reseptor di permukaannya adalah protein yang tampak seperti paku (sehingga mendapatkan nama korona). Reseptor pada sel manusia adalah angiotensin converting enzyme (ACE2). Penentu suatu virus cocok dengan sel manusia adalah hasil mutasi selain reseptor virus dan manusia harus harus identik.

Dengan populasi manusia terus bertambah yang saat ini mendekati 8 miliar orang, sementara sumber daya alam semakin terbatas, manusia harus semakin bijaksana berhubungan dengan alam.

Kerugian yang ditimbulkan pandemi Covid-19 adalah hilangnya nyawa manusia. Dengan pengetahuan saat ini, di seluruh dunia per Minggu (5/7/2020) sore menurut Worldometer, SARS CoV-2 menyebabkan 533.639 kematian dari 11.388.688 kasus positif.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Wisatawan mancanegara menyusuri kompleks pertokoan Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang banyak tutup karena Covid-19, Rabu (1/4/2020). Pandemi Covid-19 yang disebabkan virus korona baru menghantam ekonomi dunia, termasuk Indonesia.

Secara ekonomi, Dana Moneter Internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2020 akan tumbuh minus (–) 4,9 persen. Jutaan orang kehilangan pekerjaan, jutaan orang kembali menjadi miskin. Ketimpangan kesejahteraan kembali meningkat.

Biaya ekonomi mengatasi dampak pandemi menjadi utang hingga ke anak-cucu. Selain menghapus hasil kerja satu dekade sebelum pandemi, meningkatnya kemiskinan dan ketimpangan juga menimbulkan kerawanan sosial.

Selain menghapus hasil kerja satu dekade sebelum pandemi, meningkatnya kemiskinan dan ketimpangan juga menimbulkan kerawanan sosial.

Sejak tahun 1980-an beberapa ekonom sudah mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi, termasuk di Indonesia, harus menghitung juga eksternalitas berupa rusaknya lingkungan dan habisnya sumber daya alam tidak terbarukan karena pembangunan.

Kini manusia menghadapi tantangan baru. Pandemi yang semakin kerap terjadi—SARS terjadi pada 2003, H1N1 pada 2009, MERS pada 2012—merupakan respons alam ketika kehidupan tidak berjalan seimbang. Apakah manusia dapat cukup cepat menangkal penularan virus melalui vaksin atau obat apabila pandemi berikut muncul?

Pembangunan yang tidak menghitung dampak pada lingkungan telah menyebabkan perubahan iklim. Selain mengakibatkan naiknya suhu muka Bumi dan permukaan air laut, diprediksi kenaikan suhu udara akan melahirkan penyakit-penyakit baru yang membahayakan nyawa manusia.

Hidup seimbang dan selaras dengan alam seyogianya menjadi gaya hidup bersama. Apabila pemerintah menolak membuat kebijakan pembangunan selaras alam, warga dapat mengadvokasi pemerintah.

Kompas, 6 Juli 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger