Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 Agustus 2020

CATATAN URBAN: (R)Evolusi Pusat Belanja (NELI TRIANA)


KOMPAS/NELI TRIANA

Antrean masuk ke Ikea Alam Sutera, Kota Tangerang, Banten, 6 Juli 2020. Mobil-mobil itu antre sejak dari jalan raya sebelum memasuki area toko untuk bisa parkir di lantai basement.

Antrean mobil mengular hingga beberapa puluh meter di tepi jalan raya di kawasan Alam Sutera, Kota Tangerang, Banten, awal Juli lalu. Perlu hampir dua jam untuk menuntaskan antrean yang bergeser pelan, melewati tes suhu oleh petugas, hingga mendapat tempat parkir di areabasement Ikea. Hingga akhir pekan kemarin, antrean panjang serupa masih terlihat di depan pusat perabot rumah tangga dan kantor asal Swedia tersebut.

Sistem yang diterapkan membuat pengunjung antre. Cek suhu, mengisi aplikasi Tangerang Live Aman Bersama, cek penggunaan memakai masker serta cuci tangan, serta imbauan agar konsumen melewatkan waktu secukupnya saja di dalam toko, cukup membuat arus pengunjung terkendali. Di lahan parkir basementataupun di area belanja pun jadi tidak penuh sesak.

Meski tidak seketat di Ikea, protokol kesehatan diterapkan di berbagai pertokoan besar lain. Di kawasan Karawaci, Kabupaten Tangerang, pusat belanja terbesar di sana menerapkan seleksi pengukuran suhu tubuh dan masker. Selain itu, fasilitas kamar kecil secara bergiliran ditutup per dua jam sekali untuk pembersihan total dan disinfeksi. Pada Minggu (2/8/2020), dalam suasana libur panjang Idul Adha dan akhir pekan, kondisi di dalam mal masih terasa lengang.

Pengunjung pusat belanja di Ibu Kota kini rata-rata 40 persen dari kapasitas normal.

Suasana berbeda ditemui di beberapa mal lain di seputaran Jabodetabek. Di pusat-pusat belanja dengan lebih banyak gerai penjaja makanan, jumlah pengunjung cukup banyak di akhir pekan. Hal ini sesuai laporan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja (APBBI) DKI Jakarta yang menyatakan pengunjung pusat belanja di Ibu Kota kini rata-rata 40 persen dari kapasitas normal. Kenaikan terjadi pada umumnya di akhir pekan. Jumlah itu sudah melambung dibandingkan saat awal pembukaan pusat belanja pada medio Juni lalu.

Sesuai ketentuan selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi di DKI, pembukaan setidaknya 80 mal di lima kota di Jakarta disertai aturan tersendiri, salah satunya hanya boleh menampung maksimal 50 persen dari kapasitas pengunjung. Kebijakan serupa diterapkan di mal-mal di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Dari hitungan bisnis, jumlah pengunjung dan protokol ketat yang berlaku belum mendongkrak pendapatan pengelola usaha di tiap mal. Pusat belanja pun secara  kasatmata belum beroperasi senormal masa sebelum pandemi. Fasilitas, seperti bioskop dan tempat bermain bagi anak-anak serta keluarga, sesuai aturan PSBB masa transisi, belum boleh beroperasi. Daya tarik mal bagaimanapun tergerus karenanya.

Selain itu, di antara gerai penyewa yang turut beroperasi kembali seiring dibukanya mal, masih ada sejumlah penyewa di pusat belanja yang menutup rapat tokonya. Usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM yang biasa menyemarakkan area dalam mal dengan barisan padat lapak tidak permanennya dan aneka produk jualannya, kini banyak yang menghilang.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Suasana di pusat perbelanjaan yang terletak di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (8/8/2020).

Bisnis skala kecil sangat terpukul diterjang wabah global ini karena sebagian besar tidak siap dengan sumber daya modal memadai untuk bertahan beberapa hari, apalagi sampai lima bulan tanpa transaksi. Ini berbeda dengan bisnis yang memiliki rantai cabang di berbagai tempat, bermodal besar, dan sokongan kuat dari lembaga finansial, seperti perbankan.

Memang, sebagian pemilik bisnis kecil atau UMKM termasuk kelompok yang mendapat bantuan sosial serta stimulus pemerintah pusat maupun daerah. Sayangnya, dana tersebut dipercaya hanya bisa untuk bertahan hidup, tetapi tak mencukupi untuk menggulirkan roda bisnis mereka.

Lesu sejak lama

Badai masalah yang menghinggapi pusat perbelanjaan modern tahun ini sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum pandemi. Di Jakarta saja, banyak gedung pusat belanja yang bertahun-tahun terabaikan, ditinggal penyewanya. Tengoklah di seputaran Senayan, Jakarta Pusat, ada lebih dari satu gedung pusat belanja didominasi gerai-gerai tutup. Di Jakarta Barat, bahkan ada pusat belanja baru dengan gedung cukup mewah yang masih sepi penyewa hingga kini.

Pusat belanja tidak mati, melainkan tengah berevolusi.

Di luar itu, tak bisa menutup mata bahwa ada mal-mal tertentu yang selalu dipadati pengunjung. Rata-rata mal idola itu berada di lokasi strategis dekat perkantoran atau kompleks perumahan besar, mudah dijangkau dengan berbagai moda kendaraan pribadi maupun transportasi umum, tempat lebih modern, bersih, nyaman, serta ada pengalaman-pengalaman berbeda yang ditawarkan bagi pengunjung selama di sana.

Konsep yang diusung mal nan dipuja publik itu, antara lain mengusung budaya pop Korea Selatan, mulai dari gerai makanan sampai tren berpakaian. Ada juga yang khusus menjajakan kekhasan masakan Jepang dan semua serba-serbinya. Tak ketinggalan pusat belanja khusus kebutuhan rumah tangga yang menjadi tren rujukan baru para keluarga kelas menengah.

Inilah bagian dari perubahan pengelolaan pusat belanja yang menggejala di Indonesia, khususnya Jakarta dan sekitarnya, setidaknya 5-10 tahun terakhir. Gejala perubahan pengelolaan pusat belanja itu dirasakan lebih dulu di banyak negara lain. Ulasan di The New York Timespada 28 Juli 2020 menjelaskan bahwa jauh sebelum virus korona baru tiba di Amerika Serikat, banyak mal terbebani utang, bergumul dengan kekosongan penyewa maupun pengunjung, dan merosotnya nilai aset.

Penulis artikel itu, Joe Gose, memaparkan jumlah mal kini kurang dari 1.000 unit dari 3.000 unit dalam 20 tahun terakhir. Di AS, diperkirakan 200 mal terkuat di lokasi terbaik pun akan ditinggalkan pada akhir dekade ini.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Papan pengumuman penutupan sementara pusat perbelanjaan Mal Aeon BSD City BSD City, Kabupaten Tangerang, Banten, terpasang di salah satu pintu masuk mal, Sabtu (8/8/2020).

Laporan Greg Petro di Forbes pada April 2019 lebih dulu mengabarkan hal serupa. Namun, ia menyatakan, pusat belanja tidak mati, tetapi tengahberevolusi. Petro mengutip hasil riset First Insight berjudul The State of Consumer Spending: In-Store Impulse Shopping Stands the Test of Time yang menemukan bahwa sampai tahun lalu, masih ada 71 persen pembeli di Amerika Serikat memilih menghamburkan uangnya di mal daripada di toko daring.

Pembeli tersebut, khususnya kaum muda dan pekerja kelas menengah yang mendominasi angkatan kerja saat ini, mencari lebih dari sekadar apa yang hanya tersedia di situs jual beli daring.

Fenomena ini ditangkap pengelola pusat belanja dan mereka memanjakan generasi milenial yang amat mementingkan belanja dengan pengalaman berbeda daripada sekedar membeli sesuatu untuk dibawa pulang. Mereka tidak hanya berlabuh didepartment store, tetapi terpikat dengan restoran populer, bar, salon, bioskop, pusat kebugaran, dan lapak UMKM yang menawarkan barang ataupun jasa menarik, unik, serta menerbitkan keinginan untuk turut memilikinya.

Cepat atau lambat konsumen akan kembali siap berbelanja. Publik bakal mengatasi ketakutan awal karena tidak dapat berbelanja selama pandemi.

Melihat semua perubahan perlahan dari pengelolaan mal ini, Petro mengingat kembali awal muncul dan berkembangnya pusat belanja di perkotaan. Pertumbuhan mal mengikuti migrasi penduduk ke luar kota menuju pinggiran kota, seiring dengan pertumbuhan kepemilikan dan penggunaan mobil. Mal disebut diciptakan sebagai ruang komunitas untuk penduduk pinggiran kota yang tersebar di paruh kedua abad kedua puluh. Sejak itu, mal juga terus berubah ditempa berbagai macam tekanan.

Menjamurnya mal di Jakarta dan kota-kota tetangga Ibu Kota dalam beberapa dekade terakhir tak berbeda dengan fenomena di Amerika Serikat 40-50 tahun silam.

Manfaatkan data

Proses evolusi belum sepenuhnya usai, tetapi kini mereka dituntut berubah lebih cepat alias ber-revolusi agar mampu menunggangi gelombang wabah dan mengukuhkan cengkeramannya yang kuat. Para pengelola pusat belanja juga dipaksa merekonstruksi kembali konsep mal di tengah ancaman wabah yang kemungkinan tidak berhenti di Covid-19 saja.

Masih dari Forbes, Petro dalam artikel terkininya pada Juli dan awal Agustus lalu, menegaskan cepat atau lambat konsumen akan kembali siap untuk berbelanja. Publik bakal mengatasi ketakutan awal karena tidak dapat berbelanja selama pandemi.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Salah satu restoran yang belum buka di pusat perbelanjaan di kawasan Bintaro, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (21/7/2020).

Agar semua berjalan baik dan mal bisa menjawab kebutuhan pelanggannya, sudah saatnya pengelola mal dan pengecer memanfaatkan data, memanfaatkan suara pelanggan, dan menggunakan info tersebut untuk mencari tahu strategi pengelolaan usaha yang dapat menghasilkan penjualan terbesar. Tentu dengan syarat kesehatan publik tetap terjamin.

"Ini bukan tentang menjaga pelanggan lagi. Namun, memanfaatkan data pelanggan yang selama bertahun-tahun telah dimiliki pengelola mal dan pengecer untuk memberikan apa kebutuhan pelanggan secara tepat direal time," tulis Petro.‎

Merangkum dari pendapat narasumber ahli yang ditulis Gose, mal di era pandemi dan setelahnya nanti masih akan berhadapan dengan kebutuhan warga perkotaan yang membutuhkan tempat bersosialisasi, mendapat pengalaman menyenangkan, sekaligus memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Untuk itu, pusat-pusat perbelanjaan lokal atau dalam arti dekat dengan permukiman diyakini berpotensi bertahan dan berkembang. Pusat perbelanjaan di tengah kompleks bangunan multifungsi, yaitu campuran perkantoran, hunian, dan berbagai fasilitas publik lain, turut disebut bakal lebih punya kelentingan menghadapi situasi sekarang.

Ada kemungkinan luasan pusat-pusat perbelanjaan menyusut hingga setengahnya atau lebih karena ada potensi pengurangan ruang akibat menghilangnya pengecer yang terseleksi secara alami di tengah krisis kali ini.

Dari analisis data seperti kata Petro juga Gose, mal-mal bisa dihadapkan pada pilihan menjadi supermewah dan melayani kalangan terbatas yang berdompet tebal. Atau menjadi mal "publik" dengan menggandeng penyewa besar (anchor tenant) yang lebih ramah kepada konsumen semua kalangan, terutama kelas menengah dan di bawahnya. UMKM tetap berdaya tarik untuk digandeng mal di era baru karena produk barang dan jasanya yang beragam pasti turut memasok permintaan konsumen.

Dari olahan data yang sama, beberapa pemilik dan pengelola mal akan dipaksa mengakui lokasi mereka tidak lagi sesuai dengan dunia ritel era kini. Ini menghasilkan peluang untuk memulai pengembangan industri, perumahan, kantor, atau mewujudkan fasilitas publik baru yang sesuai tuntutan perubahan jaman.

Di sini, ada peran penting pemerintah kota untuk cepat turun tangan memanfaatkan celah menggandeng pihak swasta, yaitu pemilik gedung dan lahan, serta pengelola mal. Sebagai pemegang dan pelaksana regulasi, pemerintah kota berfungsi sebagai dirijen penata ruang urban demi terwujudnya kesehatan serta kesejahteraan publik secara merata.

Mal-mal kini terasa tak sama lagi. Di masa yang akan datang mungkin sebagian mal akan ada berubah 180 derajat dari yang sekarang kita kenal. Di tangan yang tepat, perubahan itu akan menjadi penggerak ekonomi besar dan berarti bagi masyarakat. Semoga.

Kompas, 15 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger