Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 06 Agustus 2020

RESENSI BUKU Memediakan Kemiskinan (YOSAL IRIANTARA)


Judul Buku: Jurnalisme Kemiskinan Representasi Kemiskinan di Media Lokal

Penulis: Idi Subandy Ibrahim

Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2020

Cetakan: I, 2020

Tebal: xxvii + 348 halaman (termasuk indeks)

ISBN: 978-623-241-071-8

Akibat pandemi Covid-19, jumlah orang miskin bertambah. Begitu yang dikabarkan media massa di Indonesia. Orang miskin baru menambah jumlah orang miskin yang sudah ada sebelumnya. Kemiskinan pun digambarkan media sebagai dampak serius dari merebaknya pandemi ini. Di Indonesia, seperti dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, ada peningkatan jumlah orang miskin berkisar 1,1 juta-3,78 juta orang (Kompas.com, 14/4/2020).

Penggambaran kemiskinan di media mungkin bukan penggambaran yang seksi, yang menarik perhatian banyak orang. Apalagi, sering kali media menyajikan gambaran kemiskinan itu bukan dari perspektif orang miskinnya sendiri, melainkan sering dari mereka yang justru tidak pernah merasakan kemiskinan itu seperti itu. Penggambaran kemiskinan di media bisa kalah menarik oleh berita kemewahan hidup para selebritas kita dengan gaya hidup mewahnya.

Media bisa saja menyajikan informasi kemiskinan, tetapi tanpa mendorong orang bertindak untuk turut membantu mengatasi kemiskinan sesuai dengan kemampuannya. Kemiskinan hanya dipandang sebagai fakta di media saja, bukan fakta sosial dan masalah bersama. Bahkan bisa saja, soal kemiskinan ini hanya menjadi sekadar data statistik yang dingin dan menjadi sederetan angka.

Kemiskinan hanya dipandang sebagai fakta di media saja, bukan fakta sosial dan masalah bersama.

Kemiskinan sering muncul bukan sebagai persoalan manusia dan persoalan kita bersama, tetapi lebih muncul sebagai bagian dari kontestasi politik, saat para kandidat mewacanakan soal kemiskinan. Apabila petahana, dia akan berbicara tentang keberhasilan mengatasi kemiskinan dan apabila penantang akan berbicara mengenai kegagalan menangani kemiskinan. Media pun kemudian terjebak hanya merefleksikan pernyataan-pernyataan dalam kontestasi politik itu.

Buku ini menguraikan soal media memandang dan menyajikan kemiskinan. Di tengah kecenderungan media untuk menyajikan informasi dari dan tentang kelompok elite—politik, ekonomi, sosial, dan budaya—ini, tersediakah ruang bagi kaum miskin di media? Suara yang ditampung di ruang media yang memungkinkan kaum miskin itu terdengar dan dipandang sebagai bagian dari masyarakat kita dengan segala hak dan kewajibannya. Bukan sekadar kaum yang diatasnamakan untuk kepentingan kaum-kaum lain, khususnya kaum elite.

Namun, bagaimana suara itu disajikan media menjadi bergantung pada bagaimana model pemberitaan yang dibuat media dan kondisi politik. Tentu masih ingat bagaimana orang yang kelaparan di sebuah kabupaten di Jawa Barat pada tahun 1980-an dibahasakan sebagai "rawan pangan". Peristiwa itu menjadi sangat memilukan karena kabupaten tersebut dikenal sebagai salah satu lumbung beras nasional.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Hunian warga di bantaran Sungai Ciliwung di Bidara Cina, Jatinegara, Jakarat Timur, Senin (20/7/2020). Masyarakat yang bekerja di sektor informal rentan miskin dan terperosok ke jurang ketimpangan yang semakin dalam. Pandemi Covid-19 yang memicu perubahan perilaku dan kegiatan ekonomi menambah jumlah orang miskin.

Tentu ungkapan rawan pangan itu digunakan bukan untuk kepentingan orang miskinnya, melainkan demi melindungi orang yang bertanggung jawab atas terjadinya rawan pangan itu. Media pun ikut membahasakan kemiskinan itu sebagai rawan pangan atau rawan daya beli.

Paradigma pemberitaan media dikemukakan penulis buku ini sejalan dengan kondisi politik zamannya. Pada masa Orde Baru—dengan merujuk pada Taufik Abdullah—digunakan paradigma konsensus dan eufemisme. Media memopulerkan ungkapan eufemistis, seperti penyesuaian harga untuk kenaikan harga (hlm 156). Sementara pada masa Reformasi, paradigmanya adalah komersialisme dan pragmatisme.

Perubahan paradigma tersebut tentu saja mengubah cara media melaporkan kemiskinan. Disebutkan dalam buku ini ada tiga cara memosisikan isu-isu kemiskinan dan orang miskin, yaitu (a) "emosionalisasi" berita kemiskinan  untuk melukiskan derita orang miskin sekaligus membangkitkan empati pembaca, (b) "infotainmenisasi" berita kemiskinan untuk mengikuti logika pasar dan hiburan serta gaya hidup tertentu, dan (c) "komodifikasi" yang berita kemiskinannya disajikan bersama dengan kehadiran pejabat resmi di lokasi kemiskinan (hlm 298).

Perubahan paradigma tersebut tentu saja mengubah cara media melaporkan kemiskinan.

Istilah "miskin" atau "kemiskinan" pun kemudian menjadi sangat bersifat ideologis. Bukan lagi istilah yang digunakan untuk sekadar membahasakan kenyataan. Namun, itu lebih merupakan istilah yang muatan ideologisnya lebih besar ketimbang muatan faktual mengenai realitas miskin dan kemiskinan. Atau soal kepentingan yang diletakkan pada isu kemiskinan dan orang miskin.

Bukan hanya soal membahasakannya, media juga rupanya memilih untuk lebih mengungkapkan kemiskinan dalam pandangan pakar ketimbang realitas kemiskinannya sendiri.

Kepentingan yang dimaksud dalam representasi berita kemiskinan itu dikategorikan penulis buku ini ke dalam tiga kategori representasi, yaitu dominan-elitis, populis-egaliter, dan komersial. Dalam representasi dominan-elitis, orientasi berita ke atas sehingga beritanya mengandalkan sumber resmi dan meneguhkan pandangan dominan dengan sudut pandang homogen terhadap kemiskinan.

Sementara representasi populis-egaliter yang berorientasi ke bawah memberi ruang representasi bagi suara orang miskin. Adapun representasi komersial yang berorientasi ke atas memberi ruang representasi utama bagi kelompok kepentingan bisnis sehingga berkembang representasi dari luar. Orang miskinnya sendiri dilihat sebagai konsumen atau obyek pasar dalam komodifikasi berita dana isu kemiskinan (hlm 300).

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Tunawisma terlelap di samping gerobaknya di depan kios yang tutup di Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Minggu (28/6/2020). Pandemi Covid-19 telah menyebabkan kondisi ekonomi memburuk dan berpotensi menambah angka kemiskinan.

Soal representasi berita kemiskinan ini kemudian dikategorikan menjadi tiga model representasi berita, yang merupakan bagian yang agak mengganggu dari buku ini, meski gangguan itu lebih bersifat teknis. Dalam paparan tentang representasi berita kemiskinan itu, yang pertama disebut adalah representasi dominan-elitis, dilanjutkan dengan populis-egaliter, dan terakhir representasi komersial.

Namun, dalam tabel model representasi (hlm 301), kolom pertama representasi berita kemiskinan itu adalah egaliter-populis, lalu dominan-elitis, dan terakhir komersial. Kesannya, soal urutan penyebutan itu seperti tidak sejalan antara paparan dan tabel.

Namun, secara keseluruhan isi buku ini cukup menarik. Analisisnya cukup tajam dan membuka cakrawala pandangan pembacanya soal bagaimana media menyajikan informasi di tengah kita. Meski kasusnya soal isu kemiskinan, uraian dalam buku ini bisa membuka cakrawala kita untuk melihat aspek lain dalam kehidupan kita yang disajikan media.

Meski kasusnya soal isu kemiskinan, uraian dalam buku ini bisa membuka cakrawala kita untuk melihat aspek lain dalam kehidupan kita yang disajikan media.

Nilai lebih pada buku ini cukup enak diterima. Meskipun buku ini ditulis berdasarkan dissasi yang dibuat penulis buku, tidak ada "rasa dissasi" yang kering dan dingin, sebagai rasa umum karya tulis berbentuk dissasi. Uraiannya cukup enak disajikan, seperti karya ilmiah populer.

(Yosal Iriantara; Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Nusantara, Bandung)


Kompas, 2 Agustus 2020




Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger