Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 14 September 2020

CATATAN URBAN‎: Melanjutkan Warisan Pak Bianpoen dan Pak Jakob (NELI TRIANA)


ARSIP KOMPAS

Sosok Bianpoen yang dipotret oleh fotograferKompas, Lasti Kurnia, tahun 2007.

Tepat pada 1 September lalu, Bianpoen berpulang. Ia seorang arsitek sekaligus ahli perkotaan dan pengajar di sejumlah kampus ternama negeri ini. Namun, ia lebih lekat di ingatan karena kritik pedasnya terhadap kebijakan pemerintah dalam mengelola kawasan urban, khususnya Jakarta dan sekitarnya. Arsitek yang mendalami ekonomi dan ilmu lingkungan ini termasuk pionir dalam meletakkan landasan penataan perkotaan di Indonesia yang berbasis pada kebutuhan riil segenap warganya.

Pembangunan DKI Jakarta, menurut laki-laki kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, pada 21 Februari 1930, tersebut dalam berbagai esai ataupun buku kumpulan pemikirannya menafikan keberadaan manusia-manusia penghuni sekaligus "nyawa" dari kota itu sendiri dan daya dukung lingkungannya.

Akibatnya, isu-isu perkotaan, seperti banjir, kemacetan, kemiskinan, dan kriminalitas, hingga kini masih membelit Ibu Kota. Ia mempertanyakan sejauh mana kota seperti Jakarta bisa menjadi kota berkelanjutan jika tak segera sadar dan merangkul warganya yang beragam sebagai manusia-manusia yang berharga dan dihargai.

Buah pikiran itu, antara lain, tertuang dalam artikel "Berkelanjutan" yang dimuat di Jurnal Ilmiah Arsitektur Universitas Pelita Harapan (2004). Bianpoen menegaskan bahwa keberlanjutan kota berarti keberlanjutan masyarakat kota yang sangat heterogen dan dapat berubah-ubah. Kota disebut berkelanjutan jika masyarakatnya berkelanjutan secara seimbang dan dinamis dalam lingkungan hidup kota yang tetap berada dalam batas-batas daya dukung, daya tampung, dan daya dukung sosialnya.

Dalam buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia disebutkan bahwa sebagai arsitek lulusan University of Technology, Hannover, Jerman, Bianpoen justru melanjutkan meraih gelar doktor ilmu ekonomi di Erasmus Universiteit, Rotterdam, Belanda.

Baca juga : Normal Baru dan Amnesia Lingkungan

Dengan ilmunya, dalam keseharian ia justru amat memperhatikan pentingnya keseimbangan lingkungan. Prinsip ini yang selalu ia bawa saat bekerja berkecimpung dalam penataan perkotaan Ibu Kota sejak tahun 1963. Ia tidak sreg dengan perkembangan tata kota yang menonjolkan aspek ekonomi dan sering berseberangan dengan para pembuat kebijakan di Jakarta kala itu.

Bianpoen dalam "Berkelanjutan" menyatakan, ketika wilayah kota yang lingkungan alamnya diganti dengan lingkungan buatan, jelas tidak banyak memiliki sumber daya alam. Akan tetapi, bukan berarti semua sumber daya alam di perkotaan itu lantas punah.

Jakarta saja sampai saat ini masih dilintasi 13 sungai besar. Ada pula lahan basah, situ, rawa-rawa, hutan bakau, yang meskipun semakin terkoyak dan tergerus, setidaknya sampai saat ini sisanya masih ada. Semua itu selalu bisa dikelola secara berkelanjutan atau dihancurkan satu per satu.

ARSIP KOMPAS

Biodata Bianpoen

Sebuah kota, sebagai buatan manusia, memiliki banyak lembaga, formal dan tidak formal, pada semua tingkatan organisasi kota, dari gubernur sampai dengan pedagang kaki lima. Lembaga-lembaga itu mengatur kehidupan sehari-hari dan merupakan suatu sistem yang sangat rumit.

Sistem tersebut terdiri atas banyak subsistem yang saling berinteraksi secara negatif ataupun positif. Antarsubsistem berinteraksi dan ada pula interaksi dengan subsistem luar, seperti subsistem daya dukung dan daya tampung kota.

"Berfungsinya sebuah kota tergantung baik atau tidaknya subsistem-subsistem itu berfungsi. Indikasi bahwa daya dukung sosial kota berfungsi tidak baik adalah adanya kesenjangan, konflik horizontal, kejahatan, ketidakadilan, tidak adanya kesetaraan jender, dan sebagainya. Semua indikasi itu ada di Jakarta. Dengan melihat daya dukung sosial kota, kita tahu Jakarta sekarang berada dalam proses yang tidak berkelanjutan," kata Bianpoen.

Melihat kondisi perkotaan di Indonesia yang tak jauh berbeda dengan Jakarta, Bianpoen melanjutkan dengan pertanyaan menggugat, "Sementara pendapatan negara, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, lingkungan hidup kota menurun lebih cepat lagi. Ada sesuatu yang sangat salah. Apa?"

Pertanyaan yang tak pernah lelah diajukan Direktur Pusat Penelitian dan Pengembangan Masalah Perkotaan dan Lingkungan (sekarang Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah) DKI Jakarta periode 1979-1986 ini dikukuhkan dalam bukuBianpoen: Untuk Apa Untuk Siapa yang terbit pada 2011.

Baca juga : Imajinasi dan Daya Kreasi untuk Menerabas Barikade Korona

Dia menyarankan, demi menemukan akar masalah dan solusi atas isu perkotaan, diperlukan dialog intensif antara semua lapisan masyarakat dan pemerintah. Dialog itu didorong digelar dalam konteks kehidupan warga urban, termasuk di bantaran sungai hingga di pinggir rel kereta api, tidak di kantor pemerintah.

Kekritisan dan keberpihakan yang tegas pada prinsip bahwa kota ada untuk segenap warganya itu juga yang diyakini melatari keputusannya hengkang dari pengabdian di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 1986. "Saya hendak memberikan disertasi kepada gubernur waktu itu. Tapi, dia malah bertanya, untuk apa penelitian lingkungan? Hah, saya keluar saja!" kata Bianpoen (Kompas, 11 Februari 2007).

Arsip data grafis tutupan lahan Jabodetabek.

Mengakhiri pengabdian di DKI yang digeluti selama lebih dari 20 tahun tidak membuat Bianpoen meredup. Ia lantas mengabdikan sebagian besar waktunya untuk mengajar. Ia pernah mengajar arsitektur setidaknya di Institut Teknologi Bandung, Universitas Tarumanagara Jakarta, Universitas Merdeka di Malang, dan Universitas Indonesia. Hingga hari tuanya, ia masih aktif mengajar di Program Studi Ilmu Lingkungan dan Antropologi Pascasarjana UI serta di Jurusan Arsitektur Universitas Pelita Harapan di Karawaci, Tangerang, Banten.

Satu hal yang selalu dilakukan Bianpoen untuk ditularkan kepada publik adalah pemikiran bahwa untuk mengubah kondisi yang buruk perlu diawali dari perubahan baik dari dalam diri sendiri.

Dari sudut pandang sebagai arsitek juga penata kota, khususnya, ia menyatakan, "Kita tidak dapat menunggu sampai kurikulum pendidikan arsitek berubah. Kita tidak dapat menunggu sampai oknum-oknum pemerintah berubah. Tapi dalam waktu singkat kita sendiri dapat mengubah nilai-nilai yang kita pakai sekarang, pada saat merancang dan sesudahnya, yaitu kekuasaan diubah menjadi keadilankekayaan diubah menjadi kedamaiandankebanggaan diubah menjadi kerendahan hati."

Welas asih

Tak lama setelah kepergian Bianpoen, Jakob Oetama menyusul menghadap Ilahi. Tokoh pers nasional yang juga pendiri harian Kompas bersama PK Ojong ini mengembuskan napas terakhir pada 9 September lalu.

Bianpoen dan Jakob adalah dua pribadi yang berbeda serta menempuh lakon hidup yang berbeda pula. Minat dan upaya tak henti untuk memanusiakan manusia membuat keduanya memiliki persamaan sikap yang, setidaknya bagi saya pribadi dan banyak orang, terasa amat pantas diteladani.

Lahir di Magelang pada 27 September 1931, Jakob merintis karier sebagai guru, lalu menjadi wartawan. Wartawan menjadi profesi yang selalu ia sandang meskipun Jakob juga berkembang menjadi pengusaha. Kompas Gramedia di bawah kepemimpinan Pak Jakob atau Pak JO, panggilan akrabnya, memiliki sekitar 22.000 karyawan yang tersebar di banyak anak perusahaan. Jakob merupakan anggota MPR pada 1973 serta menerima penghargaan Bintang Mahaputra Kelas III (Bintang Utama) dari Pemerintah RI.

KOMPAS/DJ PAMOEDJI

Pemimpin Redaksi Kompas Jakob Oetama (baju putih) dalam kesempatan HUT Kompas di halaman Percetakan Gramedia, Palmerah Selatan 26-28 Jakarta, pada 29 Juni 1974.

Baca juga : Humanisme Transedental, Warisan Pemikiran Jakob Oetama

Di luar pencapaian kariernya, buah pemikiran Jakob-lah yang membuatnya berjasa, termasuk menjadi pemberi arah bagi media ini sehingga mampu berkembang menjadi yang terbesar serta berpengaruh di Indonesia sepanjang 55 tahun terakhir. Bagi Jakob, manusia bukanlah obyek, melainkan subyek dan media massa menjadi corong suaranya (Kompas.id, 10 September 2020). Jakob dikenal dengan konsep humanisme transendental yang  ia anut dan tanamkan dalam jurnalisme Kompas.

Ada setidaknya delapan buku karya Jakob dan empat buku lain tentang dirinya yang ditulis oleh penulis lain. Bisa dikatakan konsep humanisme transendental tersebut ada di tiap karya tersebut dan menjadi warisan abadi yang bisa dipelajari kembali kapan pun dibutuhkan. Secara umum, humanisme transendental merupakan sikap melihat manusia sebagai sesama yang bermartabat.

Membumikan konsepnya tersebut dalam mengembangkan harianKompas dan Grup Kompas Gramedia secara umum, Jakob disebut serasi mengintegrasikan kepentingan perusahaan dan karyawannya. Cara mudahnya, ketika kesejahteraan karyawan tercukupi, karyawan otomatis tergerak untuk makin produktif, profesional, dan tujuan perusahaan akan tercapai.

Menerapkan konsep pemikiran itu dalam produk jurnalisme ala Kompasberarti cara meliput dan menulis serta menyajikan laporan bukan didasari rasa suka atau tidak suka, apalagi prasangka, kepentingan pribadi atau partisan. Wartawan harus serius, berakal sehat, jujur, berkomitmen, profesional, independen, juga peka dalam menggali penyebab dan makna suatu fakta.

Wartawan harus adil sejak dari dalam pikirannya dan terus tertuang dalam karya jurnalistiknya. Wartawan tidak seharusnya menyerang pribadi seseorang, tetapi bisa menjabarkan duduk masalah suatu persoalan untuk kemudian mendorong ada solusi yang konstruktif. Karena solusi yang konstruktiflah yang bisa menolong manusia, masyarakat, juga negara dari ancaman keterpurukan.

Jakob Oetama dan Kelompok Kompas Gramedia.

Wartawan senior Kompas, Budiman Tanuredjo, dalam wawancara dengan Kompas TV pada 9 September mengatakan, konsep pemikiran Jakob dituangkan dalam arahan bahwa seorang wartawan harus meliput dari sisi manusianya. Wartawan hadir di lokasi, menjaring berbagai perspektif agar tahu pasti apa yang terjadi dan mampu membuat laporan yang komprehensif.

Tidak heran jika sejak dulu liputanKompas identik dengan bepergian ke pelosok negeri. Ketika ada bencana, misalnya, wartawan ada di lokasi bencana itu. Wartawan juga tak sekadar mencatat pernyataan pejabat, tetapi ada bersama rakyat kecil, pedagang kaki lima sampai pemulung. Namun, tak sebatas fakta lapangan, penyajian analisis data dan pendapat narasumber-narasumber ahli memperkaya perspektif dan melengkapi penyajian produk jurnalisme.

Rasa welas asih dan penghargaan pada sesama begitu terasa dalam banyak momen yang dilakukan dan dimotori langsung oleh Jakob. Di hari ia berpulang, begitu banyak orang dari berbagai penjuru negeri berbagi kenangan.

Pernyataan menyentuh salah satunya diunggah di Twitter oleh Sumarsih, ibu dari Norman Irmawan alias Wawan, mahasiswa yang turut menjadi korban meninggal saat demonstrasi memperjuangkan reformasi yang kemudian dikenang sebagai Tragedi Semanggi I. "Turut berdukacita, RIP. Beliau pernah mengundang ortu korban Semanggi I-13 November'98 di kompleks kantor @hariankompas u/mengucapkan terima kasih atas pengorbanan para mahasiswa yg gugur dalam memperjuangkan reformasi & demokrasi".

Baca juga : Kepedulian Jakob Oetama untuk yang Papa

Tangkapan layar akun Twitter Sumarsih.

Jika saja kerendahhatian ini menghinggapi semua orang, termasuk para pemimpin negeri, rasanya banyak persoalan bisa segera menemukan jalan keluar yang memuaskan publik.

Kini, Pak Jakob juga Pak Bianpoen, orang-orang biasa yang luar biasa itu, tak lagi ada bersama kita. Namun, pemikiran dan sikapnya yang memuliakan sesama manusia agar menjadi manusia seutuhnya yang bermartabat tak boleh terputus. Kalau bukan kita, yang masih dikaruniai hidup ini, yang menghidupkan warisan baik itu, lantas siapa lagi?


Kompas, 12 September 2020 



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger