Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 03 September 2020

TAJUK RENCANA: Lindungi Diri dan Sekitar (Redaksi Kompas)


KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural bertema Covid-19 di Jalan Sultan Iskandar Muda, Jakarta Selatan, Sabtu (29/8/2020).

Jangan sampai ada waktu yang terbuang dalam memerangi Covid-19. Tidak ada seorang pun yang aman sampai semua orang benar-benar aman.

Pesan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) itu singkat, tetapi penuh makna, dan perlu kita semua camkan untuk menjawab tantangan kerja ke depan dalam menghadapi dan mengakhiri pandemi Covid-19 yang sudah genap enam bulan mendera bangsa ini. Faktor kecepatan serta peran semua pihak, baik individu maupun kolektif, sungguh vital. Tanpa itu, kita tidak akan bisa mengakhiri pandemi ini.

Faktor kecepatan dalam penanganan Covid-19 sangat menentukan. Mengingat, Covid-19 pun menyebar dengan luar biasa cepat di dunia. Apabila pada 17 November 2019, hanya seorang warga di Provinsi Hubei, China, yang terdeteksi terinfeksi virus SARS-CoV-2, dalam tempo sembilan bulan telah menyebar di 213 negara dan menginfeksi 25.665.011 orang (worldometers.info per 1 September 2020). Selama langkah penanganan tidak lebih cepat dengan kecepatan penyebaran virus, kita tidak akan mampu mengakhirinya.

Negara berpenduduk besar menjadi medan pertempuran sengit dalam peperangan melawan Covid-19. Indonesia yang berpenduduk keempat besar dunia, sekitar 274 juta orang, tentu tidak mudah. Sejak kasus positif pertama terkonfirmasi di Depok, Jawa Barat, pada 2 Maret 2020, kini telah menginfeksi 177.571 warga. Hari ini, Rabu (2/9/2020), genap enam bulan mendera Ibu Pertiwi.

KOMPAS/VINA OKTAVIA

Wajah seorang anak dirias ibunya sebelum tampil di acara pentas seni bertajuk "Titik Temu" di Bandar Lampung, Sabtu (29/8/2020). Meski diliputi kekhawatiran atas pandemi Covid-19, anak-anak ini tetap semangat menari untuk mengobati rindu tampil di atas pentas.

Hingga kini, pandemi belum mampu dikendalikan. Jumlah kasus positif baru per hari terus meningkat tajam. Sejak Juni, tembus angka 1.000 kasus baru per hari. Pada Juli, tertinggi mencapai 2.657 kasus per hari, dan di Agustus meningkat lagi. Jumlah kasus baru per hari pernah mencapai 3.308. Jumlah kasus kematian per hari pun terus meningkat. Juni, tertinggi tercatat 64 kasus kematian per hari, Juli tertinggi 139 kasus, dan September tertinggi 120 kasus.

Perlu kita syukuri, persentasenya mengecil karena semakin hari angka kesembuhan pun sudah meningkat. Apabila pada Juni, kasus sembuh per hari tertinggi tercatat 1.027, bulan Juli 2.366 kasus sembuh per hari, di Agustus tertinggi di angka 3.560.

Amerika Serikat (AS), negara dengan penduduk ketiga terbesar di dunia, 331 juta penduduk, sejak ditemukan kasus pertama pada 20 Januari 2020, kini menginfeksi 6,212.174 warga. Berbeda dengan Indonesia, jumlah kasus baru per hari melandai, meski angkanya masih tinggi, yaitu 38.560 per hari. Tren serupa terjadi pada kasus kematian per hari, yaitu 512.

India, negara berpenduduk kedua terbesar di dunia, 1,38 miliar jiwa pun memiliki tantangan besar. Sejak kasus pertama ditemukan pada seorang mahasiswa kedokteran pada 30 Januari 2020, kini, total kasus tercatat 3.468.272. Kasus baru masih terus bermunculan. Pada Agustus, kasus baru per hari pernah mencapai angka 79.457 kasus per hari. Angka kematian pun terus meningkat. Pada Agustus pernah 1.066 orang meninggal per hari.

AFP/DIBYANGSHU SARKAR

Petugas kesehatan melakukan uji usap Covid-19 kepada warga perumahan di Kolkata, India, Minggu (23/8/2020).

Sementara itu, China yang berpenduduk terbesar di dunia, 1,43 miliar jiwa, kini sudah mampu mengendalikan Covid-19. Total kasus Covid berhenti di angka 85.058. Sejak Mei 2020, tidak ditemukan kasus baru. Kasus aktif yang masih ditangani tinggal 244 kasus. Dari apa yang terjadi pada empat negara dengan penduduk terbesar di dunia ini, paling tidak kita bisa melihat, pandemi Covid-19, meski penularan sangat cepat dan dampaknya luar biasa, sesungguhnya dapat dikendalikan dengan tata kelola yang tepat.

Konvergensi bangun kesehatan

Bagaimana Indonesia menangani Covid-19, saatnya untuk dievaluasi dan diakselerasi. Presiden Joko Widodo sering menganalogikan strategi penanganan Covid-19 sebagai strategi rem dan gas. Pemerintah mengambil langkah penanganan krisis kesehatan dan krisis ekonomi sebagai dua hal yang berjalan seiring. Kendati beberapa kali ditegaskan bahwa faktor kesehatan yang lebih diutamakan, dalam praktiknya, prioritas penanganan ekonomi terlihat lebih dominan yang tecermin dari anggaran yang dialokasikan.

Kekhawatiran krisis ekonomi yang pernah terjadi di bangsa ini dan berimbas pada krisis politik seakan masih membayangi dan bahkan menghantui. Jurus-jurus lama mengatasi krisis ekonomi pun kembali diambil. Padahal, krisis ekonomi kali ini disebabkan oleh krisis kesehatan, bukan disebabkan krisis keuangan seperti yang sebelumnya pernah terjadi.

Apabila belajar dari yang terjadi di China dan sejumlah negara yang sukses menangani pandemi, yang diperlukan adalah menggerakkan semua sektor kekuatan nasional, baik ekonomi, politik, budaya, maupun kekuatan masyarakat, untuk mengatasi krisis kesehatan. Dr Bruce Aylward, pemimpin tim Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang pernah mengunjungi China selama dua pekan, melihat bagaimana segenap kekuatan nasional China bergerak.

AFP/JUNG YEON-JE

Menggunakan alat pelindung diri, para petugas menyemprotkan disinfektan di dalam sebuah gerbong kereta api untuk mencegah penyebaran Covid-19 di depo kereta Seoul Metro Gunja, Korea Selatan, Rabu (11/3/2020).

Sejumlah negara, sebut saja Korea Selatan dan Vietnam, terus membangun solidaritas bangsanya mengatasi pandemi. Semua aktivitas ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan sosial, seharusnya diarahkan untuk memerangi pandemi Covid-19. Terlebih, faktor perubahan perilaku warga merupakan variabel penting dalam memutus mata rantai penularan Covid-19.

Penanganan krisis kesehatan harus berada di depan dan diperkuat. Program Accelerator yang diluncurkan WHO mendorong percepatan pada empat pilar, yaitu diagnostik, pengobatan, vaksin, dan penguatan sistem kesehatan yang terintegrasi. Kekuatannya perlu terus dilipatgandakan untuk mengatasi ketertinggalan, terutama dalam hal pengetesan.

Terlepas dari itu semua, optimisme warga perlu terus dibangun, dengan tanpa meremehkan risiko kegawatan. John Hudson dalam bukunya How to Survive a Pandemic: Life Lessons for Coping with Covid-19 menegaskan pentingnya meningkatkan kemampuan semua orang untuk menolerasi kesulitan dan meningkatkan ketekunan untuk melakukan adaptasi. Menurut dia, ini adalah keahlian terpenting untuk bertahan hidup dan mengembangkan hidup di era pandemi.

Charles Darwin, penemu teori evolusi, pun menegaskan, spesies yang bisa bertahan itu bukan yang terkuat, juga bukan yang paling cerdas, tetapi yang paling mudah beradaptasi dengan perubahan. Dalam sejarah panjang umat manusia (dan jenis hewan) mereka yang belajar untuk berkolaborasi dan berimprovisasi paling efektiflah yang menang

Kompas, 2 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger