Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 01 Oktober 2020

REFLEKSI SEJARAH: Bila Bangsa Melupakan Sejarah (RAVIK KARSIDI)


IPPHOS

Bung Karno membaca naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Rencana penghapusan atau pengalihan mata pelajaran sejarah dari wajib menjadi pilihan di SMA/SMK menuai reaksi berbagai pihak. Reaksi keras datang dari Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, Masyarakat Sejarawan Indonesia, dan Perkumpulan Prodi Sejarah Se-Indonesia.

Walaupun Mendikbud Nadiem Anwar Makarim telah meluruskan, masih tersisa pertanyaan. Tahukah, apa dampak bangsa yang melupakan sejarah?

Pasti akan kehilangan identitas jati diri dan memori masa lalu. Melupakan memori kolektif masa lalu mempersulit usaha mendesain masa depan.

Memori kolektif dengan berbagai kisah generasi masa lalu yang berisi kegigihan, kerja keras, dan daya juang sangat penting membangun semangat generasi masa kini. Termasuk pula memori kolektif masa kelam agar tidak berulang.

Indikasi kehilangan memori kolektif masa lalu tampak dalam rancangan sosialisasi kurikulum pendidikan menengah atas yang digagas salah satu unit di Kemendikbud.

Melupakan memori kolektif masa lalu mempersulit usaha mendesain masa depan.

Berpikir plurikausal

Orang tak akan belajar sejarah kalau tak ada gunanya. Kenyataan bahwa sejarah terus ditulis dalam setiap peradaban sepanjang zaman menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu, seperti kata Kuntowijoyo (1993).

Sejarah memiliki dua guna: intrinsik dan ekstrinsik. Pertama, sejarah sebagai ilmu. Kedua sebagai pendidikan moral. Sejarah mengajarkan kejujuran melihat peristiwa masa lalu. Karena itulah, sejarah tak boleh bersikap hitam putih. Sejarah bukan "fakta yang dibuat" seperti sandiwara.

Dalam hal inilah, sejarah berfungsi mengajarkan pentingnya memiliki integritas dan berpikir secara komprehensif sehingga tak memandang suatu masalah dari satu aspek saja.

Siswa Kelas IV, V, dan VI SD Negeri Watesari, Sidoarjo, berkunjung ke Candi Tikus di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Minggu (16/9/2012). Kunjungan mereka bagian dari program pembelajaran soal sejarah Kerajaan Majapahit. Dengan melihat langsung peninggalan Majapahit, siswa diharapkan tertarik belajar sejarahnya.

Sejarah harus berpikir plurikausal atau yang menjadi penyebab itu banyak. Termasuk di dalamnya menggagas sejarah sebagai pijakan dalam pendidikan politik dan kebijakan publik. Ini mengingat sebuah kebijakan diambil setelah melihat tingkat kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Bukan sebaliknya, kebijakan diambil guna keuntungan penguasa.

Maka dari itu, sejarah sebagai pendidikan perubahan terhadap masa depan sangat diperlukan. Di beberapa universitas, seperti Amerika, history of the future diajarkan untuk membangun industri bangsa dengan belajar dari pengalaman founding fathers terdahulu.

Dengan memahami betapa pentingnya kesadaran sejarah bagi sebuah bangsa, pembangunan bangsa di Indonesia akan dilihat sebagai suatu perkembangan. Artinya, apa yang dilakukan hari ini haruslah lebih baik daripada hari kemarin. Diperlukan sikap kejiwaan atau mental attitudedan state of mind sebagai kekuatan untuk ikut aktif dalam dinamika bangsa yang sedang berdemokrasi.

Sejarah harus berpikir plurikausal atau yang menjadi penyebab itu banyak.

Membaca problem demokrasi bangsa saat ini, meminjam terminologi Yudi Latif, bukan terletak pada problem legal, melainkan hati dan pikiran yang tengah berperang melawan watak kapitalistik dan feodalistik (Kompas, 17/9/2020).

Pengalaman demokrasi Indonesia era 1950-an menjadi referensi berharga betapa pentingnya menjaga persatuan dalam integritas pribadi bangsa di tengah problem yang terus ada. Karena itulah, dalam konteks kekinian sejarah harus menjadi bagian yang selalu aktual.

Untuk menentukan suatu kebijakan diperlukan pandangan dari sisi perkembangan. Misalnya, bagaimana bangsa berkembang dari revolusi tahap 1.0 sampai revolusi 4.0 saat ini. Ini dapat diperankan ilmuwan atau pengajar sejarah untuk menarasikan perkembangan bangsa sebelum menentukan kebijakan.

Pulau Run yang merupakan bagian dari Kepulauan Banda dipotret dari udara, Jumat (28/4/2017). Pada abad ke-17, Belanda dan Inggris perang untuk memperebutkan Pulau Run yang saat itu menjadi penghasil buah pala dengan kualitas terbaik. Pada tahun 1667 kedua negara berdamai dalam "Perjanjian Breda", yaitu Pulau Run ditukarkan dengan Manhattan.

Kini, kita dalam era revolusi industri 4.0 yang menjadikan data sebagai basis utama dan digital sebagai sarana. Jika dikaitkan dengan konteks kesejarahan, kita harus secara sadar mulai mengelola dan menginventarisasi peristiwa atau kejadian sebagai basis data apabila peristiwa yang sama terulang kembali (l'histoire se repete).

Reaktualisasi sejarah

Sejarah jadi pijakan bangsa Indonesia untuk menganalisis perencanaan, menuju bangsa Indonesia yang lebih baik.

Salah satu caranya dengan mengarusutamakan pendekatan sejarah sebagai bagian dari pembangunan bangsa, direaktualisasikan dengan situasi zaman dan generasi yang hidup pada era baru. Saat ini, globalisasi telah mengintegrasikan dunia. Tidak sekadar pertukaran ekonomi (perdagangan), tetapi berbagai unsur kebudayaan dan juga keagamaan.

Sejak abad ke-15, globalisasi menjadi semakin intensif melalui penjelajahan orang-orang Eropa. Namun, globalisasi secara besar-besaran dikenal sejak abad ke-19. Memasuki abad ke-20, konektivitas ekonomi dan budaya dunia menjadi semakin padat. Sejak akhir abad ke-20 hingga kini, globalisasi tak dapat dibendung lagi karena jaringan internet dan seluler (Jurgen Osterhammel and Niels P Petersson, 2005).

Dalam konteks Indonesia, kita selalu digelisahkan oleh masalah identitas nasional. Posisinya pada titik persilangan dunia membuat Indonesia menjadi salad bowl tempat bertemunya berbagai peradaban besar dunia. Itu pula sebabnya dalam sejarah kebudayaan Indonesia dikenal periodisasi yang mengacu pada masuknya peradaban besar dunia pada masyarakat Nusantara, yaitu Indianisasi (Hinduisme-Buddhisme), Islamisasi, modern (Barat, Kristen), ditambah pengaruh peradaban China.

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Presiden Joko Widodo mengunjungi Pemakaman Al-Mahligai di Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat (24/3/2017). Pemakaman itu merupakan salah satu pertanda peradaban Islam sudah ada di Nusantara sejak abad ke-7. Salah satu nisan di pemakaman itu bertarikh 48 Hijriah atau 661 Masehi.

Dampak dari masuknya peradaban besar dunia masih terus terasa hingga kini. Bangsa kita selalu merasa kebingungan untuk menemukan dan menetapkan simbol-simbol identitas nasional yang dapat merepresentasikan "asli" Indonesia. Padahal, sudah ada konsensus kebinekaan sebagai cara pandang multikulturalistik.

Sudah barang tentu ada persoalan lain yang tak kalah kompleks. Ini terkait, misalnya, dengan cara bangsa kita merespons globalisasi agar Indonesia tetap dapat menjadi aktor dalam interaksi global.

Karena itulah, maka kita harus secara sadar memahami sejarah. Sejarah memberikan kisi- kisi pada kita untuk mengambil keputusan. Termasuk dalam pembangunan Indonesia (baik fisik/infrastruktur, manusia, maupun kebudayaan) harus berlandaskan sejarah.

Sejarah memberikan kisi- kisi kepada kita untuk mengambil keputusan.

Nilai kesinambungan

Sebagai bangsa, kita harus bersama merawat pembangunan agar berkesinambungan. Kewajiban itu dapat dilakukan jika kita sebagai bangsa memiliki kebanggaan nasional (national pride). Kebanggaan nasional dapat dibangkitkan dari prestasi bangsa di masa lampau. Karena itu, kita perlu sejarah.‎

Indonesia jelas sangat kaya akan prestasi bangsa di bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, ketatanegaraan, teknologi, dan seni. Misalnya, Candi Borobudur di bidang arsitektur, pinisi di bidang kemaritiman, selain kekayaan sosial budaya (kearifan lokal).

Jadi, setiap prestasi bangsa itu harus menjadi kebanggaan. Kita perlu merawatnya dengan visi tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA

Ravik Karsidi

Untuk menuju Indonesia Emas di 2045, diperlukan tahapan dan kesinambungan. Acuan haluan negara menjadi penting agar tak ada keterputusan antargenerasi. Membangun "Indonesia Masa Depan" mau tak mau mesti bertumpu pada "Indonesia Masa Lalu".

Ravik Karsidi, Guru Besar Sosiologi Pendidikan UNS Solo; Anggota Dewan Riset Nasional Bidang Sosial Humaniora, Pendidikan, Seni, dan Budaya

Kompas, 30 September 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger