Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 01 Februari 2021

REFLEKSI EKOLOGI: Merajut Persaudaraan dengan Hutan (ELIAS SITUMORANG)


KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Kawasan hutan adat di Kinpan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, Rabu (9/9/2020).

Selain faktor hujan ekstrem bencana banjir bandang di Kalimantan Selatan pada Januari 2021 ditengarai karena daya dukung lingkungan yang memburuk akibat pembabatan hutan sporadis. Kerakusan manusia telah membuat hutan alam dibabat begitu saja tanpa memerhatikan aspek keseimbangan yang akhirnya bermuara pada bencana.

Bila kita sungguh menyadari, bencana berupa banjir disebut bencana sejauh kena pada kehidupan manusia. Alam tidak bisa dipersalahkan karena alam tidak bisa bertanggungjawab. Akan tetapi dalam dan melalui setiap bencana seperti banjir bandang ada seruan, ada kemungkinan, dan kemungkinan ini menjadi penting untuk melihat apa yang dapat dilakukan sesudah peristiwa ini.

Salah satu bentuk kemungkinan yang dapat dilihat adalah menanamkan rasa solidaritas mendalam untuk senantiasa bersama-sama menjaga kelestarian alam; berani melawan segala bentuk perusakan lingkungan terutama eksploitasi hutan alam yang berlebihan. Pohon, air, dan tanah bukanlah obyek yang pasif dan bukan pula hak mutlak manusia semata untuk mengeksploitasinya.

Di sisi lain sebagai manusia berbudi luhur perlu melihat bencana banjir bandang sebagai 'warning' dan ajakan untuk memahami kemanusiaan dan alam secara jernih. Banjir menjadi sebentuk konsientasi bahwa hutan alam bukan barang mati "inanimated being" yang dapat diperlakukan sewenang-wenang tetapi ia adalah makhluk hidup, berjiwa, dan bertumbuh yang selalu memberi tujuan dasar yakni menyokong kehidupan.

Mungkin dalam konteks ini sebagai manusia beradab setiap orang harus mengerti dan memahami bukan hanya manusia yang kena musibah menderita tetapi juga Sang Pencipta pun turut menangisi kerusakan ciptaan-Nya di tempat musibah.

KOMPAS/SUCIPTO

Desa Liu Mulang dan Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, terlihat dari atas bukit, Kamis (12/12/2019). Desa itu dilalui Sungai Mahakam bagian hulu dan berada di tengah rapatnya hutan jantung Borneo.

Tanggungjawab bersama

Indonesia memiliki hutan hujan tropika yang sangat besar dan luas. Karena salah satu kekayaan inilah, kondisi dan perubahan atmosfer di atas wilayah Indonesia dikatakan sangat berpengaruh terhadap keadaan cuaca di dunia. Apa maksudnya? Jelas Indonesia mengemban tugas dan tanggung jawab yang besar untuk melindungi, menjaga dan melestarikan hutan tropisnya sebaik mungkin agar cuaca dunia tetap dalam kondisi normal.

Hutan hujan tropis sering disebut sebagai paru – paru dunia oleh para ahli dan pecinta lingkungan hidup, karena perananya yang sangat penting bagi proses jalannya kehidupan di seluruh bumi. Dengan ini jelaslah bahwa kalau Indonesia memiliki hutan tropis yang sangat besar dan luas, berarti tanggung jawab Indonesia untuk menjaga,melindungi dan melestarikan hutan sangat besar. Akan tetapi hal itu kurang disadari dan bahkan hutan sering disalah-gunakan demi kepentingan sekelompok orang.

Perambahan hutan yang berlebihan, biasanya bertujuan untuk keperluan ekonomi yaitu perdagangan kayu baik dalam negeri maupun antar negara. Dalam memanfaatkan hutan untuk perdagangan dan juga untuk bahan baku industri pulp dan indorayon, sering dan bahkan dapat dikatakan selalu disadari dengan prinsip " Memperoleh keuntungan yang sebesar–besarnya dengan cepat dan lupa atau tanpa memikirkan penanaman pohon untuk penghutanan kembali".

Pembabatan hutan dengan cara ini dengan sendirinya akan merusak lingkungan hidup. Dalam waktu singkat, hutan sudah rusak berat karena proses penghancuran jauh lebih mudah daripada proses perbaikannya. Maka tidak salah kalau Mochtar Lubis, seorang budayawan Indonesia menyebut alat- alat modern seperti gergaji mesin dan sebagainya sebagai lambang penghancuran hutan tercinta.

Dengan alat modern ini pembabatan hutan semakin mudah dan masif akibatnya bangsa dan negara mengalami kerugian yang luar biasa besar berupa surutnya nilai sumber daya alam, kerusakan lingkungan, timbulnya beragam penyakit, kualitas hidup menjadi menurun, roda perekonomian terganggu, dan puncaknya adalah banjir yang mengakibatkan masyarakat menderita dan bahkan sampai merenggut nyawa.

KOMPAS/SUPRIYANTO

ILUSTRASI-SPY

Bersaudara dengan hutan

Dunia selalu merupakan dunia bagi manusia dengan sikap tertentu. Semua alam korelatif dengan manusia. Sebagai contoh, bagi seorang yang kehausan air itu berarti air minum. Bagi seorang yang suka berenang air itu berarti air untuk berenang. Bagi pemadam kebakaran air itu untuk memadamkan. Bagi seorang ahli jiwa seperti Freud air itu lambang alam bawah sadar.

Kenyataan memberikan jawaban sesuai dengan kebutuhan dan pertanyaan yang diajukan. Adanya banjir tentu karena ada yang salah dalam eksploitasi hutan alam yang tidak seimbang dan cara memandang hutan yang salah. Cara pandang yang benar perlu dikembalikan.

Gerakan untuk menjadikan hutan sebagai bagian dari diri manusia sudah lama didengungkan seperti proyek reboisasi dan Gerakan Nasional Menanam Pohon. Di Sumatera Utara misalnya gerakan itu terkenal dengan Toba Green.

Di Tingkat internasional pelbagai upaya dilakukan agar perusakan hutan, terutama hutan alam tropis dapat dihentikan, misalnya pada pertengahan tahun 1989 diadakan suatu konferensi besar mengenai hutan-hutan curah hujan tropika di Sao Paolo Brasilia.

Konferensi dengan thema "Pers dan Planet" tersebut bertujuan untuk mengajak insan pers agar berminat lebih besar memberitakan masalah perusakan hutan tropika di seluruh dunia dengan satu tujuan agar ekosistem terjamin. Konferensi besar ini hendak membangun kembali peradaban baru berupa jalinan persaudaraan harmonis dengan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan ciptaan yang utuh.

Greta Thumberg (16) remaja aktivis iklim asal Swedia berteriak sangat lantang saat berpidato di hadapan para pemimpin dunia pada Pertemuan Puncak Aksi Iklim PBB 2019 di Markas Besar PBB, New York. Greta Thumberg secara tegas penuh emosional menyerang para pemimpin dunia. "Kalian mencuri mimpiku dan masa kecilku dengan omong kosong kalian. Orang-orang menderita, mereka sekarat, ekosistem hancur." (Kompas, 25/09/2019).

Kerusakan hutan yang mengakibatkan beragam bencana dapat juga kita refleksikan sekarang sebagai akibat langsung dekadensi moral dalam arti ketidakmapuan untuk menghayati keindahan alam ciptaan. Dalam hal ini kita boleh menimba sejumput pemikiran filsuf Friedrich Schiller (1759-1805), "Beauty is a symbol of morality, art + beauty way be conducive to moral life."

Pemikiran Schiller ini hendak menggambarkan situasi Eropa abad ke-18 yang barbar, tanpa keindahan, egoistik, dan materialistik. Eropa dihuni oleh orang-orang yang hidupnya tak bahagia, terpecah, bertentangan satu sama lain, bahkan termasuk dengan dirinya sendiri. Menurut Schiller, kepribadian dan masyarakat yang baik amat tergantung pada kemampuannya untuk mencintai keindahan yang hanya dapat diperoleh dari lingkungan hidup yang terjaga secara seimbang.

Bagaimana melestarikan lingkungan hidup dan memulihkan kembali hubungan persaudaraan dengan lingkungan hidup dalam hal ini kita mungkin dapat bercermin pada hidup santo Fransiskus Assisi (1182-1226), seorang mistikus dan penyair.

Fransiskus dari Assisi-Italia adalah manusia unik, aneh, nyeleneh yang suka berkomunikasi dengan hewan dan tumbuhan dengan bahasa batin. Nafas perdamaian, cinta kasih, pengampunan dan persaudaraan dengan sekalian ciptaan mengisi utuh syair-syairnya.

Fransiskus memandang semua mahkluk ciptaan sebagai "saudara" dan dalam diri "saudara" dia mengalami kehadiran dan kebesaran Sang Pencipta. Maka apapun yang dilakukannya kepada setiap makhluk ciptaan secara tak langsung dilakukannya bagi Sang Pencipta, walaupun Pencipta tak pernah terkurung dalam makhluk ciptaan (bukan panteisme).

Salah satu bentuk konkret bagaimana merajut 'persaudaraan yang intim' dengan alam, dalam hal ini hutan dengan segala isinya. Saya ingin membagikan pengalaman sederhana para pengikut santo Fransiskus Assisi yang tergabung dalam Ordo Saudara Dina Fransiskan Kapusin (OFMCap) di desa Sikopi Kopi, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara.

Bermula pada tahun 1993, ordo Kapusin membeli lahan seluas 40 hektar. Semula lahan ini tandus karena warga menebangi pohon lalu membakarnya menjadi lahan pertanian. Di lahan seluas 40 hektar ditanami pelbagai macam pohon kayu serta pemeliharaan binatang-binatang langka.

Setelah 21 tahun kini kawasan Sikopi Kopi yang dulu tandus, kembali hijau dengan pohon-pohon besar di lereng Sikopi Kopi. Berbagai jenis hewan seperti kera, imbo, ular, biawak, dan babi hutan berumah di hutan itu. Semak tumbuh liar, tanaman seperti rotan pun tumbuh leluasa.

Di dalam hutan terdapat goa yang menjadi habitat kelelawar dan air yang jernih. Air sungai menjadi bening dan ikan hidup dengan tenang. Air yang cukup membuat petani di sekitar hutan Sikopi-kopi dapat bertani dengan aman dan tumbuhan terutama padi tumbuh subur.

Hutan adalah anugerah dari Sang Pencipta yang dititipkan kepada manusia supaya dilindungi dan dilestarikan. Bersaudara dengan hutan berupa perlindungan dan pemeliharaan tujuannya tidak lain dan tidak bukan supaya hutan itu sendiri mampu terus memberikan perlindungan dan kehidupan kepada masyarakat.

(Elias Situmorang Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan Nagahuta, Sumut)

Kompas, 31 Januari 2021

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger