Seolah dikejar "target", rancangan Kurikulum 2013 yang saat ini diujipublikkan sudah dinyatakan siap untuk diberlakukan Juni 2013.
Di tengah hiruk-pikuk perdebatan soal pengembangan Kurikulum 2013, para guru sedang meraba-raba bagaimana mereka mengimplementasikannya. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang penyusunannya diserahkan ke sekolah sejak 2006 belum sepenuhnya dipahami, kini guru dihadapkan lagi pada persoalan kurikulum baru.
"Kita tidak boleh berlambat-lambat. Kurikulum 2013 ini membawa perubahan besar untuk masa depan bangsa," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.
Keyakinan yang dinyatakan petinggi Kemendikbud ini belum selaras dengan para guru dan pelatih guru. Bagaimana pendidik anak bangsa ini tidak gamang? Pemerintah baru saja "menelanjangi" kompetensi guru bersertifikat yang seharusnya berkualitas baik, nyatanya tidaklah demikian.
Guru bersertifikat secara nasional memiliki kompetensi dengan nilai 44,5 dari skala 100. Guru bersertifikat profesional tak ada bedanya dengan guru lain, kompetensi profesional dan pedagogi dengan ukuran pemerintah sangat rendah. Apalagi, guru SD, kompetensinya paling rendah, bahkan kalah dari guru TK.
Padahal, perubahan yang sangat signifikan terjadi di jenjang SD dengan pembelajaran tematik integratif dan penambahan jam belajar enam jam per minggu. Namun, sebanyak 1,6 juta guru SD yang tersebar di kota besar hingga daerah terdepan, terluar, dan tertinggal ini kesenjangannya luar biasa, mulai dari jenjang pendidikan, penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, hingga penguasaan materi dan metodologi pembelajaran.
Henny Supolo Sitepu dari Yayasan Cahaya Guru mengatakan, dalam pelatihan pengelolaan kelas pada 4.500 guru, jarang tertangkap pemahaman kurikulum. Sebagian besar guru tidak pernah mengikuti pembahasan dan penguatan reflektif mengenai pemahaman kurikulum.
"Guru selalu 'kesepian' dalam menjalankan tugasnya. Mereka tidak paham bagaimana melaksanakan. Namun, tidak pernah ada yang menanyakan apakah yang dilakukannya cocok dengan yang dihadapinya sehari-hari," kata Henny.
Dalam pandangan Henny, temuannya ini sejalan dengan yang ditemukan pemerintah bahwa guru-guru Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Namun, kondisi ini lebih karena guru tak pernah dilatih serta disiapkan secara serius dan berkesinambungan, pun ketika kebijakan sertifikasi guru diberlakukan.
Henny menyebut persoalan yang ditemukan pemerintah saat ini secara bertahap sudah mulai diatasi dengan perubahan Kurikulum 1984 atau Cara Belajar Siswa Aktif lalu Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 hingga KTSP. Namun, kurikulum ini tak pernah tuntas atau sukses.
"Jadi, bukan soal perubahan kurikulum. Namun, persoalan yang sudah teridentifikasi ini, apa yang akan dilakukan pemerintah, utamanya menyangkut guru, kepala sekolah, pengawas, hingga dinas pendidikan," ujar Henny.
Itje Chodijah, pelatih guru, menegaskan, pelatihan kurikulum yang dilaksanakan selama ini sekadar formalitas. "Cuma diceramahi. Ya, sudah begitulah model pelatihan kurikulum yang berjalan selama ini. Tak heran, sekolah kebingungan saat diterapkan KTSP. Yang ada, ya copy-paste dari buku penerbit," kata Itje.
Menurut Itje, para guru yang minim dengan keterampilan dan kompetensi untuk menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) hingga membawanya ke dalam pembelajaran di hadapan siswa mudah dipengaruhi penerbit buku teks ataupun lembar kerja siswa. "Guru jadi sangat bergantung pada buku teks. Tidak boleh siswa keluar dari buku teks. Iya, kalau penerbitnya benar menyiapkan buku teks. Terus terang saja kita tahu bagaimana kualitas buku teks yang ada," kata Itje.
"Dikarbit"
Guru diakui sebagai ujung tombak dari implementasi Kurikulum 2013 yang diklaim pemerintah lebih dahsyat daripada kurikulum-kurikulum yang pernah ada menuntut guru-guru yang mumpuni. Namun, guru yang rendah kompetensinya secara nasional ini "dikarbit" dalam beberapa bulan saja untuk dapat mengubah pembelajaran secara radikal.
Padahal, dalam penyusunan RPP tidak bisa asal-asalan, tidak lagi hanya sekadar memenuhi syarat administratif jika pengawas sekolah datang. Namun, RPP harus disiapkan sedemikian rupa dengan kreativitas tinggi, tidak hanya untuk membuat belajar jadi menyenangkan, tetapi juga membuat siswa mampu berpikir tingkat tinggi.
Guru bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Guru harus mampu mengintegrasikan satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain untuk mencapai kompetensi yang mampu menghasilkan insan Indonesia yang produktif, inovatif, kreatif, dan afektif.
Guru konvensional yang cuma mengenal metode ceramah di dalam kelas atau sekadar mengandalkan buku teks atau yang hanya menilai siswa berdasarkan hasil ujian tertulis dengan pilihan berganda bakal menggagalkan impian besar negeri ini memiliki generasi abad XXI yang cerdas dan beradab. Sayangnya, guru-guru dengan tipikal seperti inilah yang berada di garis terdepan di ruang-ruang kelas.
Apakah sepenuhnya salah guru karena tidak mampu meningkatkan kompetensi dirinya sendiri? Dalam sejarah Indonesia sejak 1945, negeri ini sudah menerapkan 10 kali pergantian kurikulum. Nyatanya, pendidikan Indonesia tak kunjung berubah banyak. Mutu siswa dikeluhkan, tidak cerdas dan juga tidak berakhlak mulia. Peningkatan kompetensi guru pun tak beranjak signifikan.
Said Hamid Hasan, Ketua Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia yang juga anggota tim inti Kurikulum 2013, mengatakan, Kurikulum 2013 sudah dikaji Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud sejak 2010, lalu dituntaskan 2012. Namun, sosok guru yang sangat kritikal dalam kesuksesan penerapan kurikulum tampaknya tidak disiapkan dengan baik.
"Pelatihan guru dan penyiapan buku sangat singkat. Seharusnya guru memprotes ini," ujar Hamid.
Shally Pristine, pengajar muda dari Indonesia Mengajar, begitu sedih membayangkan guru-guru yang dipaksa dalam waktu singkat memahami perubahan kurikulum dan mengimplementasikannya. "Di SD tempat saya bertugas, kepala sekolah dan guru baru saja paham kala KTSP itu bisa dibuat oleh sekolah. Selama ini mereka memakai persis seperti yang dibuat penerbit buku," kata Shally, yang bertugas di salah satu daerah terpencil di Nusa Tenggara Barat.
Tawaran pendidikan dan pelatihan begitu jauh dari mimpi para guru. Kondisi ini tidak hanya dihadapi guru yang jauh dari Ibu Kota.
Owi Madrowi, Kepala SDN 1 Rangkasbitung Timur, Kabupaten Lebak, Banten, mengakui minimnya pelatihan untuk guru. Para guru mengandalkan kepala sekolah untuk mengetahui informasi dan penerapan perubahan kurikulum.
Dengan tantangan geografis Indonesia, tentu menyiapkan guru dalam waktu singkat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mengharapkan kepala sekolah dan pengawas untuk benar-benar bisa membantu guru rasanya mustahil. Padahal, mereka juga bertugas mengawasi guru.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah Kemendikbud, kompetensi kepala sekolah di 31 provinsi rendah pada kompetensi sosial dan pengawasan. Dalam penelitian kompetensi kepala sekolah ditetapkan batas minimal kelulusan 76. Kenyataannya, nilai 85 hanya pada dimensi kompetensi kepribadian. Adapun kompetensi manajerial dan wirausaha rata-rata 74, supervisi 72, dan sosial 63.
Dengan beragam kondisi riil yang teridentifikasi pada diri guru, kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan di seluruh pelosok negeri, mampukah pemerintah "mengkarbit" mereka yang berada di garis terdepan kesuksesan kurikulum? Semoga Kurikulum 2013 tidak lagi sebagai kelinci percobaan yang mengorbankan guru dan siswa.
(Kompas cetak, 7 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar