Zuly Qodir
Kita hampir memasuki tahun 2013 dan meninggalkan tahun 2012 yang disinyalir penuh rapor merah dalam hal kehidupan beragama. Sejumlah survei memberikan rapor merah atas kebebasan beragama, khususnya terkait kaum minoritas, seperti jemaah Ahmadiyah, jemaah Syiah Indonesia, minoritas Kristen di daerah tertentu, sampai minoritas penghayat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Survei The Wahid Institute November 2012 menyebutkan, terdapat 193 kasus pelanggaran atas kebebasan beragama yang dilakukan dengan bentuk-bentuk kekerasan, pemaksaan, dan pelarangan.
Sementara itu, Setara Institute menyebutkan, terdapat 103 kasus pelanggaran kebebasan beragama dengan berbagai ancaman, perusakan, kekerasan, bahkan penghilangan nyawa.
Hal yang juga menarik, survei LSI dan Yayasan Denny JA menyebutkan, tahun 2012 masyarakat kehilangan kepercayaan dan kepuasan terhadap lembaga negara. Ketidakpuasan masyarakat atas lembaga kepresidenan mencapai 62,7 persen, ketidakpuasan terhadap polisi 64,7 persen, dan ketidakpuasan terhadap partai politik 58,1 persen.
Rendahnya kepuasan masyarakat atas tiga lembaga negara tersebut disebabkan kerja lambat, terkesan apatis, dan membiarkan dalam pelbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, kebebasan beragama, di Indonesia.
Berdasarkan survei yang dilakukan di atas, kita dapat mengambil banyak pelajaran yang berharga untuk tahun mendatang. Tentu jika negara ini benar benar hendak melakukan perubahan secara fundamental dalam hal kebebasan kehidupan beragama.
Pendidikan inklusif
Salah satu penyebab menguatnya intoleransi beragama diduga keras karena kurangnya pemahaman keagamaan yang memadai dari masyarakat kita sehingga masyarakat mudah "terjerumus" dan diprovokasi untuk berbuat melawan hukum serta tindak intoleran. Beberapa perbuatan melanggar hukum yang dilakukan masyarakat adalah melakukan perusakan fasilitas umat beragama: membakar, menyegel, dan atau melemparinya.
Sementara perbuatan dan tindakan intoleransi agama yang dilakukan masyarakat, di antaranya dalam wujud melarang jemaah umat beragama beribadah di tempat yang telah didirikan dan tersedia dengan alasan mengganggu ketertiban dan harmoni dalam kehidupan beragama.
Bahkan, tindakan intoleransi juga dilakukan oleh umat beragama dengan melakukan aksi-aksi teror, baik atas umat beragama yang satu keyakinan maupun yang beragama lain.
Pertanyaan tentu dapat diajukan di sini, mengapa umat demikian mudah "terjerumus" dan terprovokasi oleh orang yang mengarahkan kebencian kepada orang yang berbeda?
Bukankah perbedaan merupakan kondisi obyektif dan tidak bisa dihilangkan? Apakah perbedaan berarti harus dihilangkan dan dijadikan arena perkelahian dan pembunuhan? Bukankah Tuhan sendiri yang menciptakan perbedaan tersebut sebagai sunah-Nya?
Jika benar dugaan kita bahwa salah satu penyebab utama faktor pemahaman agama yang "dangkal" dan kurang, terutama berkaitan dengan paham keragaman, terbuka dengan umat lain, pendidikan inklusif merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang memberikan pemahaman kepada publik bahwa perbedaan merupakan keniscayaan (sunatullah). Perbedaan adalah berkah bangsa ini bukan petaka. Negeri ini lahir karena adanya perbedaan dan sekaligus keragaman.
Dengan demikian, perbedaan merupakan hal yang tidak boleh menjadikan kita membenci pihak lain yang berbeda dengan kita. Perbedaan tidak perlu menghalangi kita untuk berbuat baik dan saling menghargai. Bahkan, dengan perbedaan kita harus memiliki kehausan untuk saling menghormati sebab di situ akan semakin tampak derajat keimanan seseorang.
Pendidikan yang semacam itu harus digagas dan dijalankan oleh setiap pendidik, baik formal ataupun nonformal. Pendidik formal adalah mereka yang memang menjadi guru dari taman kanak- kanak sampai perguruan tinggi. Sebab, mereka berhadapan langsung dengan peserta didik yang sangat beragam kemampuan dan latar belakang.
Sementara itu, pendidik nonformal adalah mereka yang berposisi sebagai juru dakwah, pengkhotbah, ustaz, guru mengaji, serta sejenisnya yang juga memiliki jemaah dan sering kali berpengaruh di depan jemaahnya.
Pendidik nonformal ini harus memiliki "bahasa publik", bukan sekadar bahasa domestik (khusus kelompoknya), sebab dampaknya jika salah bersabda akan memakan korban.
Oleh karena itu, para pendidik formal dan nonformal harus memiliki kemampuan bahasa domestik sekaligus bahasa publik sehingga yang disampaikan akan sesuai konteks sosial yang dihadapinya. Pendidik harus memiliki kemampuan multidisiplin dalam memahamkan agama kepada jemaahnya, tidak sekadar pemahaman tunggal yang sifatnya dogmatik.
Memaknai demokrasi
Dalam bahasa yang lebih longgar, pendidik harus mampu memahami dan memaknai demokrasi. Demokrasi yang menghadirkan keragaman dan perbedaan. Pendidik tidak bisa hadir sebagai sosok yang angkuh, tiran, dan memberi napas kebencian kepada pihak lain.
Demokrasi dipahami sebagai arena untuk menciptakan kehidupan yang lebih bermakna, lebih sejahtera, dan kenyamanan. Demokrasi dipahami sebagai arena menyemaikan kedamaian dan keadaban sehingga demokrasi menjadi bermakna tanpa kekerasan dan penuh kesantunan.
Kita tentu saja tidak berharap pada tahun 2013 kehidupan keagamaan Indonesia mendapatkan rapor merah karena umat beragama yang beragam saling membenci, melakukan teror, serta melakukan tindak kekerasan yang disebabkan oleh para pendidik dan absennya aparat negara.
Semua tindakan kebencian, teror, dan perusakan harus mendapatkan perhatian serius dari aparat negara yang dinilai oleh publik lemah sehingga publik tak dapat kepuasan atas pelayanan yang dilakukan selama ini.
Zuly Qodir Sosiolog UMY; Jemaah Muhammadiyah
(Kompas cetak, 29 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar