Mohammad Mahpur
Radikalisme agama telah menjadi kekhawatiran bangsa karena praktik keberagamaan tersebut merapuhkan kebinekaan dan kedamaian.
Radikalisme ini membawa gerakan purifikasi: mengingkari unsur lokalitas yang turut membentuk Islam Indonesia. Oleh karena itu, praktik keberagamaan semacam ini pada praksisnya menafikan pluralisme sedemikian rupa sehingga cenderung bersikap intoleransi dalam beragama, menjadi eksklusif, anti-keragaman, dan pada titik kritis dihipotesiskan melahirkan terorisme.
Said Aqil Siroj berpendapat dalam artikel berjudul "Kebutaan Budaya" (Kompas, 10/12/2012), bahwa puritanisme yang akhirnya membibit radikalisme agama dan terorisme terkait dengan polarisasi keberagamaan berangkat dari sentimen antibudaya. Mereka tidak melihat bahwa persenyawaan Islam Indonesia adalah metamorfosis yang tidak bisa terlepas dari khazanah lokalitas keindonesiaan. Inilah yang disebut Said sebagai kebutaan budaya. Sentimen antibudaya inilah yang mengikat psikologis mental keagamaan kalangan radikalis menjadi tertutup (eksklusif) dan garang. Mereka mudah terkontaminasi oleh induksi teror dalam bentuk stimulasi semangat jihad perang dan martir bom bunuh diri sebagai dampak pesan subliminal mati syahid.
Sebagai langkah mengantisipasi perkembangan radikalisme dan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme telah mengagendakan perspektif afirmatif dengan memperkuat program-program deradikalisasi. Ini untuk memicu praksis keberagamaan yang lebih ramah bagi kehidupan kebangsaan dan mencegah lahirnya martir terorisme. Namun, jika mengacu ke historisitas keberagamaan Nusantara, program deradikalisasi itu sebenarnya tidak terlalu mengakar ke basis komunitas beragama tanpa memahami bahwa rentang perkembangan dan peradaban Nusantara telah memiliki akar antroposentris bagaimana Islam menjadi agama Nusantara yang berkembang secara evolusioner.
Jejak historis
Tulisan ini ingin memantik kembali gagasan Gus Dur tentang "Pribumisasi Islam" yang muncul tahun 1980-an dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Anwar, 2006, The Wahid Institute). Gagasan itu merupakan jawaban yang mampu memberikan perspektif pencegahan praktik radikalisme agama. Gus Dur sangat menghargai metamorfosis Islam Nusantara dengan menempatkan Islam secara kontekstual, yaitu sebagai bagian dari proses budaya. Meskipun sedikit terlambat, inilah cara pandang futuristis Gus Dur (suara langit beliau) tentang Islam Indonesia ke depan agar tidak terperangkap dalam radikalisme dan terorisme yang mencerabut Islam dari akar Nusantara.
Pribumisasi Islam menekankan bahwa praksis keislaman "tidak selalu identik" dengan pengalaman Arab (Arabisme). Ia adaptif dengan lokalitas. Akar "Pribumisasi Islam" sebenarnya tidak asing jika dilihat dari historisitas NU. Pribumisasi merupakan semangat lanjutan dari perjuangan kakek Gus Dur, KH Hasyim Asy'ari, yang berusaha tetap mempertahankan praktik ritual dan beragama mazhab Syafi'i Indonesia dengan corak tradisional. Perjuangan ini membidani kelahiran NU (1962) karena tidak sejalan dengan kaum modernis yang mendukung kepemimpinan baru Wahabi di Mekkah di bawah reformis Ibnu Saud. Naiknya Saud dikhawatirkan akan merongrong keberagamaan mazhab Syafi'i.
Gerakan ini tidak semata-mata aksi untuk pembelaan kaum tradisionalis dari serangan modernis yang mengatakan kaum tradisionalis musyrik karena praktik TBK (takhayul, bidah, dan khurafat). Kelahiran NU telah mengilhami praktik kultural Islam Nusantara yang menyelamatkan Indonesia ketika puritanisme dihipotesiskan melahirkan gerakan Islam radikal dan terorisme.
Menyelamatkan Indonesia
Gus Dur lebih eksplisit lagi mentransformasikan perlawanan kakeknya melalui gagasan "Pribumisasi Islam". Gerakan melawan puritanisme telah menyadarkan kita bahwa pilihan perjuangan tersebut tidak semata-mata demi kalangan tradisionalis (NU). Di hari ini ketika Islam Indonesia di bawah ancaman radikalisme dan terorisme, gerakan itu justru dapat dikatakan menyelamatkan Indonesia.
Pribumisasi adalah cara mujarab untuk memerangi radikalisme agama. Pribumisasi menjadi entitas genuine yang mengembalikan Islam Indonesia menjadi lebih membudaya, rahmatan li al 'alamin, sesuai konteks keindonesiaan. Islam kultural inilah yang sebenarnya telah dipelihara NU sebagai bagian dari upaya pendekatan keberagamaan. Dalam konteks ini, NU memahami bahwa nilai-nilai historis perkembangan Islam tidak bisa lepas dari konstelasi dan persinggungan dengan budaya. Ambil contoh Sunan Bonang dan Kalijaga, yang menggunakan seni lokal sebagai instrumen dakwah.
Perspektif Walisanga ini selain melestarikan budaya Nusantara juga mengembangkan Islam dengan menggunakan "kecerdasan artistik". Islam dikomunikasikan ke orang lain dengan makna keindahan. Doktrin digubah menjadi spirit yang dapat dengan mudah dipahami oleh orang awam dengan cara persuasif. Spirit itu telah menyinari alam bawah sadar masyarakat. Islam seperti ini menambah eksotisme kemanusiaan dan mampu mereduksi (menghindari) konstruksi jihad sebagai eskalasi psikologis-mental perang. Islam mengedepankan kehalusan budi dalam membawa pesan-pesan doktrin dan tetap menghidupkan ekspresi lokalitas.
Pribumisasi Islam memungkinkan praksis keberagamaan mengambil sisi kearifan lokal. Islam dapat ditafsirkan untuk memaknai kearifan lokal, bahkan mampu menghidupkan komoditas budaya lokal menjadi semangat zaman di tengah liberalisasi budaya dan komoditas "Arabisme". Pribumisasi Islam adalah psikologi indigenous yang mengembangkan spiritualitas keberagamaan berangkat dari akar kearifan lokal. Khazanah kearifan lokal ditafsirkan untuk membentuk variasi keberagamaan ke dalam anasir budaya yang dapat dimaknai.
Islam ditafsirkan ke dalam jantungnya kearifan lokal. Ia mampu menggubah substansi spiritualitas (tauhid) tanpa mengubah bentuknya. Tanpa berteriak Allahu Akbar, tauhid mampu dibangun bersama narasi-narasi lokalitas. Inilah Islam yang telah menyatu ke jantung masyarakat dengan beragam latar budaya. Di sinilah Islam rahmatan li al-'alamin dipraktikkan tanpa menyakiti manusia.
Dengan demikian, praksis keberagamaan untuk mencegah lahirnya kader radikalisme dan teroris pada akhirnya akan jauh lebih mengakar ketika gagasan "Pribumisasi Islam" dilestarikan sebagai praksis Islam Nusantara. Ia menjadi pendidikan kultural yang disebarluaskan melalui langgar, surau, mushala, dan masjid di desa-desa. Ia mewadahi dinamika kolektif masyarakat lokal, diwariskan dari generasi ke generasi, dikonservasi melalui praktik budaya lokal.
Mohammad Mahpur Dosen Psikologi Sosial UIN Maliki Malang; Sekretaris Lakpesdam NU Kota Malang
(Kompas cetak, 29 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar