Selaput dara perempuan di negeri ini ternyata bisa mengubah cepat nasib perempuan. Pekan ini publik kita diguncang oleh pemberitaan mengenai Bupati Garut Aceng Fikri yang mempersoalkan keutuhan selaput dara mantan istrinya yang hanya dinikahi selama empat hari.
Perdebatan publik sekitar kontrol keperawanan (virginity) perempuan daripada kontrol diri sendiri telah dianalisis dalam konteks yang berbeda di sejumlah media massa.
Para perempuan pun tercekat karena pejabat publiknya selama dua tahun terakhir ini membuat pernyataan yang mengejutkan tentang tubuh mereka. "Kaum hawa yang menggunakan sarana transportasi angkutan umum saat bepergian hendaknya tidak menggunakan rok mini. Hal ini agar tidak memancing orang berlaku asusila kepada perempuan itu," kata mantan Gubernur DKI Jakarta pada 16 September 2011.
Bukan itu saja, pada tahun yang sama, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat juga mengeluarkan pernyataan kontroversial dalam menegakkan peraturan daerah syariah atau qanun. Menurut Bupati Aceh Barat, seperti dikutip harian The Jakarta Globe (The Jakarta Globe: They are asking to get raped), perempuan yang tidak berpakaian sesuai syariah seperti minta diperkosa.
Menjadi perempuan di negeri yang konon menjamin keadilan semua warga negaranya dalam konstitusinya ini memang tidak mudah. Sebab, antara cita-cita dan fakta kerap berjarak.
Kendati Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia disepakati sebagai dasar filosofis dan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia, pada kenyataannya banyak kebijakan pusat dan daerah bertentangan dengannya, yaitu mendiskriminasi perempuan, warga negara yang juga wajib dilindungi negara sesuai amanah konstitusi. Diskriminasi itu tidak hanya termaktub dalam teks-teks kebijakan, tetapi juga sikap dan ucapan para pelayan publiknya, terutama dalam ranah hak atas tubuh dan seksualitas perempuan.
Penggelaran seksualitas perempuan
Pada pertengahan 1990-an, serangkaian cerita bunuh diri gadis-gadis SMA muncul di koran-koran Turki. Plot cerita yang lebih kurang sama dengan Indonesia. Sebelumnya, pihak sekolah melalui argumen penegakan prinsip-prinsip etika sekolah telah menghubungi keluarga mereka untuk memperingatkan tentang perilaku "tidak sopan" anak perempuan mereka.
Perilaku yang dilabeli sebagai nilai kebajikan. Solusi yang direkomendasikan kepada keluarga adalah memeriksa kesopanan putri mereka melalui "pemeriksaan keperawanan". Gadis-gadis menolak kontrol keperawanan ini dengan cara bunuh diri.
Insiden ini menghasilkan diskusi publik dan kampanye dalam jangka panjang, sebagai dampak dari narasi melodramatis yang digunakan oleh media. Namun, semua ini justru semakin meneguhkan pengakuan dari fakta bahwa pemeriksaan keperawanan telah menjadi praktik umum di Turki. Bisa jadi mereka melakukan ini kepada perempuan dengan label yang mereka kenakan, yaitu bertentangan dengan nilai kebajikan atau kesopanan.
Perlakuan ini diamini juga oleh para ahli kesehatan profesional di lembaga-lembaga publik yang sebagian besar melakukan uji keperawanan meskipun tidak ada peraturan hukum tentang ini.
Jalan yang telah dibuka melalui diskusi-diskusi di ruang publik cukup menarik. Insiden tragis ini rupanya membagi nurani publik menjadi dua kelompok. Sisi "tradisional" mendukung pemeriksaan keperawanan sebagai mekanisme pengendalian kebajikan perempuan dan kelompok "modern" di sisi lain menganggap kontrol keperawanan ini sebagai tanda kegagalan Turki menjadi "modern".
Perdebatan ini mencapai klimaksnya melalui penerbitan wawancara dengan menteri negara. Mewakili dirinya sendiri yang perempuan, menteri mendukung pemeriksaan keperawanan dan menyelaraskan dirinya sebagai "tradisionalis". Dalam pandangannya, pemeriksaan keperawanan adalah masalah moralitas publik, jauh lebih penting daripada kematian beberapa gadis.
Wawancara ini mendapatkan kritik pedas dari sejumlah kelompok politik, dan pada tahun 1999 amandemen hukum yang menyebut dibutuhkan persetujuan perempuan dalam pemeriksaan keperawanan gagal. Perubahan ini jelas dipengaruhi wacana antagonistik dan hubungan kekuasaan yang terjalin dalam matriks politik masyarakat Turki, dulu dan sekarang.
Peran negara pun dipertanyakan. Negara sebagai penjaga adat dan tradisi ternyata ikut berkontribusi merepresi seksualitas perempuan. Diskusi tentang uji keperawanan di publik telah kehilangan ruangnya setelah amandemen hukum gagal. Di sisi lain, ini juga menunjukkan bahwa seolah-olah pemeriksaan keperawanan akan berakhir dalam praktik setelah terjadi perubahan dalam hukum.
Histerisasi tubuh perempuan
Meskipun semua debat, kritik, dan kampanye telah berevolusi dalam ruang seksualitas perempuan, baik di Indonesia maupun Turki, tetapi jarang memasukkan analisis seksualitas sebagai sebuah situs penindasan perempuan.
Dengan kata lain, ruang untuk diskusi dibangun dalam batas-batas aman (mainstream) wacana politik identitas jender. Itu adalah wacana modernisasi di mana identitas perempuan dikonfigurasi sebagai "aktor atau bidak simbolis" (Kandiyoti, 1988) dari proyek "westernisasi".
Dalam konteks ini, perlu meletakkan perempuan, sebagai identitas aseksual, yang telah dikerahkan di ruang publik sebagai profesional, pendidik, dan simbol transformasi budaya. Kesucian seksual perempuan karena itu menjadi kondisi yang terus-menerus direproduksi di publik secara benderang.
Intinya, apa yang telah dikatakan semua diskusi tentang kontrol keperawanan perempuan ini sesungguhnya telah dibatasi oleh kontrol konotasi politik "kemurnian seksual perempuan" oleh budaya patriarkal, baik di Indonesia maupun di Turki "modern".
Mengedarkan wacana alternatif
Perdebatan seksualitas perempuan selama ini kerap terjebak sekitar hubungan dominasi lembaga patriarkal atau politik. Persoalan keperawanan bukan hanya sekadar dominasi laki-laki terhadap perempuan. Hal yang tersisa dan kurang diuraikan adalah peran hubungan sosial dalam skema perdebatan ini.
Diperlukan analisis yang dapat menjangkau relasi sosial di ranah yang privat, suatu bentuk lain dari sejumlah praktik disiplin pada seksualitas perempuan, yang dibentuk di jaringan mikro dan makro relasi kekuasaan. Mungkin dari sana kita dapat melihat wajah kekuasaan yang sesungguhnya, yang menyelinap dan direproduksi secara terus-menerus tidak hanya di wilayah privat, tetapi juga di ranah publik yang mengejawantah dalam kitab- kitab undang-undang, qanun, ataupun dalam pikiran, sikap, dan tindakan pejabat publik, juga masyarakatnya.
Jaleswari Pramodhawardani Peneliti LIPI dan Dewan Penasihat The Indonesian Institute
(Kompas cetak, 7 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar