Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 07 Desember 2012

Etika Pejabat Publik

Ketika di Indonesia korupsi pejabat terus berlangsung kian masif, kini ramailah kasus kawin kilat Bupati Garut, Jawa Barat, Aceng HM Fikri.
Skandal (scandalum, salah satu artinya perangkap atau godaan) erat berhubungan dengan eksploitasi kekuasaan. Kekuasaan cenderung korup, kata Lord Acton. Sesuai dengan adagium itu, tata krama dilibas demi kepenuhan hasrat menggebu. Keadilan didasarkan pada terpenuhinya pasal-pasal legal, bukan rasa keadilan. Atas nama kekuasaan dan nafsu yang koruptif, pasal hukum dimanfaatkan sebagai pembenaran.
Dalam kondisi krisis kepemimpinan dan ketidakhadiran pemerintahan, menarik dan aktual masalah kemerosotan etika publik pejabat. Tak hanya sebagai pemahaman, tetapi juga sebagai perekat dan pemicu kesadaran bersama perlunya memulihkan kembali kewibawaan jabatan publik.
Jabatan Direktur CIA lepas dari Jenderal David Petraeus.
Dominique Strauss-Kahn kehilangan kursi Direktur IMF. Itu baru dua contoh dari luar, belum di Indonesia. Dunia memang bergelimang dengan skandal seks, tulis Nigel Cawthorne (Sex Scandals, 2012), penulis produktif Inggris yang mengupas skandal seks tokoh dunia. Ringkasnya, skandal kekuasaan dekat dengan kekerasan, kemunafikan, dan seks.
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Kekuasaan memang memesona, membuat pemangkunya mudah gelap mata. Terus meruyak ketika proses peradilan bagi pelakunya serba nisbi. Belum lagi kebiasaan setempat atau negara ikut bicara. Taruhlah rakyat Amerika—menyangkut etika pejabat publik—konon sedikit longgar dalam mendudukkan skandal seks, tetapi keras-ketat dengan skandal korupsi.
Dikuatkan kebiasaan memainkan pasal hukum, hidupnya kembali budaya malu sebagai jalan keluar. Yang bersangkutan dihukum sosial oleh publik. Namun, ketika tingkat keserbabolehan tinggi, sehingga hukum sosial pun mandul, dalam koridor kewarasan (tidak main hakim sendiri), hadirnya lembaga publik menjadi keharusan.
Lembaga-lembaga itu—entah bentukan pemerintah seperti KPK, entah oleh kegiatan masyarakat warga seperti ICW—ibarat teman seiring yang harus terus didukung dan diperkuat. Merekalah teman seiring yang memperjuangkan terselenggaranya etika pejabat publik.
Kalau kondisi tergerusnya etika pejabat publik terus berlangsung, bobot dan kepemilikan kompetensi teknis, kepemimpinan, dan terutama kompetensi etis hilang. Hilanglah otoritas etis-moral-sosial pejabat publik. Mereka "yang bermasalah" tetap bercokol di jabatan, misalnya, tak punya otoritas moral lagi, juga yang dinilai berperilaku tercela di mata publik. Tidak pantas, tidak patut.
Dalam kasus di atas, terutama kasus skandal seks—taruhlah kasus Bupati Garut—sanksi moral publik perlu dibarengi dengan tindakan legal. Penegakan hukum bersamaan dengan jeritan publik niscaya bagian integral yang saling melengkapi bagi tegaknya etika pejabat publik.
(Tajuk Rencana Kompas cetak, 7 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger