Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 11 Desember 2012

Pemimpin Tanpa Keteladanan

SAIFUR ROHMAN

Setelah mencuat dalam pembicaraan publik, Presiden SBY akhirnya memerintahkan Mendagri menindaklanjuti kasus seorang pemimpin daerah di Jawa Barat (3/12/2012).

Ceritanya, sang bupati diduga melakukan tindakan melawan hukum karena menceraikan seorang perempuan melalui pesan singkat setelah empat hari akad nikah. Laporan media massa menyebutkan, alasan perceraian itu dianggap melecehkan martabat perempuan.

Respons Presiden terhadap kasus domestik itu memberikan sinyal adanya persoalan kepemimpinan yang perlu dicermati dalam pembangunan sistem kepemerintahan dan kenegaraan masa kini. Secara teoretis, kasus tersebut menyinggung unsur paling dasar dalam perbincangan etika kepemimpinan. Secara praktis, itu dapat dijadikan titik tolak mempertanyakan orientasi kepemimpinan republik ini untuk lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Bila bicara secara faktual, ke arah mana warga bangsa akan dibimbing oleh para maniak? Atau, bila pertanyaan itu dibalik, bagaimana etika kepemimpinan menjadi wacana kritis yang dominan dalam pemilihan pemimpin pada masa datang?

Menuju etika baru

Etika kepemimpinan, sebagaimana diungkapkan Friedrich Wilhelm Nietzsche, perlu mengarah pada penciptaan nilai baru yang berlandaskan pada keberanian. Nilai itu direpresentasikan melalui sosok ubermensch (adimanusia pencipta nilai). Pendeknya, sosok tersebut memiliki sikap mental Dyonisian yang berani menghancurkan tatanan lama dan membangunnya kembali berdasarkan nilai-nilai baru yang visioner. Nilai-nilai tersebut tidak hanya berlaku bagi pengikutnya, tetapi juga untuk dirinya sendiri.

Bila direfleksikan pada praktik kepemimpinan di Nusantara, metamorfosis nilai itu dapat diketahui jejaknya. Di dalam Nagarakrtagama karangan Mpu Prapanca pada masa Majapahit (ditulis pada 1365 Masehi), seorang pemimpin haruslah memiliki atribut pangaranarya. Istilah itu mengacu pada pengertian tentang pentingnya pembangunan sikap yang mampu memimpin dirinya sebelum memimpin para pengikutnya.

Prinsip keteladanan itu dalam perspektif postmodern biasa disebut sebagai leading for him/herself, memimpin untuk dirinya sendiri. Praktik kepemimpinan itu bisa dikatakan berhasil jika memiliki bukti ketika diterapkan pada dirinya sendiri. Dalam ungkapan retoris sehari-hari, bagaimana mungkin mampu memimpin orang lain, sementara dia tidak bisa memimpin dirinya sendiri.

Dalam praktik demokrasi sekarang, pencarian seorang ubermensch yang berani menciptakan nilai baru bukannya tidak ada. Contohnya, akhir November 2012, sebuah lembaga survei partikelir menggelar hasil penyelidikannya tentang 10 besar tokoh yang dianggap laik menjadi pemimpin negeri ini. Hasilnya adalah nama-nama yang sekarang menduduki jabatan partai politik, lembaga negara, dan tokoh-tokoh senior yang pernah menduduki posisi tertentu dalam lembaga tinggi negara. Dalam pengumuman itu tidak dicantumkan seorang tokoh yang memimpin sebuah partai besar di republik ini. Penelitian itu kemudian dianggap sebagai hasil kerja sekelompok orang yang tidak mewakili aspirasi bangsa.

Di luar hasil yang ditentang atau diterima beberapa pihak, fakta di atas menunjukkan betapa sangat mendesak menghadirkan pemimpin yang tak hanya mengandalkan kekuasaan yang diperoleh dari partai politik. Warga negara menuntut lahirnya pemimpin yang berhasil membawa nilai yang bisa diterima dengan akal sehat. Bentuk nilai tersebut sekurang-kurangnya bisa dijabarkan melalui pribadi-pribadi yang menginspirasi: visi jelas, mau bekerja keras, menembus batas-batas pencitraan, dan mendobrak kemandekan normatif yang selama ini terjadi.

Popularitas sebagai olok-olok

Itulah kenapa isu dalam pemilihan kepala daerah Jawa Barat bukan lagi persoalan popularitas. Sebab, isu popularitas telah menjadi norma masa lampau. Karena hanya menjadi mode zaman lalu, sebuah perbincangan akan menjadi olok-olok ketika seorang penyanyi dari sebuah grup musik melayu tiba-tiba bersedia dicalonkan menjadi presiden.

Kasus yang baru mengemuka adalah contoh lain tentang penerapan norma masa lalu. Ketika seorang penguasa yang berumur 40 tahun menikahi perempuan berumur 18 tahun, ini praktik-praktik normatif yang sudah ketinggalan zaman. Kendati jabatan itu diperoleh melalui jalur independen dalam perebutan kursi kepemimpinan, tetapi kasus itu mengingatkan pada perilaku penguasa yang mengambil apa saja di tanah kekuasaannya. Pada masa feodal, kekayaan alam, seperti kerbau, hasil perkebunan, sawah, ladang serta perempuan cantik dan muda dipersembahkan oleh warga untuk penguasa. Hal itu dilakukan karena penguasa adalah wakil dari dewa-dewa penguasa langit. Persembahan itu untuk menjamin wilayahnya jadi tenteram dan sejahtera.

Di negeri ini sudah cukup banyak daerah yang secara administratif memiliki kepala daerah, tetapi tak punya pemimpin. Sebab, kepala daerah yang memanfaatkan sumber daya di wilayahnya atas nama kekuasaan dengan sendirinya tidak memiliki mental kepemimpinan. Itulah pemimpin yang mewarisi mental penguasa.

SAIFUR ROHMAN Pengajar Program Doktor di Universitas Negeri Jakarta; Pengajar Psikologi Kepemimpinan di Pascasarjana Universitas Katolik Soegijapranata
(Kompas cetak, 11 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger