Munculnya berbagai penyimpangan sosial berkadar rendah, seperti gesekan atau benturan antarkelompok hingga yang berkadar tinggi berupa konflik sosial, sungguh memprihatinkan.
Sudah banyak contoh yang kita saksikan: mulai dari tawuran pelajar hingga konflik Ambon dan Poso. Padahal, pada masa lalu, tepatnya 28 Oktober 1928, pemuda- pemudi Indonesia menyatakan tekad membangun satu entitas baru yang menyatukan berbagai perbedaan besar di antara mereka. Itu pun terjadi dalam kondisi lingkungan sosial politik yang tidak mendukung karena masih dalam masa penjajahan.
Kini, setelah 84 tahun, paling tidak setelah satu generasi, kita bersyukur telah menikmati hidup sebagai bangsa yang diakui sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dalam naungan NKRI. Namun, segala yang dapat dinikmati hingga saat ini tidaklah taken for granted, tetapi harus dicapai dengan liku-liku dinamika perjuangan yang berat (struggle of life).
Mulai dari keinginan memisahkan diri dari NKRI (separatisme), konflik antarkelompok (SARA: suku, agama, ras, dan antar-golongan), dan aneka bentuk terorisme, narkotika, ataupun kejahatan transnasional.
Sekalipun ancaman musuh dari luar tak tampak secara signifikan, upaya melemahkan NKRI dari pihak luar tetap ada dengan memanfaatkan kondisi dalam negeri yang dimensinya bukan hanya penguasaan wilayah, melainkan juga penguasaan sumber daya alam. Hal ini sangat terasa ketika terjadi pergolakan politik di dalam negeri, seperti pada tahun 1965 saat perubahan ke era Orde Baru dan tahun 1998 saat perubahan ke era Reformasi.
Pada abad berakhirnya "pe - rang dingin", penyerangan satu negara ke negara lain dalam bentuk invasi untuk menjajah atau mencaplok wilayah negara lain tidak akan terjadi lagi, kecuali apa yang dilakukan Amerika Serikat (AS) terhadap Irak ataupun koalisi AS dan beberapa negara Eropa yang menyerang Libya. Memang mereka berdalih tak untuk mengambil alih wilayah, tetapi menjatuhkan rezim kekuasaan yang dianggap otoriter pun sebenarnya sudah merupakan invasi terhadap kedaulatan negara.
Ancaman dari dalam
Indonesia sebenarnya tidak perlu khawatir terhadap ancaman seperti itu karena yang paling berat justru ancaman separatisme dari dalam. Kehancuran akan datang dari kondisi dari dalam negeri, dan oleh karena itu, harus kita cegah dari sekarang.
Kita sudah melihat contoh bubarnya negara Uni Soviet dan negara Yugoslavia. Faktor yang membubarkan adalah perbedaan di antara penduduk, seperti etnik, bahasa, dan agama. Begitu faktor perekat dan pengikatnya lemah, terutama jika pengikatnya bertumpu pada ketokohan pemimpin, negara pun terpecah- belah.
Setelah kehancuran negara- negara tersebut, muncul teori "b a l k a n i sa s i ". Indonesia, sebagai salah satu negara yang kondisinya mirip, berpotensi mengalami balkanisasi. Lihatlah perbedaan itu, seperti etnik, bahasa, agama, dan antar-golongan. Apalagi di Indonesia, masih ditambah faktor lain yang sangat mendukung kehancuran, yaitu kondisi geografis berupa wilayah kepulauan yang terbentang luas.
Lalu, mengapa teori balkanisasi hingga saat ini tidak terjadi terhadap Indonesia?
Inilah saatnya kita merenungkan beberapa faktor penguat itu. Ada suatu peristiwa bersejarah dan sangat monumental untuk berdirinya "negara bangsa", yaitu Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Pernyataan "b a h a sa " yang satu, yaitu bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu, bukan Jawa, membuat semua suku termasuk yang kecil-kecil merasa diakomodasi kehadirannya.
Begitu pun dengan penggunaan bangsa Indonesia. Suku besar dan kecil melebur menjadi bangsa Indonesia. Suku yang besar tidak menunjukkan "b e sa r "- ny a , tetapi menghormati kebanggaan suku-suku kecil. Namun, itu terjadi saat negara ini masih dalam penjajahan Belanda.
Faktor lainnya, kita juga bisa lihat kekuatan para tokoh pendiri bangsa ini, yaitu saat menjelang kemerdekaan, untuk menyusun suatu dasar negara. Kali ini pun kelompok ataupun pemeluk agama yang lebih besar (mayoritas), yaitu Jawa dan Islam, menunjukkan jiwa besarnya untuk tidak memaksakan kemayoritasannya, tetapi memberikan payung untuk kenyamanan bagi yang kecil dan berbeda. Inilah yang menjadi dasar negara Pancasila dan tertuang dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara RI 1945.
Perlu kita ingat bunyi pembukaan (preambul), yang sekarang ini, bukan seperti yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Ini juga terjadi karena tokoh-tokoh Islam-lah yang dengan legawa telah menerimanya.
Faktor berikutnya adalah komitmen dari berbagai elemen bangsa ini serta para pemimpinnya dari masa ke masa. Komitmen tersebut ditunjukkan dari rezim satu ke rezim berikutnya. Misalnya, dari pendiri bangsa ke rezim Orde Lama, menyusul berikutnya rezim Orde Baru serta Orde Reformasi. Kita tak tahu apakah akan ada nama orde berikutnya (wallahualam), tetapi faktanya NKRI masih dapat kita pertahankan.
Penuh gejolak
Namun, harus diakui bahwa perubahan politik yang besar di Indonesia—seperti dari Orde Lama ke Orde Baru—sering menimbulkan jumlah korban manusia cukup besar, termasuk kerusakan materiil yang mengganggu kehidupan perekonomian rakyat pada umumnya. Demikian juga perubahan dari era Orde Baru ke era Reformasi, ada korban manusia bahkan diikuti kerusuhan yang bersifat SARA.
Pada tahun 1998 itu, dengan kehancuran di bidang perekonomian, kondisi keamanan di seluruh wilayah Indonesia semakin memprihatinkan. Terjadi serangan bom di tempat-tempat ibadah (gereja, masjid), tempat-tempat umum (pusat perbelanjaan), gedung pemerintahan (gedung DPR, Kejaksaan Agung, Mabes Polri), sampai dengan serangan teroris dalam kasus Bom Bali.
Munculnya konflik antarsuku dan agama, seperti kasus Ambon dan kasus Poso yang berlangsung cukup lama (lebih dari 6 tahun), juga kasus Sanggoledo di Kalimantan Barat, semakin mengancam keutuhan NKRI. Demikian pula halnya dengan berbagai bentuk kejahatan dengan kekerasan yang berlangsung secara massal, seperti penjarahan, ternyata makin menjauhkan tujuan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.
Penyerangan dan perusakan markas kepolisian—sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan negara—menunjukkan pentingnya kita kembali merenungkan persatuan dan kesatuan. Apalagi apabila ditambah dengan gangguan keamanan di wilayah Aceh ataupun Papua.
Jangan terulang
Kalau saat ini, kita telah mampu memulihkan dan mengatasinya, pertanyaannya, apakah ini tidak terulang?
Becermin pada perjalanan sejarah bangsa ini, tampaknya kita harus waspada agar peristiwa hitam yang merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terulang lagi. Maka, kita perlu mengembangkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
Pertama, dengan mengawal NKRI secara konstitusional agar setiap kali ada upaya amandemen UUD 1945 jangan sampai ada perubahan yang esensial terhadap pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. Memang tidak mudah, tetapi empat pilar yang ada, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, dapat menjadi pagarnya.
Garda akhir diperankan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, peran MK sangat ditentukan oleh hakim-hakim konstitusinya. Jadi, lembaga DPR yang bertugas memilih para hakim konstitusi harus memilih orang yang tepat dalam arti jujur, kompeten, dan dapat diandalkan integritasnya terhadap NKRI. Hakim konstitusi harus terbebas dari kepentingan politik golongan dan partai tertentu.
Kedua, tataran strategis operasional yang sangat ditentukan oleh peran institusi negara, termasuk partai politik dan para pemimpinnya. Jadi, kesetiaan para pemimpin semua institusi negara untuk tidak kompromi terhadap upaya melemahkan adalah keniscayaan karena NKRI harga mati.
Dengan demikian, adanya usaha pihak tertentu mengungkit hasil Pepera Irian Barat harus diredam. Prinsipnya adalah menegakkan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat ), bukan negara kekuasaan (machstaat). Artinya, negara harus lebih kuat dari kelompok apa pun yang menekan kekuasaan negara.
Pokok-pokok pikiran tersebut pada dasarnya sangat bergantung pada orang-orang yang mendapat peran untuk mengawal NKRI. Rakyat bisa menjadi sumber kekuatan yang mampu mendorong kohesi negara bangsa, sebagaimana diikrarkan pemuda-pemudi pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Semangat Sumpah Pemuda tetap relevan sepanjang kita semua berkomitmen terhadap NKRI.
DA 'I BACHTIAR Dubes Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk Kerajaan Malaysia (Mei 2008–Juni 2011); Jenderal Polisi (Purn); Kapolri (November 2001–Juli 2005), Utusan Khusus Presiden RI untuk Kerja Sama Negara EAGA (Desember 2005–saat ini)
(Kompas cetak, 10 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar