Angka korupsi yang sebenarnya jangan-jangan jauh lebih besar lagi. Bisa saja angka Rp 39,3 triliun hanyalah fenome- na sebagai fakta permukaan dari realitas korupsi yang berlapis-lapis di negeri ini. Sekalipun belum terungkap tuntas berbagai praktik korupsi, penyingkapan 1.408 kasus selama delapan tahun sudah membuat berbagai kalangan terperangah betapa korupnya sistem birokrasi Indonesia.
Upaya penyingkapan kasus korupsi di Indonesia termasuk sulit karena caranya semakin lihai. Sering terdengar, koruptor yang tertangkap dianggap sial atau disebut apes. Jika tertangkap pula, nilai uang korupsi jauh lebih tinggi ketimbang masa hukuman. Mungkin itulah alasannya tidak ada efek jera atas penindakan hukum terhadap kasus korupsi sebagai kejahatan yang bersifat kalkulatif. Koruptor menghitung-hitung, nilai uang korupsi lebih tinggi ketimbang masa hukuman yang relatif singkat.
Banyak pula tindakan korupsi yang bisa disembunyikan di balik pendekatan bersifat formal, bukan material. Jumlah orang atau hari bisa digelembungkan dalam kegiatan kedinasan. Kegiatan korupsi praktis merata dalam setiap tingkatan, mulai dari pusat sampai ke daerah. Praktik korupsi berlangsung di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan berbagai lembaga negara lainnya.
Upaya melawan korupsi di Indonesia termasuk persoalan absurd. Para pejabat lantang membicarakan tentang bahaya korupsi. Namun, tidak sedikit pula maling teriak maling. Begitu banyak undang-undang dibuat untuk mencegah korupsi, tetapi tidak efektif. Juga bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai moral dan spiritual yang menentang korupsi, tetapi korupsi justru berkembang subur.
Perjuangan melawan korupsi pun cenderung menemui jalan buntu. Semua menjadi bingung ketika ditanya dari mana harus memulai untuk mengurai bahaya korupsi di Indonesia yang telah menjadi benang kusut. Proses penyelesaian korupsi melalui jalur hukum pun terbentur mafia hukum, mafia peradilan. Benteng hukum, benteng kultural, dan benteng spiritual tampaknya tidak dapat menahan tekanan dan keganasan korupsi.
Persoalan macam ini tentu saja bukan khas Indonesia. Dalam sejarah, banyak negara akhirnya gagal, failed state, atau ambruk karena berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi keropos karena korupsi. Namun, tidak sedikit pula negara yang bertahan dan akhirnya maju pesat karena mampu melawan korupsi. Jika korupsi tidak bisa dilawan secara kultural dan hukum, perlu proses penukangan oleh pemimpin dalam melakukan terobosan.
Atas dasar itu, sangat dibutuhkan pemimpin yang memiliki personalitas kuat, memperlihatkan kredibilitas dan integritas diri, yang mampu melakukan tata kelola pemerintahan yang bersih dan efisien, good governance. Jauh lebih penting keteladanan.
(Tajuk Rencana Kompas cetak, 7 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar