Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 14 Januari 2013

Pemerintahan Federal Suatu Godaan

Oleh Miftah Thoha

Di awal reformasi, semangat melaksanakan sistem pemerintahan federal merebak. Banyak kalangan menginginkan sistem federalistik ini dipergunakan lagi setelah 32 tahun menjalani pemerintahan negara kesatuan yang sangat sentralistik.

Pemerintahan Presiden BJ Habibie menjawab keinginan itu dengan mengenalkan sistem pemerintahan yang demokratis. Langkah pertama membuka koridor demokrasi itu adalah dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang kebebasan pers. Rakyat tidak takut lagi berbeda pendapat. Mimbar kebebasan berpendapat dijamin undang-undang ini.

Koridor kedua dibuka dengan disahkannya undang-undang politik, yakni UU Nomor 2 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 tentang Pemilu, dan UU Nomor 4 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Tiga undang-undang itu disahkan tahun 1999. Dengan undang-undang politik ini, rakyat tidak perlu lagi takut memilih dan masuk ke serikat politik yang dikehendaki. Dua koridor demokrasi, kebebasan bersuara dan kebebasan berpolitik, merupakan jaminan pokok dari sistem pemerintahan yang demokratis.

Berikutnya, Presiden Habibie di bidang pemerintahan mengesahkan UU No 22/1999. Undang-undang ini dikenal dengan undang-undang tentang otonomi daerah, dengan menekankan desentralisasi luas kepada daerah. Semua kewenangan pemerintahan berada di pemerintah daerah, hanya lima kewenangan yang berada di pemerintah pusat.

Titik berat otonomi daerah berada di kabupaten dan kota. Partisipasi dan peranan rakyat daerah dan DPRD diberdayakan. Pemilihan kepala daerah ditentukan rakyat daerah itu sendiri melalui perwakilan di DPRD masing-masing. Undang-undang pemerintahan daerah inilah yang banyak ditafsirkan menyerupai sistem federalistik. Padahal, pemerintah berupaya mengenalkan sistem demokrasi dalam pemerintahan sistem kesatuan (unitary system) Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesatuan vs federal

Hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan terkonsolidasi pada level pemerintah nasional. Karena itu, kekuasaan di subsidiary unit (pemerintah daerah) sangat tergantung pada kemurahan hati pemerintah nasional mendesentralisasikannya (at the pleasure of the central government).

Demokrasi atau tidaknya suatu sistem pemerintahan sangat tergantung pada pemerintah nasional. Oleh karena itu, dalam negara kesatuan desentralisasi atau sentralisasi amat ditentukan oleh cara atau sistem yang dipilih pemerintah nasional. Pada suatu masa negara kesatuan bisa bersistem otoritarian atau konstitusional, demokratik atau sebaliknya. Bisa atau tidak bisanya otoritas didistribusikan secara horizontal ditentukan oleh sifat dari the pleasure of central government tersebut (Encyclopedia Americana, vol 13, Grolier Inco., 1995). Negara-negara Kerajaan Inggris Raya, Perancis, dan Jepang mengikuti sistem negara kesatuan seperti yang diuraikan di depan (Austin Ranny, Governing, an Introduction to Political Science, 1996).

Dalam sistem federalistik, peran subsidiary level (negara bagian) sangat besar. Kekuasaan menjalankan pemerintahan berada di tangan negara bagian. Pemerintah federal menerima pelimpahan kekuasaan dan kewenangan dari negara bagian. Hal ini karena pada awalnya negara bagian adalah suatu bentuk negara yang berdaulat. Meski demikian, kewenangan pemerintah federal yang sudah disepakati negara-negara bagian bisa juga mengintervensi kekuasaan di semua negara bagian.

Kita telah memilih pemerintahan dengan sistem negara kesatuan. Kita pun pernah melaksanakan pemerintahan federal pada awal berdirinya negara. Positif-negatifnya kedua sistem telah kita rasakan. Akankah kita tergoda lagi untuk mencoba pemerintahan federal yang wilayah negaranya sangat bervariasi, terdiri dari gugusan pulau-pulau yang terpisahkan oleh laut sehingga membutuhkan suatu kesatuan dan persatuan?

Muka baru pemerintah

Pemerintahan Presiden Habibie, walaupun singkat, telah menetapkan suatu kebijakan yang sangat fundamental untuk dilaksanakan di negara kita, yakni pemerintahan yang demokratis. Jika sekarang ada keinginan kembali lagi ke sistem federal, ada baiknya kita mengingat kembali dan memperkuat cita-cita pemerintahan demokrasi yang dirintis Presiden Habibie.

Tinggal kita sekarang mengisi dan mengembangkan citra pemerintahan yang demokratis itu. Pada awal usia republik ini kita pernah mengenal pemerintahan yang demokratis seperti diajarkan Bung Hatta bahwa yang berdaulat itu rakyat, bukan tuanku. Bung Hatta sekali lagi juga mengajarkan kepada kita bahwa Indonesia terdiri dari daerah-daerah yang berbeda satu sama lain, tetapi keluar kita seikat.

Sekarang pemerintahan kita sangat kental dengan perburuan kekuasaan di tingkat nasional dan daerah. Perburuan kekuasaan inilah yang harus dicairkan dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis, seperti yang diajarkan Bung Hatta.

Selain itu, David E Mcnabb dalam The New Face of Government (2009) menyatakan, banyak terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan sekarang. Pelaksanaan otoritas pemerintahan yang bersifat top-down, mengikuti garis hierarki atas-bawah, telah banyak ditinggalkan, diganti dengan networking system dan collaborative system yang memungkinkan semua sektor publik, masyarakat, organisasi nonprofit, dan lainnya bekerja sama dalam jaringan pemerintahan. Hal ini berarti me-reinventing pelaksanaan kekuasaan yang bersumber dan berlokasi di hierarki atas.

Oleh karena itu, sentralisasi yang masih kental sekarang ini perlu dikendurkan dan desentralisasikan benar-benar kepada daerah. Berikan kewenangan kepada kepala daerah dan pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan sesuai kondisi daerah masing-masing.

Desentralisasi artinya daerah diberi hak membuat kebijakan mengatasi masalah yang timbul di daerah sesuai dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan daerah. Memberikan hibah APBD ke madrasah, misalnya, merupakan deskripsi kebijakan daerah agar tidak diatur lagi oleh peraturan pemerintah atau keputusan mendagri.

Kepala daerah yang berdemonstrasi mengkritisi rencana kebijakan pemerintah pusat menaikkan harga BBM jangan lalu diancam akan dihukum oleh mendagri. Kepala daerah kabupaten yang nikah siri pun bukan lagi urusan mendagri. Biarlah gubernur yang menanganinya. Bukankah gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah.

Menentukan besar kecilnya organisasi pemerintah daerah janganlah banyak diatur oleh peraturan pemerintah atau Kemendagri. Berdayakanlah pemerintahan daerah agar mampu mengentaskan orang dari kemiskinan yang banyak muncul di daerah. Dengan demikian, pelaksanaan sistem pemerintahan kesatuan yang demokratis tak akan tergoda lagi dengan sistem federal. Tata cara pemerintahan yang berbasis hierarki ini perlu dikritisi agar pemerintahan kesatuan yang demokratis bisa dirasakan bersama dan kita tidak tergoda lagi oleh federalisme.

Miftah Thoha Pengamat Pemerintahan, Tinggal di Yogyakarta
(Kompas cetak, 14 Jan 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger