Oleh MARWAN MAS
Makin hari korupsi kian mengepung negeri ini. Ditandai begitu banyak kasus korupsi yang terungkap, tetapi pengungkapan itu tidak juga membuat pejabat negara takut atau paling tidak merasa malu.
Praktik busuk menyelewengkan uang rakyat terus dilakukan, bahkan dengan cara-cara lebih masif, sistematis, dan terencana. Ada sinyal kuat praktik korupsi bertumbuh bukan lagi mengikuti deret hitung, melainkan menuruti deret ukur. Korupsi telah jadi epidemi yang membahayakan kelangsungan pembangunan.
Belum terlihat upaya pemerintah secara sistematis untuk menghambat pergerakannya. Malah ada upaya menoleransi pejabat negara yang korupsi jika tidak mengetahui kebijakan yang dikeluarkannya dilarang.
Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan Hari Antikorupsi dan Hak Asasi Manusia Sedunia, Senin (10/12), bisa dijadikan salah satu indikatornya. Presiden membagi dua model pejabat negara yang terlibat korupsi. Pertama, korupsi yang memang diniati untuk memperkaya diri. Kedua, korupsi yang terjadi karena ketidakpahaman pejabat bahwa yang dilakukannya merupakan korupsi. Pernyataan ini bisa membuat masyarakat makin permisif.
Asas hukum
Tak bisa tidak, pernyataan Presiden SBY menjadi tidak produktif dan menimbulkan kehebohan di ruang publik. Lantaran pesan tak bisa diterima nalar masyarakat sesuai yang dikehendaki, menyebabkan komunikasi Presiden SBY gagal membangun kesepahaman bersama untuk melawan perilaku korup. Seharusnya pidato memperingati Hari Antikorupsi bernuansa membangkitkan semangat dan menyatukan energi publik dan aparat hukum sebagai sebuah kesadaran urgennya menjaga uang rakyat dari tangan-tangan jahil.
Sikap inkonsisten yang disampaikan, di tengah negeri ini masih dibelit praktik korupsi, setidaknya membuat publik semakin bingung. Padahal, publik selalu diceramahi bahwa pemerintah mendukung penuh pemberantasan korupsi. Akan tetapi, setelah salah satu menteri dijadikan tersangka oleh KPK, tiba-tiba Presiden memberi sinyal bahwa negara wajib menyelamatkan mereka yang tidak punya niat melakukan korupsi sehingga salah di dalam mengemban tugas.
Rupanya Presiden SBY abai terhadap asas hukum iedereen wordt geacht de wette kennen bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum. Apabila suatu peraturan perundang-undangan sudah dinyatakan berlaku, maka semua orang dianggap telah mengetahuinya. Tidak ada alasan untuk mengelak bagi yang melanggarnya. Tak terkecuali bahwa ketentuan itu belum diketahuinya sehingga harus dikasihani dan ditoleransi. Apalagi seorang pejabat negara diangkat pada jabatannya lantaran dinilai cakap akan segala hal berkaitan dengan hukum dan ketatanegaraan.
Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan "Indonesia adalah negara hukum", bisa tergerus akibat dibelenggu hukum rimba. Asas hukum sebagai prinsip-prinsip fundamental dalam penegakan hukum jadi tercabik- cabik jika setiap orang bisa beralasan tidak mengetahui bahwa tindakan yang dilakukannya melanggar hukum. Tidak ada alasan sekecil apa pun memberikan toleransi kepada pejabat negara yang menyelewengkan uang rakyat.
Pejabat kredibel
Setiap pejabat negara seharusnya kredibel, setidaknya tahu dan paham batas-batas perbuatan yang beraroma korupsi. Maka, sungguh sulit diterima logika dengan mengandaikan ada pejabat negara yang tidak tahu atau tidak paham bahwa kebijakan yang dikeluarkannya melanggar hukum. Jika ada pejabat negara yang terjerat korupsi dengan alasan tidak tahu bahwa itu dilarang, akan dibawa ke mana negeri ini?
Cara berpikir seperti itu justru akan membahayakan semangat pemberantasan korupsi. Bagaimana mungkin ada pejabat pemerintah tidak tahu peraturan berkaitan dengan kewenangannya, bahkan tidak mampu membaca godaan korupsi sehingga terjebak kasus korupsi? Jika membenarkan pejabat negara yang melakukan korupsi hanya dengan alasan tidak mengetahui bahwa itu dilarang, berarti presiden kecolongan karena mengangkat pejabat negara yang tidak cakap dan tidak kredibel.
Perilaku korup sulit diasumsikan tanpa dilandasi kesadaran kalau kewenangannya dalam mengelola anggaran negara telah menyalahi ketentuan yang berlaku. Boleh jadi hanya pura-pura tidak tahu, atau bahkan akal- akalan, untuk tidak mengerti praktik korupsi. Jika pernyataan Presiden betul-betul diimplementasi, para pejabat korup cukup minta maaf, lalu aparat hukum memberikan ampunan karena mereka korupsi akibat tidak mengetahui bahwa itu dilarang.
Kalaulah maksud Presiden negara wajib memberikan pembelaan karena pejabat itu belum tentu bersalah, tentu masih bisa diterima. Tetapi, apa mau dikata, publik telanjur memersepsi pernyataan itu sebagai sikap Presiden memberikan toleransi kepada pelaku korupsi.
Presiden dianggap turut permisif terhadap kasus korupsi, seolah-olah korupsi bukan lagi perbuatan hina dan jahat. Komunikasi Presiden yang selalu tertata dan terukur, tetapi lagi-lagi memicu gairah produktif untuk dipolemikkan.
MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(Kompas cetak, 2 Jan 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar