Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 12 Februari 2013

Ekses Ekonomi Rente Impor Daging

Rochadi Tawaf

Artikel Khudori bejudul "Ekonomi Rente Impor Daging" (Kompas, 7/2) sungguh suatu analisis yang dapat menyesatkan pikiran para pembacanya sehingga perlu dikritisi.

Pasalnya, analisis bisnis daging impor tidak sesederhana seperti digambarkan dalam artikel tersebut. Sebenarnya, impor daging sapi, menurut Permentan Nomor 50 Tahun 2011, hanya bagi pasar industri pengolahan daging dan daging berkualitas bagi hotel, katering, dan restoran. Jadi tidak benar seolah-olah daging impor tersebut masuk ke pasar umum.

Jika dikaji lebih dalam, industri pengolahan ini hanya membeli daging-daging berkualitas rendah, tetapi tentu dengan harga yang relatif murah bagi industri ini. Sementara untuk daging-daging berkualitas harganya jauh lebih mahal ketimbang daging lokal. Lebih-lebih bila yang dikehendaki bersertifikasi halal.

Membandingkan harga daging seharusnya tidak sembarangan. Maksudnya, harga daging di Indonesia tidak bisa diperbandingkan dengan harga daging di India yang masyarakatnya tidak mengonsumsi daging sapi dan negaranya pun belum terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Demikian pula Malaysia dan Jepang. Kedua negara ini pun belum terbebas dari PMK.

Mahalnya harga daging di Indonesia sebenarnya merupakan insentif dari bebasnya negeri ini terhadap penyakit PMK. Meskipun demikian, memang benar ada selisih harga yang cukup signifikan. Namun, yang sangat berbahaya adalah pola para pemburu rente yang memanfaatkan masuknya daging-daging dari negara yang belum terbebas PMK yang selama ini selalu giat dipromosikan oleh para pedagang daging dari India dan Brasil.

Para pemburu rente mampu meyakinkan sementara pihak bahwa karut-marut swasembada daging sapi saat ini bukan karena upaya peningkatan produksi daging sapi di dalam negeri, tetapi justru disebabkan beberapa pasal dalam Undang-Undang (UU) No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah direvisi Mahkamah Konstitusi, yang melarang masuknya daging impor dari zona negara yang belum bebas PMK.

Adapun mengenai terjadinya ekonomi rente, menurut Khudori, disebabkan pemangkasan kuota impor dari 35 persen pada tahun 2011 menjadi 15,5 persen pada 2012, dan 13,4 persen di tahun 2013. Pemangkasan kuota tersebut sama artinya memangkas kue importir dan pebisnis daging. Alhasil, Khudori menyimpulkan, apakah pemangkasan ini by design agar kuota bisa diperjualbelikan?

Kesalahan persepsi

Kesimpulan pernyataan ini sangat "tendensius". Pada kasus ini, penulis punya persepsi lain. Benar pemangkasan tersebut adalah bagian dari rencana yang tertuang dalam "cetak biru swasembada daging", yang dengan kata lain by design.

Pada posisi ini harus dipahami, para pelaku bisnis, baik itu para pengusaha penggemukan maupun pengelolaan daging sapi, segera membina dan menggunakan produk bahan baku daging sapi ataupun sapi bakalan hasil produksi dalam negeri. Tanpa kesadaran tersebut, sampai kapan pun negeri ini akan bergantung pada bahan baku impor.

Para pengusaha penggemukan sapi seharusnya melakukan kemitraan dengan peternakan rakyat agar mendapatkan bakalan yang sesuai standar industri penggemukan sapi potong. Demikian pula para pengusaha pengolahan daging seharusnya melakukan pembinaan terhadap rumah potong hewan (RPH) agar dihasilkan produk daging yang sesuai kebutuhan industrinya.

Artinya, agro-industri sapi potong dari hulu sampai hilir dibina secara intensif oleh pemangku kepentingan masing-masing. Misalnya, subsistem hulu, khususnya ketersediaan bibit, merupakan domain pemerintah seperti diatur dalam UU No 18 Tahun 2009. Realisasinya menuntut peran BUMN untuk menyediakan bibit sapi, bukan bergerak di penggemukan sapi potong seperti yang terjadi saat ini. Di subsistem budidaya diperlukan peran perusahaan penggemukan dalam membina petani budidaya. Sementara di subsektor hilir dilakukan pembinaan RPH oleh para pelaku bisnis pengolahan.

Kondisi karut-marut perdagingan saat ini sebenarnya ekses dari kesalahan persepsi mengenai hasil sensus pada Juni 2011. Dengan hasil itu, Menteri Pertanian menyatakan kita sudah mencapai swasembada daging sapi.

Kesalahan persepsi ini fatal akibatnya sebab berbeda dengan fakta. Sebenarnya keberadaan sapi tersebut masih bersifat populasi potensial, belum siap potong. Sebab, peternak di negeri ini masih memeliharanya sebagai rojo koyo, bukan sebagai komoditas bisnis berskala ekonomi. Belum lagi infrastruktur yang tidak kondusif dalam sistem logistik sapi potong sehingga biaya transportasi menjadi mahal.

Dampak negatif lanjutan yang serius dan perlu perhatian adalah terjadinya depopulasi sapi perah. Di Jawa Barat saja telah terjadi penurunan populasi sapi perah tidak kurang dari 20.000 ekor. Hal ini terutama disebabkan tingginya harga pakan yang tidak diimbangi kenaikan harga susu sapi di satu sisi dan di sisi lain tingginya harga daging yang diikuti kesulitan para jagal memperoleh sapi potong.

Semua ini sebenarnya ekses dari ekonomi rente impor daging sapi yang tidak berpihak pada pembangunan sistem industri peternakan sapi potong rakyat.

Rochadi Tawaf Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran; Ketua I PB ISPI
(Kompas cetak, 12 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger