Oleh Davy Hendri
Rencana pengesahan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang diinisiasi DPR masih menemui hambatan.
Dalam proses pembahasan, pihak pemerintah belum sepakat dan masih meminta waktu untuk pembahasan detail beberapa pasal krusial. Pasal-pasal krusial dimaksud berupa pasal tentang kewajiban pemerintah dalam mengalokasikan anggaran publik (pemerintah) dalam skema asuransi dan pembiayaan bagi petani. Agaknya petani masih harus bersabar untuk dapat menikmati realisasi institusi keuangan semacam bank, asuransi, dan lembaga pembiayaan yang diperuntukkan khusus bagi mereka.
Alotnya pembahasan pasal kewajiban penyertaan anggaran publik dalam skema program pada beberapa RUU bukan cerita baru. Perbedaan paradigma antara berbagai pihak ditengarai jadi penyebab hal ini. Bukan hanya antara pemerintah dan DPR, tetapi juga antarkementerian di lingkup pemerintahan sendiri.
Terkait RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Kementerian Pertanian yang sejak 2010 memulai Lembaga keuangan Mikro Agribisnis dalam skala kabupaten/kota dan merencanakan berdirinya sebuah bank pertanian berskala nasional dalam renstra 2009-2014 ternyata sampai hari ini "belum mampu meyakinkan" Kementerian Keuangan akan urgennya peranan pemerintah bagi eksistensi institusi keuangan khusus petani.
Menjelmakan sebuah institusi keuangan khusus bagi petani dan sektor pertanian memang tak mudah. Program ini merupakan pekerjaan besar. Di satu sisi, tidak ada satu pihak pun yang tidak menyadari pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian bangsa. Namun, di sisi lain, terkait kewajiban alokasi anggaran publik bagi sebuah institusi keuangan khusus petani ceritanya menjadi lain. Semangat prudent fiscal policy sebagai wujud reformasi tata kelola keuangan negara yang diusung Kementerian Keuangan—tidak dapat disangkal—telah mengerem laju semangat menggebu dari beberapa pihak yang peduli dalam menyuarakan hal ini. Imbasnya, Kementerian Keuangan dituding sebagai salah satu institusi yang paling kekeuh menolak pasal-pasal dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tersebut.
Inkonsistensi pemerintah
Dari sisi kredo akuntabilitas program, kapasitas pengelola, dan efisiensi pengeluaran, sikap Kementerian Keuangan wajar. Teramat riskan menggelontorkan triliunan rupiah untuk sebuah sektor berisiko ekonomi tinggi melalui skema (institusi keuangan khusus) yang juga masih dipertanyakan efektivitasnya.
Namun, dari sisi kewajiban perlindungan pemerintah, baik dari sisi praktis maupun strategis, sikap Kementerian Keuangan ini menyiratkan inkonsistensi. Pemerintah yang visioner dan konsisten merupakan syarat mutlak bagi pemerintahan yang baik. Visi dan konsistensi pemerintah adalah stimulus bagi kepercayaan dan partisipasi berbagai pihak dalam mewujudkan program yang telah dirancangnya sendiri. Inilah poin paling utama.
Setelah itu diperoleh, berbagai opsi dan penyesuaian dengan kondisi lapangan, pembentukan institusi keuangan khusus petani itu, pun layak dikontestasi untuk jadi salah satu opsi solusi. Pengalaman sejumlah negara di Asia Selatan menunjukkan, pangsa pasar petani gurem dan sektor informal sekalipun—terkategori bottom of pyramid—telah dikelola dengan baik oleh institusi keuangan global sekelas AIG dan Grameen Bank.
Eksisnya institusi keuangan khusus bagi petani memang bukan jaminan pasti akan membaiknya nasib petani kita. Namun, kita juga harus merujuk pada Amartya Sen yang mengatakan, pembangunan berarti memberikan kemerdekaan dan kebebasan seluasnya bagi warga untuk memilih posisi dan bentuk kontribusi dalam proses pembangunan.
Hal ini hanya akan tercipta jika pemerintah memberikan akses yang sama bagi semua aktor perekonomian. Akses petani terhadap lembaga keuangan formal merupakan keharusan guna perbaikan taraf hidup mereka yang berkait-berkelindan dengan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi bangsa.
Mengherankan jika Kementerian Keuangan sebagai institusi tempat berkumpulnya para aparatur sipil pemerintah terbaik di negeri ini tidak mampu (tidak mau?) memberi alternatif konsep institusi keuangan khusus petani. Akan tetapi, agaknya lagi-lagi upaya perlindungan petani kita berakhir di jalan buntu
Davy Hendri Dosen Jurusan Ekonomi Islam pada Fakultas Syari'ah IAIN Imam Bonjol, Padang
(Kompas cetak, 1 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar