Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 Februari 2013

Kesadaran Hukum Kemendikbud

Oleh Budi Santosa

Setelah dihujani kritik tajam tentang kurikulum 2013, Kemendikbud dikritik lagi sebagai kementerian dengan kesadaran hukum paling rendah (Utomo Dananjaya, Kompas, 1/2, dalam opininya, "Pendidikan dan Konstitusi").

Wajar bila kementerian atau lembaga yang banyak bersinggungan dengan urusan masyarakat luas mendapat sorotan, kritik, bahkan tuntutan hukum. Kemendikbud akhir-akhir ini sering menjadi obyek kritik, tetapi tak berarti ia paling buruk atau lemah kesadaran hukumnya.

Kemendikbud mengurus hal yang bersinggungan hampir dengan setiap orang atau keluarga. Kita tahu banyak kementerian yang jarang diberitakan dan dibicarakan, bahkan kita tak tahu apa yang mereka lakukan. Berapakah dari kita tahu yang dilakukan Kementerian Koperasi atau Kementerian Sosial?
Begitu juga personel menteri yang paling banyak melakukan perubahan (meski kadang tak berhasil), pasti dia paling sering dihujani komentar dan kritik. Mau aman dari kritik? Duduk manis. Namun, bukan itu yang dibutuhkan negara ini. Lebih baik berbuat sesuatu yang diyakini benar meski banyak dikritik.

Tidak tepat

Ketika Utomo menyatakan Kemendikbud adalah kementerian yang paling lemah kesadaran hukumnya, kita tahu pernyataan itu tidak tepat. Kita bisa membandingkannya dengan kementerian lain yang tidak mendapat tuntutan hukum dari masyarakat atau kementerian lain yang tak kedengaran kabar apa yang ia lakukan. Mungkin di sana pelanggaran hukum lebih besar.

Mestinya, fakta-fakta dari lembaga setingkat harus dilihat lebih akurat. Kasus yang disampaikan dalam tulisan itu sebagai bukti kerendahan kesadaran hukum pun tak tepat. Pertama, pemerintah (mungkin juga DPR) tak melaksanakan amanat konstitusi, tak mengalokasikan 20 persen APBN untuk dana pendidikan. Jelas, ini domain pemerintah pusat, bukan Kemendikbud. Mengapa Kemendikbud yang disalahkan? Kedua, kasus pembubaran pelaksanaan ujian nasional (UN) yang sudah sampai ke tingkat kasasi. Kalau MA menolak adanya UN, apakah di sekolah tak akan dilakukan evaluasi untuk menentukan kelulusan? Lalu, bagaimana bentuk jaminan mutu pendidikan di sekolah? Tentu Kemendikbud punya banyak alasan melakukan itu. Tak semua siswa atau masyarakat menolak UN. Fakta bahwa UN punya kelemahan, itu harus diakui dan akan terjadi jika diganti dengan sistem lain. Ketika Kemendikbud punya ide UN dibuat beda untuk Jawa dan luar Jawa, buru-buru satu daerah dari Indonesia timur protes bahwa mereka tidak mau dikelasduakan.

Dalam hal RSBI, mestinya harus dipilah antara UU dan pelaksanaan. Dalam pelaksanaan, banyak sekolah berkategori RSBI memungut biaya mahal, mestinya bukan UU-nya yang disalahkan. Benarkah pemerintah memberi dana dan mengistimewakan RSBI? Mungkin benar, tetapi rasanya wajar sekolah bagus mendapat dana lebih karena memang dana diberikan berdasarkan kriteria mutu.

Itu juga terjadi dalam pelaksanaan pendidikan tinggi. Universitas bermutu akan cenderung dapat bantuan lebih besar, baik melalui penelitian maupun sumbangan khusus untuk, misalnya, dapat akreditasi internasional. Kenapa tak semua perguruan tinggi negeri mendapatkannya? Tak benar RSBI membatasi rakyat miskin sekolah di sana. Semua siswa bisa masuk asal memenuhi syarat akademis. Kalau di RSBI Jakarta terjadi pungutan besar, di Surabaya itu tak terjadi. Ini jelas bukan soal UU, tetapi implementasi. Yang dituntut mestinya bukan UU-nya.

Untuk kasus lain bisa juga diberikan argumentasi akademik. Kita perlu melengkapi kerangka berpikir kita bahwa pengadilan tak selalu mengambil keputusan cukup obyektif. Pengadilan tidak sedang mengadili kasus pidana atau perdata yang lebih jelas hitam putihnya. Mengadili kebijakan dan aturan tentu sangat bergantung pada kondisi persidangan, misalnya saksi ahli yang diundang. Jika saksi yang didatangkan tak obyektif, putusan yang diambil bisa tak obyektif. Masyarakat juga perlu menimbang apakah suatu kebijakan perlu diajukan ke pengadilan dari sisi kemanfaatan dan kerugiannya bagi masyarakat luas.

Budi Santosa Ketua Jurusan Teknik Industri ITS

(Kompas cetak, 23 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger