Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 13 Februari 2013

Pers, Indonesia dan Kemanusiaan Kita

Djoko Suyanto

Kita hidup di suatu zaman di mana pers, media massa, adalah kekuatan yang luar biasa!

Dengan bantuan teknologi komunikasi yang kian personalized, praktis setiap orang di sudut dunia yang berbeda-beda kini sama-sama memulai pagi dengan berita, menjalani hidup dengan berita, dan menutup hari dengan berita. Ada joke yang sangat mengena bahwa orang zaman sekarang bangun tidur bukan mencari anak, suami, atau istri, melainkan mencari Blackberry.

Begitulah, media dan informasi melekat pada kehidupan sehari-hari dalam suatu hubungan intim yang demikian ekstrem, mengubah kehidupan manusia dan mentransformasi masyarakat dalam cara dan akibat yang sebelumnya sulit dibayangkan.

Begitu kuatnya kekuasaan pers hingga ada pendapat ahli yang menyebut ia bisa membentuk kenyataan dan mengonstruksi kebenaran. Mungkin ini yang dimaksud dalam teori-teori sosial sebagai the politics of truth, siasat atau upaya menentukan dan memengaruhi kesadaran publik supaya sesuatu dianggap benar atau dianggap salah.

Kebenaran lalu jadi relatif, terserah bagaimana pers menyajikan, dan bergantung intensitas dan frame pemberitaan. Dengan kekuatan ini, perlu dicatat, pers bisa membentuk siapa pahlawan dan siapa penjahat. Sebuah real power yang sangat besar! Dalam bentuknya yang ekstrem dan keliru, kekuasaan yang besar itu kita saksikan dalam skandal penyadapan telepon oleh News of The World, harian yang diterbitkan grup konglomerat News International milik Rupert Murdoch. Dunia kaget saat terungkap, pers tidak hanya menyadap telepon keluarga korban pembunuhan, tetapi juga menyuap polisi untuk mendapat berita. Begitu besarnya kekuatan pers di alam demokrasi sampai bisa menyadap dan mengatur aparat selayaknya negara.

Di Indonesia lain lagi. Media massa membentuk pahlawan dan tokoh idolanya sendiri. Celakanya, tidak jarang orang yang terlibat berbagai pelanggaran hukum dan penindasan demokrasi di masa lalu kini ditampilkan pers sebagai pahlawan demokrasi atau antikorupsi.

Nalar publik

Bilamana kekuasaan pers digunakan dengan benar? Demokrasi, dalam arti paling sederhana, adalah pemerintahan yang tumbuh berdasar kedaulatan rakyat. Partisipasi dalam demokrasi hanya bisa terselenggara dengan baik jika publik dapat informasi yang baik. Di sinilah fungsi pers menjadi penting karena partisipasi demokratis warga hanya bisa efektif oleh adanya kebebasan pers. Kebebasan pers adalah janji dan fondasi dari suatu open society. Pers dalam demokrasi mengerjakan tugasnya dengan benar manakala pers mampu memperkuat dan membuat efektif nalar publik. Nalar publik berfungsi memeriksa semua bentuk relasi, tujuan, dan kepentingan politik dengan memanfaatkan ruang kebebasan berupa aksesibilitas publik pada informasi, plus kebebasan berpikir, berpendapat, dan menyatakannya.

Lebih jauh, nalar publik adalah representasi partisipasi yang tecermin dalam perbincangan warga yang serius mengenai konstitusi, kebijakan, dan berbagai praktik penyelenggaraan kekuasaan negara. Namun, partisipasi dan keterlibatan warga bukanlah sekadar asal ikut, asal tampil, asal muat, dan sekadar sensasional. Nalar publik harus ditandai kehendak ke arah kebaikan yang sifatnya universal. Bagi saya, itu adalah kemanusiaan! Sejauh mana pers mampu berdiri mengatasi berbagai prasangka, dan sebaliknya dengan profesionalisme yang kuat dan nyata, mendorong dan merawat nalar publik yang sehat, yang memajukan martabat dan kemanusiaan Indonesia dalam segala cuaca.

Tentu saya menyadari, dalam konteks pers sudah benar-benar berdiri sebagai industri, kepentingan yang bersifat privat tak dapat sepenuhnya dihindari. Apalagi, dalam konteks pers berkombinasi dengan politik dan bisnis. Dalam keadaan itu, mudah sekali kepentingan partikular menjadi dominan dan menggeser nalar publik. Dalam kondisi pers berubah menjadi sepenuhnya industri dan politik, tujuan pers bisa bergeser bukan lagi pada kebenaran dan kemanusiaan, melainkan pembentukan massa dukungan dan konsumen. Ini harus kita hindari.

Paradoks yang menjadi tantangan dari setiap media dan pekerja pers di Indonesia saat ini adalah bagaimana pers tetap memelihara diri sebagai kekuatan etis yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal bersamaan dengan posisinya sebagai bagian dari mesin industri dan komoditas. Mempertimbangkan paradoks ini, saya sempat pesimistis. Pesimisme saya hapus setelah menemukan rumusan Kode Etik Jurnalistik, yang Pasal 1 memaklumkan jati diri yang sangat terang dan berani, "Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk." Semakin kagum ketika membaca bagaimana pasal itu ditafsirkan, "Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers."

Saya berkeyakinan, jurnalis Indonesia yang hebat pasti mampu mengatasi paradoks industri media masa kini. Frasa "independen" dan "nurani" dalam pasal satu dan penafsirannya itu menyadarkan saya, tugas pers memang bukan melayani kepentingan yang terfragmentasi, bukan abdi kepentingan kekuasaan, apalagi kepentingan sensasi diri, melainkan melayani kemanusiaan dan nurani!

Tanggung jawab

Saya kira tepat, dalam merayakan Hari Pers Indonesia, kita bicarakan sekali lagi masalah tanggung jawab, bukan tanggung jawab dalam arti masa lampau tentu saja. Menuntut tanggung jawab semata-mata sebagai tanggung jawab adalah dominasi. Itu keliru dan sudah sangat jauh ketinggalan zaman. Yang saya maksudkan, tanggung jawab sebagai etika kebebasan. Tanggung jawab yang terbit dari kebebasan justru untuk memeliharanya.

Adalah demokrasi yang memberikan kebebasan kepada pers dan semua warga negara ini. Di dalam kebebasan itu, kita kini tentu bisa bicara tanpa prasangka mengenai tanggung jawab pers. Tanggung jawab ini mesti dibicarakan, justru karena adanya kekuatan kebebasan mengalir di dalam nadi pers Indonesia. Tanggung jawab ini perlu dipenuhi karena kini pers punya kekuasaan luar biasa. Contoh yang dekat bagi keperluan ini sudah menunggu di depan mata, yakni Pemilu 2014, yang kendati pasti bising, sangat penting.

Sering kali, dalam kontestasi dan fragmentasi, orang demikian terbius dalam kepentingan dirinya, sedikit melupakan dasar di mana kita semua berada. Dalam sejarah berbagai peristiwa, kita sering juga terperangah dan dengan getir melihat berbagai cara orang dalam meraih kekuasaan. Dalam perburuan kepentingan dan kekuasaan, orang dibuat lupa siapa dirinya, kemanusiaannya.

Namun, dengan independensi profesi dan nurani pers Indonesia, semoga di atas segala kontestasi itu nanti, orang-orang Indonesia, kita semua, masih bisa membaca sesuatu yang benar, baik, dan bernilai. Semoga kita masih akan mendapat informasi yang memperkuat dan menggugah rasa kemanusiaan kita. Tanggung jawab itulah yang kita semua harapkan dari pers Indonesia. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, hiduplah kebebasan pers di Indonesia!

Djoko Suyanto Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan RI
(Kompas cetak, 13 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger