Oleh Yonky Karman
Gerak-gerik tubuh Republik memperlihatkan gejala pikiran kacau. Lakunya tak mencerminkan kata-kata yang termaktub dalam konstitusi. Dokumen rahasia negara bisa bocor dan memicu gonjang-ganjing politik. Penegakan hukum berorientasi kekuasaan. Tiap orang tidak sama di depan hukum. Rakyat kecil segera ditahan, tetapi putra pejabat bebas berkeliaran.
Tak jelas Republik akan dibawa ke mana. Penyelenggara Republik sibuk dengan urusan partai daripada urusan (re) publik. Manusia Indonesia di era Reformasi masih yang itu-itu juga. Silau oleh kemilau materi. Terpesona oleh kemuliaan takhta. Uang dan kekuasaan membuat Republik masuk ke pusaran korupsi. Republik bergerak tanpa roh kebangsaan.
Banalisasi korupsi
Korupsi tak diperlakukan sebagai penyakit masyarakat yang harus dibasmi. Bau busuknya ditutup-tutupi dengan pencitraan. Korupsi pun luput dari kutukan agama. Indonesia belum pernah benar-benar bertobat dari korupsi yang pernah membangkrutkannya. Praktik korupsi dibiarkan, sejauh terkendali dan kepentingan elite politik tak terganggu. Di negara yang mengaku berketuhanan, agama justru kehilangan substansinya karena diperalat sebagai tameng politik. Negara seharusnya memiliki sumber daya yang kuat untuk menghasilkan layanan publik yang baik. Pemetaan dan monitoring seluruh potensi negeri seharusnya di tangan pemerintah. Namun, pemerintah seperti tanpa daya, keropos karena pembusukan dari dalam, bukan karena konspirasi dari luar.
Koruptor politik dianggap berjasa bagi partai. Korupsi pun tidak dilihat sebagai pengkhianatan bernegara. Kalaupun konspirasi korupsi terbongkar, pelaku merasa tak berdosa. Khilaf. Kesalahan administratif. Hukuman untuk koruptor pun semakin rendah. Komisi independen negara yang membongkar kebusukan korupsi dibiarkan tidak kuat. Era Orde Baru dikecam karena korupsi terstruktur dan terpusat dalam suasana otoriter. Rakyat tak berdaya mengkritik penyimpangan yang dilakukan (penyelenggara) negara. Lalu reformasi berhasil memperkuat posisi rakyat, tetapi gagal dalam reformasi kelembagaan. Alih-alih pulau integritas, yang terbentuk adalah pulau-pulau ketertutupan. Perizinan dan pengadaan barang serta jasa dibuat tak transparan.
Kementerian menjadi semi-otonom. Menteri titipan partai leluasa menggeser dan mengganti bawahan serta memasukkan orang baru tanpa basis kinerja. Pengawasan melekat tidak jalan. Tidak pernah kita mendapati atasan yang menangkap tangan atau memergoki korupsi bawahan, praktik yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Atasan dan bawahan saling membangun ketertutupan. Pejabat dan pengusaha saling melayani dalam suatu persekutuan jahat yang mengorbankan kepentingan bangsa. Birokrasi dari bawah sampai atas sudah memiliki jatah untuk pundi masing-masing. Sesama koruptor dilarang saling mendahului. Partai menghalalkan segala cara menghimpun dana politik. Kader di eksekutif dan legislatif menjadi mesin pencetak uang untuk mengisi pundi-pundi partai. Pendanaan partai tertutup bagi publik.
Efek negatif akibat korupsi dibuat semakin samar sumbernya. Seolah-olah tak ada hubungan antara korupsi di bidang lalu lintas dengan banyaknya korban kecelakaan, korupsi di bidang keolahragaan dengan kemerosotan prestasi olahraga bangsa, korupsi di peternakan dengan rendahnya asupan protein hewani rakyat kecil dan mahalnya daging sapi.
Banalisasi negara
Era multipartai adalah bancakan anggaran. Sumber daya negara untuk menyejahterakan rakyat dikaplingkan untuk kesejahteraan penguasa dan kroni. Negara tak menguasai kekayaan negeri untuk menyejahterakan seluruh rakyat, tetapi menggadaikannya pada segelintir orang. Koalisi partai pemerintah tak lain pengaplingan wilayah kekuasaan partai. Presiden menentukan ketua umum partai atau kadernya sebagai menteri. Jabatan menteri merupakan representasi dukungan politik. Evaluasi kinerja kabinet hanya proforma atau imbauan, bukan sanksi pencopotan jabatan. Kementerian yang jalan di tempat dan hanya menghabiskan anggaran negara dibiarkan selama kepentingan penguasa tak terganggu.
Koalisi partai tanpa kepemimpinan yang berorientasi kepentingan rakyat. Kekhawatiran publik atas kinerja menteri dari partai direspons Presiden dengan meminta masyarakat dan pers mengawasi kinerja kabinet. Peran kepala negara lebih menonjol daripada kepala pemerintahan. Ketika dibutuhkan tindakan afirmatif untuk menerobos kebuntuan politik, pernyataan normatiflah yang keluar. Seolah-olah Republik dalam situasi normal.
Republik boros dalam pengeluaran gaji pegawai dan penggelembungan harga. Rakyat dibius dengan subsidi bahan bakar minyak dan beras untuk rakyat miskin meski melawan rasionalitas ekonomi yang sehat. Banyak produk legislasi tak berkualitas konstitusi. Namun, tak pernah elite politik marah atas ketidakprofesionalan bernegara. Republik seperti barang mainan di tangan anak-anak yang tak bisa dimintai pertanggungjawaban publik.
Fungsi pengawasan dari legislatif tak efektif karena yang mengawasi juga bagian dari yang diawasi. Tidak jelas mana yang mengawasi dan yang diawasi. Saling kritik pun hanya sandiwara politik karena masing-masing tahu sama tahu. Apabila kader tersandung kasus korupsi, partai cuci tangan dan melokalisasi kasusnya sebagai masalah pribadi. Tawaran bantuan hukum dari partai bagi kader yang naas adalah demi jasanya dan demi ia tidak bernyanyi di luar skenario. Elite politik gagal memanfaatkan momentum positif makroekonomi nasional dengan memperjuangkan ketahanan energi dan pangan demi kesejahteraan rakyat. Berbagai suara profetik dalam bidang politik dan ekonomi tak digubris. Kesempatan emas Indonesia untuk menjadi negara maju akan berlalu jika mentalitas sebagian besar penguasa kita masih memburu rente.
Suatu saat Nabi Yesaya menyampaikan kepada Hizkia hukuman yang akan dialami kerajaannya. Semua kekayaan istana akan diangkut ke negeri asing dan anak cucunya akan sengsara. Bukannya prihatin, raja itu malah berpikir tidak apa-apa, "Asal ada damai dan keamanan seumur hidupku." Banyak penguasa di Indonesia berpikir demikian sewaktu melihat daerahnya dilanda banjir dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Bung Hatta mengkritik kediktatoran Presiden Soekarno dan kegagalan partai-partai politik yang mengabaikan dasar-dasar Pancasila dengan mengutip Friedrich von Schiller, pujangga besar Jerman: kesempatan besar singgah di zaman kita, tetapi ternyata generasinya kerdil.
Yonky Karman Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
(Kompas cetak, 22 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar