Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 04 Maret 2013

Stabilisasi Harga Daging (Sapuan Gafar)

Sapuan Gafar
Akibat pelaksanaan kuota impor daging tahun 2012, terjadi lonjakan harga daging dalam 4-5 bulan terakhir. Untuk mengatasinya, akan ditempuh berbagai langkah, antara lain melalui tender impor daging (Kompas, 26/2/2013).
Tulisan ini mencoba memetakan masalah menyangkut ternak atau daging, dikaitkan dengan upaya stabilisasi harga daging, dan perlu tidaknya kebijakan kuota impor daging.
Sebenarnya setelah kewenangan Bulog diamputasi pada tahun 1998, ada salah satu tugas yang belum tertangani secara sistematis, yaitu tugas untuk menstabilkan harga daging di wilayah DKI Jakarta. Setelah mendapat mandat pada Sidang Kabinet tahun 1974, Bulog melakukan studi pemetaan masalah daging/ternak. Kesimpulannya, terdapat gangguan pasokan ternak pada bulan puasa dan Lebaran, kekurangan sarana angkutan dan tempat istirahat sapi, dan gangguan pada saat ternak diangkut.
Oleh karena itu, Bulog menjalankan sejumlah langkah. Pertama, memilih waktu kapan Bulog harus turun tangan. Melihat karakter pergerakan harga daging/ternak, maka saat itu dipilih waktu menjelang puasa dan Lebaran serta menjelang Natal dan Tahun Baru. Dengan demikian, pilihan waktunya tertentu. Kedua, Bulog membangun sarana holding ground atau semacam "hotel sapi" di Cibitung, Bekasi, untuk tempat istirahat ternak sapi sebelum dimasukkan ke rumah pemotongan hewan (RPH).
Sewaktu diangkut dari Jawa Tengah/Jawa Timur atau tempat lain, umumnya sapi-sapi menderita stres dan berkurang beratnya. Untuk itu, sapi-sapi tersebut perlu diistirahatkan dulu di Cibitung untuk dipulihkan kondisinya. Keberadaan holding ground sapi di Cibitung sangat membantu pedagang sapi dan akhirnya berkembang menjadi semacam pasar sapi.
Ketiga, membangun komunikasi dengan para pihak yang berkepentingan, terutama Direktorat Jenderal Peternakan yang mengelola alokasi ternak yang diperbolehkan keluar dari suatu provinsi. Hal yang sama dilakukan dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat untuk penyediaan kapal dan gerbong kereta api apabila terdapat kesulitan angkutan ternak. Selanjutnya, banyak berkomunikasi dengan Persatuan Pedagang Hewan Indonesia, perwakilan Himpunan Pedagang Daging, perwakilan RPH DKI (PT Darmajaya), dan sebagainya.
Keempat, membuat perencanaan untuk stabilisasi harga daging. Perencanaan yang dibuat hanya untuk 50 hari, yaitu 40 hari sebelum hari-H dan 10 hari setelah hari-H. Kemudian dibuat prognosis hari per hari kebutuhan ternak di DKI Jakarta menjelang puasa/Lebaran dan Natal/Tahun Baru. Setelah itu dilakukan pemantauan harian atas pemasukan ternak melalui RPH dan holding ground ternak di Cibitung dan lain-lain.
Untuk kelancaran angkutan ternak terkait pelaksanaan rencana 50 hari tersebut, Bulog mengeluarkan stiker "Ternak Milik Bulog" yang ditempelkan pada truk pengangkut ternak. Menurut para pedagang ternak, dampak stiker tersebut sangat efektif: tidak ada yang berani menyetop truk pengangkut ternak yang ditempeli stiker tersebut. Cara seperti itu, apabila dilakukan sekarang ini, mungkin akan ada yang mempersoalkan dari segi hukum. Pada saat itu cara tersebut sangat efektif untuk mengurangi pungutan di jalan.
Langkah ke depan
Stabilisasi harga daging yang dilakukan Bulog pada saat itu memang masih terbatas lokasinya, tetapi mulai pertengahan 1980-an telah dikembangkan untuk Bandung, Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Jayapura. Waktunya mulai ditambah, tidak hanya menjelang puasa/Lebaran dan Natal/Tahun Baru, tetapi juga menjelang pemilu, misalnya. Jenisnya pun bertambah, seperti daging ayam potong dan telur. Awal 1990-an, Bulog juga memantau impor daging beku. Pada waktu itu pasar modern mulai tumbuh. Bulog melalui koperasi dan PT PP Berdikari mengembangkan rumah potong hewan modern di Cibitung, rumah potong ayam di Ciputat, dan peternakan di Sulawesi Selatan untuk melayani tuntutan konsumen.
Secara umum keadaan sekarang ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan keadaan 20 tahun yang lalu, hanya sekarang masalahnya lebih kompleks dengan berkembangnya pasar modern dan dominannya impor daging dan ternak. Sebagaimana diketahui, peternak kita yang hanya memiliki 3-5 ekor sapi berhadapan dengan peternakan yang memiliki ribuan ternak.
Pola penjualan petani juga hanya 1-2 ekor, yang berarti biaya pengumpulannya mahal. Belum lagi petani menghadapi liku-liku para belantik di pasar. Jika tidak dijual melalui belantik, tidak ada yang menawar. Dalam angkutan ternak juga terdapat pungutan di berbagai pos penjagaan. Akhirnya semuanya menimbulkan biaya tinggi. Mereka akan kalah dari peternakan besar, apalagi dari ternak impor.
Setelah tahun 2000, impor ternak dan daging terus tumbuh dan akhirnya pada 3-4 tahun terakhir sudah mendesak peternak kecil. Sebagai catatan, di Yogyakarta hingga Idul Adha tahun lalu harga ternak masih relatif rendah. Untuk hewan kurban setara dengan tujuh ekor kambing masih dapat dibeli dengan harga Rp 7,5 juta sampai Rp 8,5 juta per ekor, tetapi saat ini harganya minimal mencapai Rp 11 juta per ekor. Kenaikan harga daging akhir-akhir ini sangat memukul para pengguna daging sapi.
Oleh karena menyangkut nasib ribuan peternak kecil dan ribuan pedagang bakso dan lain-lain, stabilisasi harga daging sangat diperlukan. Selain itu, daging merupakan sumber protein penting untuk peningkatan mutu gizi penduduk. Apalagi konsumsi daging saat ini masih rendah, di bawah 2 kilogram per kapita per tahun. Dari dimensi waktu, stabilisasi harga daging diperlukan, tidak hanya menjelang bulan puasa/Lebaran dan hari Natal/Tahun Baru saja, tetapi sepanjang tahun. Daerahnya pun lebih luas lagi, khususnya non-sentra produksi ternak.
Tender kuota impor
Dengan akan diubahnya pelaksanaan impor daging dengan cara tender, apakah stabilisasi harga daging akan terjamin? Kebijakan kuota impor dimaksudkan untuk mencegah peternak dalam negeri tidak terpukul oleh impor daging. Untuk itu, jumlah yang diimpor harus diatur agar tidak memukul peternak kita, tetapi juga tidak terlalu tinggi bagi pengguna daging. Dengan demikian, yang akan ditenderkan nanti adalah kuota impor daging. Di negara tetangga kebijakannya berupa tarif kuota yang dikombinasikan dengan bea masuk yang dapat naik/turun atau kuotanya yang fleksibel.
Oleh karena kebutuhan daging berjalan sepanjang tahun, tender atas kuota impor daging harus dapat memenuhi kekurangan pasokan untuk sepanjang tahun. Karena itu, tender terhadap kuota impor daging tidak mungkin hanya dilaksanakan dalam satu kali tender dalam setahun, tetapi minimal tiga kali tender dengan memerhatikan kejadian penting yang dapat membuat harga bergejolak. Selain itu, untuk membatasi terus bertambahnya importir daging yang mengikuti tender, disarankan importir adalah yang memiliki kaitan dengan program peningkatan produksi, khususnya pembibitan sapi yang merupakan titik terlemah industri peternakan kita.
Hal yang sama dilakukan untuk importir gula kristal putih, di mana yang diperbolehkan mengimpor adalah importir produsen. Sudah barang tentu pelaksanaannya bertahap agar mereka bersiap diri. Diharapkan yang akan menjadi importir daging adalah bukan pedagang kelontong yang memperdagangkan izin impor.
Selain itu, masih ada masalah penting yang belum digarap, yaitu stabilisasi harga menjelang puasa/Lebaran dan Natal/tahun baru. Permasalahan yang ada sebenarnya masih mirip dengan yang ditangani Bulog yang lalu, hanya sekarang faktor impor daging dapat dipakai sebagai penentu. Stabilisasi harga daging "model Bulog" dulu juga masih relevan, dengan penyesuaian-penyesuaian tentunya. Sekarang ini pelibatan RPH milik pemda juga sangat penting sebagai pelaksana stabilisasi harga daging. RPH tersebut perlu direvitalisasi dan Pemprov DKI Jakarta mampu melaksanakan tugas sebagai salah satu pelaksana, termasuk untuk membangun holding ground sapi yang lebih representatif di luar DKI Jakarta.
Masalah lembaga yang menangani operasional stabilisasi, harga khususnya untuk menentukan kuota, pemantauan pemasukan impor daging secara hari per hari dan melaksanakan koordinasi pelaksanaan stabilisasi harga menjelang puasa/Lebaran dan Natal/Tahun Baru, perlu dipikirkan. Sebaiknya lembaga yang menangani tidak bias ke produsen, pedagang, dan konsumen. Harga daging harus memberikan insentif kepada peternak agar bergairah untuk meningkatkan produksi, tetapi harganya pun terjangkau konsumen.
Sebaiknya yang mengoordinasikan stabilisasi harga daging dan memantau harga dan pemasukan impor daging adalah staf yang berada di bawah Menko Perekonomian.
Dulu Bulog dengan jaringan koperasi dan PT PP Berdikari yang "dikuasainya" berencana akan menuju ke sana, tetapi kewenangan Bulog diamputasi tahun 1998 oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam jangka panjang, untuk menangani stabilisasi harga daging, mungkin dapat digerakkan beberapa BUMN dan BUMD, tetapi perlu waktu untuk pelaksanaannya. Masalah yang mendesak dipikirkan karena sudah ada di depan mata adalah dalam 4-5 bulan lagi kita menghadapi bulan puasa dan Lebaran. Apakah kita menunggu harga daging naik lagi di atas Rp 100.000 per kilogram, dan kita semuanya hanya terpesona dengan kasus korupsi impor daging sapi? Jangan salahkan nanti kalau rakyat marah.
Sapuan Gafar Mantan Wakil Ketua Bulog
(Kompas cetak, 4 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger